Rabu, 17 Desember 2014

MAKALAH MANAJEMEN MASJID “MASJID PUSAT KEBUDAYAAN ISLAM”

MAKALAH MANAJEMEN MASJID “MASJID PUSAT KEBUDAYAAN ISLAM”- Salah satu pahala yang tidak terputus apa bila seseorang sudah tiada  adalah ilmu yang bermanfaat. oleh karena itu saya berhara apa saya menulis ini dengan harapan bisa diambil manfaat oleh pembaca sekalian. selamat memebaca.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Di Indonesia masjid tidak hanya sebagai pusat ibadah, akan tetapi juga sebagai pusat aktivitas sosial. Semenjak zaman Nabi Muhammad saw, memang masjid memiliki peran dan fungsi sosial antara lain adalah sebagai tempat untuk menyusun strategi penyebaran Islam kepada kelompok lain.[1] Masjid dijadikan sebagai markaz untuk bermusyawarah di dalam banyak hal, misalnya mengatur strategi berperang melawan kaum kafir yang mengingkari perjanjian dengan umat Islam. Masjid adalah tempat bertemunya berbaai segmen masyarakat, baik di masa dahulu maupun sekarang. Sebagai wahana bertemunya warga masyarakat yang berkepentingan untuk melakukan ibadah, maka masjid juga menjadi tempat untuk silaturrahmi. Selain itu juga menjadi tempat untuk mengembangkan pengetahuan agama dan sosial kemasyarakatan.                                Namun demikian, di masa penjajahan Belanda,  maka fungsi masjid menjadi dibatasi.[2] Masjid hanya diperkenankan menjadi tempat ibadah saja. Hal ini disebabkan oleh ketakutan kaum Belanda bahwa masjid dapat dijadikan sebagai markas untuk melawan Belanda. Bagi Belanda tentu harus ada pembatasan bagi masyarakat jajahan untuk berkumpul dan bermusyawarah dalam rangka melakukan perlawanan bagi mereka. Masjid memang bisa menjadi tempat yang efektif untuk mengembangkan sikap anti penjajahan. Melalui dalih jihad fi sabilillah, maka menggelorakan semangat melawan penjajah akan sangat efektif dilakukan di masjid. Sebagai tempat yang suci, maka masjid akan dapat digunakan untuk membangkitkan semangat perlawanan tersebut.                                                                                                          Di dalam hal seperti ini maka pemerintah Belanda membatasi masjid sebagai tempat untuk berkumpul dan membahas persoalan keumatan. Masjid harus dikembalikan dalam fungsinya sebagai tempat ibadah saja. Jadilah masjid kemudian hanya sebagai tempat untuk beribadah mahdhah  saja. Tidak lebih dari itu. Seirama dengan tuntutan perubahan yang terus berlangsung, maka masjid kembali memiliki fungsi sosial dan budaya.
Di dalam fungsi sosial, maka masjid memiliki sejumlah aktivitas, misalnya pusat kesehatan, ekonomi, dan juga fungsi pengembangan spiritualitas keagamaan. Selain itu juga menjadi pusat budaya Islam. Misalnya dengan banyaknya kegiatan yang diusung di dalam kerangka pengembangan budaya Islam.                                                                                               Masjid di Indonesia memiliki corak yang sangat khas. Maka dikenal masjid dengan coraknya yang khas Jawa, khas Sumatera, Sulawesi dan sebagainya. Masjid khas Jawa misalnya dapat dilihat pada masjid Demak dengan corak bangunannya yang khas  Jawa.[3] Terhadap masjid yang seperti ini, maka sebaiknya memang harus dijadikan sebagai pusat kebudayaan. Yang saya maksud adalah bagaimana menjadikan masjid sebagai tempat untuk pengembangan kebudayaan seperti menjadi cagar budaya. Kita semua tentu berharap bahwa bangunan-bangunan masjid yang berciri khas tersebut tidak boleh kemudian diubah begitu saja mengikuti corak bangunan modern yang  baru.                                                                                                                         Saya berpendapat bahwa masjid kuno harus dijadikan sebagai cagar budaya yang tidak bisa diganti dengan bangunan baru begitu saja. Saya terkesan dengan bangunan-bangunan kuno di negara Mesir, misalnya di mana bangunan kuno tidak diubah dengan yang baru, sebab ada nilai sejarah yang memang tidak tergantikan. Demikian pula di Australia, banyak bangunan kuno yang dipertahankan sebagai cirri khas budaya masyarakat tersebut. Oleh karena itu, fungsi masjid boleh saja berubah seirama dengan tuntutan perubahan zaman, akan tetapi bangunan masjid kuno harus tetap dipertahankan sebagai cultural heritage yang memang harus dipertahankan.
1.2. Maksud dan Tujuan.
            Maksud dan tujuan dalam penyusunan makalah ini, diantaranya :
1.      Menambah wawasan dan pengetahuan tentang apa itu masjid dan kebudayaan.                2. Memperluas cakrawala bagaimana cara kita melestarikan kebudayaan yang ada pada        masjid.                                                                                                                                              3.  Untuk menambah wawasan kita tentang tempat untuk mencari Ilmu selain dari pendidikan formal yang Efektif dan Efisien.

1.3. Rumusan Masalah.
            Rumusan masalah dalam pembahasan kali ini adalah :                                                                       1.  Apa itu masjid dan kebudayaan ?                                                                                            2.  Bagaimana kita melestarikan kebudayaan yang ada di masjid ?                                                       3.  Dari segi apakah kita melihat bahwa masjid adalah kebudayaan ?          
1.4. Batasan Masalah.
            Dalam pembahasan materi ini kami membatasi pembahasan hanya pada ruang lingkup bagaimana dikatakan masjid itu sebagai pusat kebudayaan tersebut. Selanjutnya di sini kami akan mencoba memberikan gambaran mengenai apa itu yang dikatakan masjid.

BAB II
PEMBAHASAN
                           
2.1. Pengertian Masjid.
Dilihat dari segi harfiyah mesjid adalah tempat sembah-Yang. Perkataan mesjid berasal dari bahasa arab. Kata pokoknya Sujudan, Fiil Madinya sajada (ia sudah sujud). Fi’il madinya sajada diberi awalan Ma, sehingga terjadilah isim makan. Isim makan ini menyebabkan berubahan bentuk sajada menjadi masjidu, masjid dari ejaan aslinyanya adalah Masjid (dengan a) pengambilan alih kata Masjid oleh bahasa Indonesia umumnya membawa proses perubahan bunyi a menjadi e sehingga terjadilah bunyi Mesjid. Perubahan bunyi ma menjadi me, disebabkan tanggapan awalan me dalam bahasa Indonesia. Bahwa hal ini salah, sudah tentu kesalahan umum seperti ini dalam Indonesianisasi kata-kata asing sudah biasa. Dalam ilmu bahasasudah menjadi kaidah, kalau suatu penyimpangan atau kesalahan dilakukan secara umum, ia dianggap benar. Menjadilah ia kekecualian.[4]
    Setiap muslim boleh melakukan shalat di wilayah manapun di bumi ini terkecuali dia atas kuburan, di tempat yang bernajis, dan di tempat-tempat yang menurut ukuran syariat Islam tidak sesuai untuk dijadikan tempat shalat.
Rasullullah bersabda :
اَلْاَرْضُ كُلَّهَا مَسْجِدٌ (رواه مسلم)[5]
Setiap bagian dari bumi Allah adalah tempat sujud (masjid).” (HR Muslim)

Pada hadist yang lain Rasulullah besabda pula :
جُعِلَتْ لَنَا اَلْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا (رواه مسلم)[6]
telah dijadikan bagi kita bumi ini sebagai tempat sujud dan keadaan nya bersih.” (HR Muslim)

Sedangkan secara umum Mesjid adalah tempat suci umat islam yang berfungsi sebagai tempat ibadah, pusat kegiatan keagamaan, dan kemasyarakatan yang harus dibina, dipelihara dan dikembangkan secara teratur dan terencana. untuk menyemarakan siar islam, meningkatkan semarak keagamaan dan menyemarakan kualitas umat islam dalam mengabdi kepada allah, sehingga partisipasi dan tanggung jawab umat islam terhadap pembangunan bangsa akan lebih besar.[7] Singkatnya Mesjid adalah tempat dimana diajarkan, dibentuk, ditumbuhkan dan dikembangkan dunia pikiran dan dunia rasa islam.[8]
Masjid tidak bisa dilepaskan dari masalah shalat. Berdasarkan sabda Nabi SAW. Diatas, setiap orang bisa melakukan Shalat dimana saja-di rumah, di kebun, di jalan, di kendaraan dan di tempat lainnya. Selain itu, masjid merupakan tempat orang berkumpul dan melakukan shalat secara berjamaah, dengan tujuan meningkatkan solidaritas dan silahturrahmi di kalangan kaum muslimin. Di masjid pulalah tempat terbaik untuk melangsungkan shalat jum’at.
            Dimasa Nabi SAW. Ataupun dimasa sesudahnya, masjid menjadi pusat atau sentral kegiatan kaum muslimin. Kegiatan di bidang  pemerintahan pun mencakup, ideology, politik, ekonomi, social, peradilan , dan kemiliteran dibahas dan di pecahkan di lembaga Masjid. Masjid juga berfungsi sebagai pusat pengembangan  kebudayaan Islam terutama saat gedung-gedung khusus untuk itu belum didirikan. Masjid juga merupakan ajang halaqah atau diskusi, tempat mengaji, dan memperdalam ilmu-ilmu pengetahuan agama ataupun umum. Pertumbuhan remaja masjid dewasa ini juga termasuk upaya memaksimalkan fungsi kebudayaan yang diemban masjid.
Kalau saja tidak ada kewajiban Shalat, tentu tidak ada yang namanya Masjid di dalam Islam. Memang, shalat sudah di syariatkan pada awal kelahiran islam sebanyak empat rakaat, dua di pagi hari dan dua di sore hari. Penetapan Shalat menjadi lima waktu seperti sekarang ini  baru disyariatkan menjelang Nabi Hijrah ke Madinah. Sampai saat itu, ibadah shalat dilakukan dirumah-rumah. Tiadanya usaha mendirikan masjid karena lemahnya kedudukan umat Islam yang sangat lemah, sedangkan tantangan dari penduduk Makkah begitu ganasnya. Penduduk Makkah tampak belum siap menerima ajaran Nabi SAW. Walau telah 13 tahun dakwah dilancarkan.
1.      Masjid Pertama Dalam Islam.
Masyarakat Madinah yang dikenal berwatak lebih halus lebih bisa menerimaSyiar Nabi Muhammad SAW. Mereka dengan Antusias mengirim utusan sambil mengutarakan ketulusan hasrat mereka agar Rasulullah pindah saja ke Madinah. Nabi setuju, setelah dua kali utusan dating dua tahun berturut-turut di musim haji dalam dua peristiwa yang dikenal dengan bai’at Aqabah I dan Aqabah II.
Saat yang dirasa tepat oleh Nabi untuk berhijrah itu pun tiba. Waktu kaum kafir Makkah mendengar kabar ini, mereka mengepung rumah Nabi, tetapi usaha mereka gagal total berkat perlindungan Allah SWT. Nabi keluar rumah dengan meninggalkan Ali bin Abi Thalib yang beliau suruh mengisi tempat tidur beliau. Pada saat itu, para pengepung tertidur dengan nyenyak. Begitu terbangun, mereka menemukan sasaran yang diincar tak lagi berada di tempat. Pengejaran yang dilakukan kaum kafir Makkah sia-sia. Dengan mengambil rute jalan yang tidak biasa, diseling persembunyian di sebuah gua, Nabi sampai desa Quba yang terletak sebelah barat Laut Yasrib, kota yang di belakang hari berganti nama m enjadi “Madinatur Rasul”, “kota Nabi”, atau “Madinah” saja.[9]
Di desa itu Nabi beristarahat selama empat hari. Dalam tempo pendek itulah Nabi membangun masjid yang di sebut Masjid Quba.
2.      Tiga Masjid Suci.
Perkembangan masjid Quba memang kalah pesat dibandingkan dengan masjidil Haram dan Masjid Nabawi, terutama setelah wafatnya nabi Muhammad SAW. Wajar karena kedua masjid di Makkah dan di Madinah, fungsi apa-apa.[10] Yang menjadikan ia sebagai sarana “kemakmuran” adalah kita semua. Mulai dari para ustadz, mubaligh, remaja, mahasiswa, dan rakyat umum; yang memberi dan menerima ilmu dan segala macam kearifan perikehidupan yang sangat diperlukan untuk pegangan hidup di alam dunia ini.
Masjid dapat merupakan tempat kita pulang, tempat kita berangkat, tempat kita bertanya. Kalau seseorang mempunyai pertanyaan, baik itu menyangkut segala aspek kehidupan duniawi maupun persoalan yang berdimensi ukhrawi, jangan bingung k e mana dia mencari jawaban atas pertanyaannya. Datanglah ke masjid ! di antara pengasuh masjid, niscaya ada yang lebih mengetahui rahasia soal-soal keduniaan.

2.2. Pengertian Kebudayaan.
Dalam kebudayaan sehari hari amatlah mudah kita mengucapkan kata kebudayaan tatapi kalaw di tujukan Tanya kepada kita apakah itu kebudayaan? Barulah di sadari bahwa menyusun pengertiannya tidak semudah memakainya. Menghadapi demikian banyak devinisi kebnudayaa, pengertiannya tidak bertambah terang melainkan sebaliknya. Demikian pula kata kebudayaan,sering sekali ahli mencoba merumuskan devinisi baru, seperti HAMKA dalam hal ini secara tepat mengatakan devinisi yang sedah ada tidak cukup baru sedah lengkap apabila di tambah devinisi sendiri.[11] Tetapi dalam perbadaan itu ada persamaan. Persamaannya terletak dalam pengakuan bahwa kebudayaan itu berhubungan dengan manusia.                                  Manusia yang mempunyai jiwa, mempunyai pula kebudayaan, hewan yang tidak mempunyai jiwa, tidak pula mempunyai kebudayaan.yang membedakan manusia dari hewan secara habstraknya adalah jiwa, secara konkritnya adalah kebudayaan. Jadi jiwalah yang merupakan sumber dari ciptaan kebudayaan.perbadaan manusia dan hewan akan lebih lengkap kalau di lihat pula dari segi ilmu social dan antropologi.                                                                      Di dalam Kamus Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa: “ budaya “ adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “ kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Firman Allah swt yang berbunyi dalam Al-qur’an Surat Ar-rum : 30 ;[12]                                                   
            Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu yang lurus kepada agama (Allah) ; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Fitrah Allah maksudnya: ciptaan Allah. Manusia dficiptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.
Maka dapat disimpulkan bahwa dari naluri akan timbul berbagai kebudayaan yang dikelolah oleh akal manusia, lalu timbullah ekspresi pada setiap diri manusia. Jadi, secara umum kebudayaan ialah suatu hasil daya pemikiran dan pemerahan tenaga lahir manusia, ia adalah gabungan antara tenaga fikiran dengan tenaga lahir manusia ataupun hasil daripada gabungan tenaga batin dan tenaga lahir manusia. Yang dimaksudkan gabungan antara tenaga batin (daya pemikiran) dengan tenaga lahir ialah suatu pemikiran manusia yang dilaksanakan dalam bentuk perbuatan. Maka hasil daripada gabungan inilah yang dikatakan kebudayaan. Fikiran dan perasaan yangmerupakan inti devinisi membentuk kesadaran. Jalinan fikiran dan perasaan melahirkan kemauan. Kemauan adalah awal perbuatan. Laku perbuatan di jalankan oleh jasmani manusia.[13]
Jadi, secara umum kebudayaan dapat dipahami  sebagai hasil olah akal, berupa:[14]               A. Cipta: kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia hal yang ada dalam pengalamannya secara lahir dan batin. Hasil cipta berupa berbagai ilmu pengetahuan.                 B. Karsa: kerinduan manusia untuk menyadari tentang asal-usul manusia sebelum lahir dan ke mana manusia sesudah mati. Hasilnya berupa norma-norma dan kepercayaan. Kemudian timbul bermacam-macam agama karena kesimpulan manusia juga bemacam-macam.                 C. Rasa: kerinduan manusia akan keindahan sehingga menimbulkan dorongan untuk menikmatinya. Manusia pada dasarnya selalu merindukan keindahan dan menolak keburukan atau kejelekan.                                                                                                                                              Untuk memudahkan pembahasan, Ernst Cassirer membagi kebudayaan  menjadi lima aspek : 1. Kehidupan Spritual, 2. Bahasa dan Kesusastraan, 3. Kesenian, 4. Sejarah dan 5. Ilmu Pengetahuan.[15]                                                                                                                                    Demikianlah kebudayaan meliputi seluruh kehidupan manusia. pembagian kebudayaan  adalah untuk sekedar mendapatkan ihtisar kegiatan-kegiatan dalam kehidupan. sistem pembagian adalah klasifikasi atau penggolongan kehidupan dalam bidang-bidang tertentu untuk mudah dapat mudah memahaminya.

2.3.   Kebudayaan dalam Islam. 
Islam tidak bisa dianggap kebudayaan karena Islam bukan hasil dari pemikiran dan ciptaan manusia. Agama Islam adalah sesuatu yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW yang mengandung peraturan-peraturan untuk jadi panduan hidup manusia agar selamat di dunia dan akhirat. Tetapi agama-agama (yang telah banyak mengalami perubahan) selain Islam memang kebudayaan, sebab agama-agama tersebut adalah hasil ciptaan dan daya pemikiran manusia.
Walaupun bukan kebudayaan tetapi agama islam sangat mendorong, bahkan turut mengatur penganutnya untuk berkebudayaan. Agama Islam mendorong umatnya berkebudayaan dalam semua aspek kehidupan termasuk dalam bidang ibadah.
Contohnya dalam ibadah sembahyang, dalam Al-Qur'an ada perintah :[16]

Terjemahnya : Dirikanlah sembahyang (Al-Baqarah: 43)
Perintah itu bukan kebudayaan karena ia adalah wahyu daripada Allah SWT. Tetapi apabila kita hendak melaksanakan perintah "dirikanlah sembahyang" maka timbullah daya pemikiran kita, bagaimana hendak bersembahyang, dimana tempat untuk melaksanakannya dan lain-lain. Dan dari pemikiran tersebut terwujudlah usaha atau tindakan yang akhirnya menghasilkan sebuah kebudayaan.
Seperti keterangan sebelumnya yang mengatakan bahwa kebudayaan bisa melahirkan kemajuan, maka jika kita bisa melaksanakan arahan/perintah lain dalam agama Islam ini, niscaya lahirlah kebudayaan dan kemajuan dalam kehidupan kita. Kemajuan yang dicetuskan karena dorongan agama Islam itulah yang dikatakan kebudayaan dalam Islam. Dan suatu budaya yang dicetuskan suatu bangsa tanpa meniru bangsa lain itulah yang dinamakan kebuadayaan bangsa itu. Berbeda, jika suatu bangsa meniru kebudayaan bangsa lain, maka bangsa tersebut dikatakan bangsa yang yang berkebudayaan bangsa lain. Sama halnya jika orang Islam melakukan atau meniru kebudayaan di luar kebudayaan Islam, maka dia dikatakan orang Islam yang berkebudayaan bangsa lain. 
Perbuatan seperti ini terjadi juga dalam urusan membuat masjid. Contohnya dapat dilihat pada mesjid Cordova Spanyol yang tempat sembahyangnya dibuat dengan tidak mengikut cara Islam karena disalut dengan emas.[17] Ini tidak dibenarkan sama sekali oleh ajaran Islam. Maka ini bukan kebudayaan Islam tetapi kebudayaan orang Islam.
Jadi apa sebenarnya kebudayaan Islam? Umumnya suatu yang dicetuskan itu bersih dengan ajaran Islam baik dalam bentuk pemikiran ataupun sudah berupa bentuk, sikap atau perbuatan, dan ia didorong oleh perintah wahyu. Itulah yang benar-benar dinamakan kebudayaan (tamadun) Islam. Jika ajaran agama Islam ini diamalkan seungguh-sungguh, umat Islam akan jadi maju. Dan dengan kemajuan yang dihasilkan itu, lahirlah kebudayaan atau tamadun. Semakin banyak umat Islam mengamalkan hukum Islam, semakin banyak kemajuan dihasilkan dan semakin banyak pula kebudayaan atau tamadun Islam yang lahir.

2.4. Wujud atau Bentuk Kebudayaan Islam.
Bentuk atau wujud kebudayaan Islam dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:[18]
1.    Wujud Ideal (gagasan).
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan yang sifatnya abstrak. Wujud kebudayaan ini terletak di dalam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
Kebudayaan Islam yang berwujud ideal diantaranya :
a)    Pemikiran di bidang hukum Islam muncul ilmu fiqih.
b)   Pemikiran di bidang agama muncul ilmu Tasawuf dan ilmu tafsir.
c)    Pemikiran di bidang sosial politik muncul sistem khilafah Islam (pemerintahan Islam) yang diprakarsai oleh    Nabi Muhammad dan diteruskan oleh Khulafaurrosyidin.
d)   Pemikiran di bidang ekonomi muncul peraturan zakat, pajak jizyah (pajak untuk non Muslim), pajak   Kharaj (pajak bumi), peraturan ghanimah (harta rampasan perang).
e)    Pemikiran di bidang ilmu pengetahuan muncul ilmu sejarah, filsafat, kedokteran, ilmu bahasa dan lain-lain.
2.    Wujud Aktivitas.
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dapat diamati dan didokumentasikan.
kebudayaan Islam yang berwujud aktivitas adalah sebagai berikut :
a)    Pemberlakuan hukum Islam seperti potong tangan bagi pencuri dan hukum rajam bagi pezina.
b)   Penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa resmi pemerintahan Islam pada masa Dinasti Umayyah (masa khalifah Abdul Malik bin Marwan) memunculkan gerakan ilmu pengetahuan dan penterjemahan ilmu-ilmu yang berbahasa Persia dan Yunani ke dalam bahasa Arab.
Gerakan ilmu pengetahuan mencapai puncaknya pada masa Dinasti Abbasiyah, di mana kota Baghdad dan Iskandariyah menjadi pusat ilmu pengetahuan ketika itu.
3.    Wujud Artefak (benda).
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan. Contoh kebudayaan Islam yang berbentuk hasil karya di antaranya: seni ukiran kaligrafi yang terdapat di masjid-masjid, arsitektur-arsitektur masjid dan lain sebagainya.
Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
Contoh Kebudayaan Islam lainnya adalah sebagai berikut :
1.    Di bidang Seni : Syair, Kaligafi, Hikayat, Suluk, Babad, Tari Saman, tari Zapin,
2.    Di bidang Fisik : Masjid, Istana, Keraton,
3.    Di Bidang Pertunjukan : Sekaten, Wayang, Hadrah, Qasidah,
4.    Di bidang Tradisi : Aqiqah, Khitanan, Halal Bihalal, Sadranan, Berzanzi.

2.5.  Akulturasi Kebudayaan Indonesia dan Kebudayaan Islam.

Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha. Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami proses akulturasi (proses bercampurnya dua atau lebih kebudayaan karena percampuran bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi), yang melahirkan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia. Masuknya Islam tersebut tidak berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang. Bentuk budaya sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut, tidak hanya bersifat kebendaan/material tetapi juga menyangkut perilaku masyarakat Indonesia. Salah satu hasil akulturasi kebudayaan tersebut dapat kita lihat pada beberapa bangunan masjid yang ada di Indonesia yang atapnya bersusun semakin ke atas semakin kecil dari tingkatan paling atas berbentuk limas. Jumlah atapnya ganjil 1, 3 atau 5. Hal itu menunjukkan bahwa bangunan masjid tersebut adalah hasil dari penggabungan kebudayaan Indonesia dan kebudayaan Islam.

2.6.         Masjid sebagai Pusat Kebudayaan Islam.
Masjid pada umumnya dipahami oleh masyarakat sebagai tempat ibadah khusus, seperti shalat, padahal fungsi masjid lebih luas dari itu. Pada zaman Rasulullah, masjid berfungsi sebagai pusat peradaban. Nabi mensucikan jiwa kaum muslimin, mengajar Al-qur’an dan Al-hikmah, bermusyawarah berbagai permasalahan umat hingga masalah upaya-upaya peningkatan kesejahteraan umat. Dan hal tersebut berjalan hingga 700 tahun. Sejak Nabi mendirikan masjid yang pertama, fungsi masjid dijadikan simbol persatuan umat dan masjid sebagai pusat peribadatan dan peradaban. Sekolah-sekolah dan universitas-universitas kemudian bermunculan justru dari masjid. Masjid Al Azhar di Mesir merupakan salah satu contoh yang dapat dikenal oleh umat Islam di Indonesia maupun dunia. Masjid ini mampu memberikan bea siswa bagi para pelajar dan mahasiswa, bahkan pengentasan kemiskinan merupakan program nyata masjid.
Dikatakan kebudayaan tentu hal itu mempunyai seni, ekspresi seni dimunculkan dalam masjid, khususnya dalam seni arsitektur sebenarnya tidak terlepas dari ekspresi manusia itu sendiri yang merupakan makhluk dengan fitrah seni – cinta pada keindahan.
Seni adalah semua yang menimbulkan keharuan keindahan. Bahkan Shihab mengatakan seni merupakan ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan.[19]
Dalam kajian filsafat, hubungan antara yang indah dan yang baik bermakna hubungan seni dan etik. Oleh karna itu, pada prinsipnya citarasa seni yang dimiliki manusia adalah penjiwaan terhadap keindahan suatu obyek, dan semua obyek yang indah tersebut diciptakan Allah swt untuk manusia. Firman Allah swt :
Artinya : Sesungguhnya kami menjadikan apa yang ada di bumi untuk menjadi perhiasan baginya, karna kami hendak menguji siapakah diantara kalian yang paling baik pekerjaannya.(Q.S. Al-kahfi : 7)[20]
 Namun tidak hanya itu, kemegahan masjid tidak menjamin bahwa masjid itu memiliki kehidupan yang makmur dengan ramainya kegiatan jemaah. 
Pada saat ini kita akan sangat sulit menemukan masjid yang memiliki program nyata di bidang pencerdasan keberagamaan umat. Kita (mungkin) tidak menemukan masjid yang memiliki kurikulum terprogram dalam pembinaan keberagamaan umat. Terlebih-lebih lagi masjid yang menyediakan bea siswa dari upaya pengentasan kemiskinan.
Dalam perkembangan berikutnya muncul kelompok-kelompok yang sadar untuk mengembalikan fungsi masjid sebagaimana mestinya. Kini mulai tumbuh kesadaran umat akan pentingnya peranan masjid untuk mencerdaskan mensejahterakan jamaahnya. Menurut ajaran Islam masjid memiliki dua fungsi utama, yaitu : (1) sebagai pusat ibadah ritual, dan (2) berfungsi sebagai pusat ibadah sosial. Dari kedua fungsi gtersebut titik sentralnya bahwa fungsi masjid sebagai pusat pembinaan umat Islam.


BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan.                                                                                                                                           
Kebudayaan tidak diperoleh manusia sebagai warisan atau generatif (biologis), namun hanya mungkin diperoleh dengan belajar dari masyarakat. Tanpa masyarakat manusia akan mengalami kesulitan dalam membentuk budaya. Sebaliknya, tanpa budaya manusia tidak dapat mempertahankan kehidupannya. Justru dengan adanya kebudayaan dapat digunakan untuk membedakan manusia dengan hewan.
Hasil perkembangan kebudayaan dilandasi oleh nilai-nilai ketuhanan yang disebut dengan kebudayaan Islam, di mana fungsi agama akan berperan semakin jelas. Kebudayaan tersebut berkembang menjadi sebuah peradaban islam sampai sekarang.

3.2. Saran.                                                                                                                             

            Penulis menyarankan agar kita tidak mengahabiskan waktu yang tidak berguna, dimana waktu kita gunakan yang ada untuk belajar di Masjid untuk menambah Ilmu Pengetahuan ajaran agama Islam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan demikian adanya masjid penulis menyarankan agar kita senantiasa sadar akan pentingnya menegakkan Syariat Islam dalam kehidupan keseharian supaya tercipta kehidupan bahagia dan sejahtera dan di Ridhai Allah SWT.






[1] Ahmad Yani, 2009, Panduan Memakmurkan Masjid, Jakarta : Al qalam. Hlm : 44
[2] H. Ahmad Sutarmadi, 2010, Manajemen Masjid Kontemporer, Jakarta : Balai Penerbitan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hlm : 28
[3]Abdul Baqir Zein, 1999, Masjid-masjid Bersejarah Di Indonesia, Jakarta : Gema Insani Press. Hlm :  5
[4] Sidi Gazalba, 1989, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Jakarta : pustaka al-husna. Hlm : 118
[5] Drs. Moh. E. Ayub, 1996, Manajemen Masjid, Jakarta : Gema Insani Press. Hlm : 1
[6] Ibid
[7] Syahruddin, Hanafie, Abdullah abud s., 1986, Mimbar Masjid, Jakarta : cv Haji Masagung, Hlm : 339
[8] Sidi Gazalba, Op. cit. Hlm : 39

[9] Abd. Rosyad Shaleh, 1997, Manajemen Dakwah Islam, Jakarta: CV. Bulan Bintang, Hlm : 60.
[10] Ibid, Hlm : 61                                                                                                                
[11] Sidi Gazalba, Op. cit. Hlm : 51
[12] Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Tarjamah, Jakarta
[13]Sidi Gazalba, Op. cit.
[14] Sofyan Syafrib Harahap, 1995, Manajemen Masjid, Jakarta : Dana Bakti Prima Jaya, Hlm : 24
[15] Hasbullah, 2001, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Hlm : 54
[16]Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Tarjamah, Jakarta
[17] Abdul Baqir Zein, Op. Cit. Hlm :  10            
[18]Sidi Gazalba, Op. cit. Hlm : 55
[19] A. Bachrun Rifa’I, 2005, Manajemen Masjid, Bandung : Benang Merah Press, Hlm : 69
[20]Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Tarjamah, Jakarta

tiada gading yang tak retak tiada manusia yg tak punya salah. sekiranya ada kesalahan dalam penulisan saya minta maaf. semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar