Rabu, 17 Desember 2014

MAKALAH MANAJEMEN KEMASJIDAN KEMBALINYA RUH MASJID DAN IMAM

MAKALAH MANAJEMEN KEMASJIDAN KEMBALINYA RUH MASJID DAN IMAM- Pada saat sekarang ini, kebanyakan masjid sudah kehilangan ruhnya. Oleh karena itu di sini sedikit kami jelaskan bagaimana mengembalikan ruh masjid yang hampir tidak ada lagi. selamat membaca.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kembalinya Ruh Masjid dan Imam
A. Arti Sebuah Masjid
Kebanyakan umat Islam memahami kata masjid sebagai bangunan tempat ibadah umat Islam, tempat sholat dsb. Pemahaman ini adalah pemahaman umum, walaupun sebenarnya harus dipahami lebih mendalam, definisinya tidak sedangkal itu. Banyak permasalahan dikalangan umat Islam yang kadang karena disebabkan pendangkalan makna masjid ini kemudian terjadi konflik. Ada perpecahan, misal masing- masing memberi nama masjid mereka, ada masjid LDII, ada masjid Muhamadiyah, Masjid NU, dsb. Dan ini mengakibatkan keburukan dimasyarakat, perpecahan.
B. Arti Masjid
Masjid artinya tempat sujud. Nabi bersabda, Tempat terbaik adalah masjid, sedangkan tempat paling buruk adalah WC dan pasar. Ada pula Hadizt Lain, Setiap Bumi adalah Masjid, kecuali WC  dan Makam ( Kuburan ).
Masjid sebernya adalah sebuah filosofi tempat. Bukan ditekankan pada wujud fisik bangunan. Masjid adalah sebuah tempat bersujud manusia kepada Allah. Sedangkan Masjid juga disebut baitullah atau rumahnya Allah. Maksudnya bukan tempatnya kelompok tertentu. Jadi Sebelum ingin mendefinisikan masjid sebaiknya memahami sifat-sifat Allah dalam Asmaul Khusna. Nama Allah adalah  maha suci, Memiliki semua kebaikan, Arrahman Dan Arrakhim dsb. Sehingga karena masjid itu adalah rumahnya Allah maka Sebuah masjid harus bisa mencerminkan sifat-sifat Allah. Harus bisa mengayomi, harus bisa memecahkan segala persoalan bukan malah menciptakan perpecahan dan persolan, harus bisa menyatukan ( Al- jami’ ) . Sebagai temapat berzikir dsb.
Dan suatu tempat yang didalamya terdapat ruh Allah, Didalamnya mencerminkan sifat- sifat Allah maka hakikatnya adalah Masjid.Dan seorang ahli Sufi menjelaskan, Masjid terbesar adalah ada di Hatimu. Maksudnya jadikanlah hatimu seperti masjid yang dalam hati itu terdapat Ruh Allah.Hati yang didalamnya tidak terdapat zikrullah maka hakikatnya adalah makam, atau tempat kotor.

C. Pengertian Ruh Masjid

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَأَتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُوْنُوْا مِنَ الْمُهْتَدِيْنَ

“Sesungguhnya yang akan memakmurkan masjid Allah itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, menunaikan shalat, mengeluarkan zakat dan ia tidak takut, kecuali hanya pada Allah. Mudah-mudahan mereka itu termasuk orang-orang yang diberi petunjuk”.

(QS. at Taubah/9:18)


Sahabat sebelumnya telah mebahas
Masjid dan Mushalla, kali ini masih membicarakan hal yang sama yaitu tentang masjid dengan artikel berjudul Menghadirkan Ruh Masjid
Sahabat Masyhur di kalangan muarrikhîn (sejarahwan Islam) bahwa pekerjaan pertama yang dilakukan Rasulullah SAW. sesampainya di negeri hijrah Madinah adalah  membangun masjid (Ibnu Hisyam II, hal.108), masjid yang disebut oleh Allah sebagai lamasjidun ussisa ‘alat taqwâ min awwali yaumin; yakni masjid yang didirikan atas dasar taqwa sejak hari pertama (QS. at Taubah/9:108).
Pembangunan masjid dengan segala pengertiannya, menjadi bagian terpenting dari strategi yang diterapkan rasulullah SAW. sebagai landasan pokok dalam membangun sebuah tatanan kehidupan masyarakat Islam di Madinah. Adapun hal-hal yang menjadi penyangga berdirinya tatanan masyarakat Islam itu sendiri (da’âimul mujtama’ al Islâmî), menurut Musthafa ‘Abdul Wâhid dalam Al Mujtama’ al Islâmînya, antara lain: al ukhuwwah (persaudaraan), al musâwah (persamaan), al hurriyyah (kebebasan/ kemerdekaan) dan at takâful (saling menanggung).
Menurut Ahmat semua penyangga tatanan masyarakat muslim seperti telah disebutkan di atas, sesungguhnya bisa ditumbuhkan melalui masjid. Karena itulah, tiang pertama yang Rasulullah pancangkan di hari pertama beliau menginjakan kakinya di negeri Madinah adalah bangunan masjid, baru kemudian menanamkan benih persaudaraan diantara mereka lalu membuat perjanjian (dustur / undang-undang) yang mengatur tata kehidupan mereka. (lihat al Buthi:269). Dan jika kita kaji, ternyata dua item terakhir merupakan implikasi atau buah dari nilai-nilai luhur yang dibangun melalui media masjid.
Sebelum megakhiri tulisan ini, teringat salah satu komentar Ibnu Katsir ketika membahas QS. at Taubah 9:18. di atas dengan mengutip sebuah Hadits Rasulullah SAW :

إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَعْتَادُ الْمَسْجِدَ فَاشْهَدُوْا لَهُ بِالِإِيْمَانِ  - رواه أحمد عن أبي سعيد الخدري

Apabila kalian melihat orang yang sering menyengajakan diri datang ke masjid, maka persaksikanlah keimanannya” (HR. Ahmad dari Abû Sa’îd al Khudri RA.).

Maka sangat layaklah, jika Allah SWT. memasukan orang-orang yang senantiasa akrab dengan masjid ke dalam golongan yang akan diberi naungan di hari kiamat: “Tujuh golongan yang Allah akan memberikan naungan di hari kiamat, di hari tidak ada naungan selain naungannya: (diantaranya) … seseorang yang hatinya senantiasa tertaut pada masjid” (HR. al Bukhârî).
                Sebuah pertanyaan yang sampai saat ini jawabannya belum mampu memuaskan manusia adalah, apakah hakikat wujud manusia. Apakah wujud manusia hanya sebongkah badan  materiel, atau juga membawa hakikat selain materi. Dengan kata lain, apakah al-Quran mengakui bahwa manusia adalah hakikat selain materi yang disebut dengan ruh atau menolaknya. Bila mengakui demikian, lalu bagaimana kitab suci ini menjelaskan hubungan ruh dengan badan. Apakah ruh ada setelah kejadian badan atau sebelumnya. Apakah al-Quran mengakui bahwa setelah kehancuran badan, ruh tetap ada atau tidak.
                Sebenarnya al-Quran telah menyebutkan adanya dimensi selain materi pada manusia yang disebut dengan ruh. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh ayat berikut ini: Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ruh-Nya ke dalamnya dan Dia menjadikan untuk kalian pendengaran, penglihatan dan hati tetapi sedikit sekali kalian  bersyukur. Kalimat “meniupkan ruh-Nya ke dalamnya” dalam ayat di atas menunjukkan adanya dimensi yang bernama ruh pada manusia. Setelah menjelaskan tentang ruh, ayat tersebut mengatakan bahwa Allah menciptakan untuk kalian telinga, mata dan hati, menurut pandangan sebagian para penafsir, meskipun membicarakan tentang anggota badan akan tetapi maksudnya adalah penggunaan dari anggota tersebut yaitu mendengar dan melihat. 
 Mungkin bisa juga diambil kesimpulan secara detil dari ayat di atas bahwa setelah menyebutkan tentang peniupan ruh kemudian menyebutkan tentang telinga, mata dan hati sebabnya adalah karena sumber asli perbuatan anggota tersebut adalah ruh. Yakni bila ruh tidak ada maka anggota tersebut tidak ada gunanya karena anggota tersebut hanya berperan sebagai perantara bagi ruh, tanpa ruh dengan sendirinya anggota tersebut tidak bisa berbuat apa-apa. 
 Dalam filsafat Islam telah terbukti bahwa badan berperan sebagai perantara bagi aktivitas ruh. Aktivitas yang dilakukan oleh anggota badan pada hakikatnya sumbernya adalah ruh. Yakni melihat, mendengar, mencium dan berbicara semuanya terkait dengan ruh. Mata, telinga, hidung dan lidah hanya sekedar perantara untuk mengetahui masalah-masalah ini. Misalnya sebuah kacamata. Orang yang penglihatannya lemah, ia menggunakan kacamata, lantas apakah kacamata itu sendiri yang melihat atau kacamata hanya sekedar perantara bagi mata? Jelas kacamata dengan sendirinya tidak bisa melihat akan tetapi ia harus diletakkan di depan mata sehingga mata yang kerjanya adalah melihat dengan menggunakan kacamata ia bisa melihat sesuatu. Pada hakikatnya mata dalam contoh tersebut sama seperti ruh, dan telinga, mata dan lidah seperti kacamata sebagai perantara. Ruh dengan perantara anggota badan bisa melakukan aktivitasnya.
 Ayat lain yang mengisyaratkan adanya ruh pada manusia adalah ayat berikut ini:
Dan apabila Aku telah menyempurnakan  kejadiannya dan meniupkan ruh-Ku ke dalamnya maka tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud. Dua poin penting yang ada dalam dua ayat di atas adalah Allah mengatakan,  “Aku meniupkan ruh-Ku”, apa maksud dari kalimat tersebut? Apakah maksudnya adalah Allah meniupkan sebagian ruh-Nya kepada manusia. Yakni sebagian ruh-Nya masuk ke dalam tubuh manusia atau ada maksud yang lain lagi?
                Jelas Allah bukan ruh sehingga harus memasukkan sebagian ruh-Nya ke dalam tubuh manusia, akan tetapi yang dimaksud oleh al-Quran dengan penjelasan ini adalah kemuliaan dan ketinggian ruh itu sendiri. Yakni ruh begitu bernilai sehingga Allah menghubungkannya dengan diri-Nya dan mengatakan, “Aku meniupkan kepadanya ruh-Ku”. Bisa kita jelaskan dengan contoh lain seperti masjid adalah rumah Allah. Kita tahu bahwa masjid bukan rumah Allah, karena Dia bukan materi sehingga harus membutuhkan tempat tinggal, akan tetapi maksudnya adalah nilai dan pentingnya masjid sehingga disebut dengan rumah Allah. Contoh lain seperti majelis rakyat juga disebut sebagai rumah rakyat.

 Ada ayat lain yang mengisyaratkan tentang wujudnya ruh:Demi nafs (ruh, jiwa) dan penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan jalan kefasikan dan jalan ketakwaannya. Ayat di atas menceritakan tentang realitas ruh yang memiliki pemahaman. Ayat di atas mengatakan bahwa Allah telah mengilhamkan pemahaman baik dan buruk. Mengingat bahwa pada manusia  tidak terdapat anggota badan pun yang bisa memahami sesuatu,  maka yang layak memiliki pemahaman adalah kekuatan selain materi yang disebut oleh al-Quran dengan ruh atau nafs.
 Di sini kita mengajukan dua argumentasi untuk membuktikan keberadaan ruh yang nonmateri:
1.  Salah satu pembuktian ruh ialah cara manusia memperoleh konsep-konsep universal. Maksud dari universal di sini ialah bahwa konsep-konsep itu bisa bisa diaplikasikan pada banyak objek.  Misalnya, manusia sebagai konsep universal. konsep manusia ini bisa diaplikasikan pada semua objek individualnya seperti Ali, Husein, Husein dan selain mereka. Kita juga tahu bahwa konsep-konsep universal ini tidak ada secara konkret di luar, karena segala yang ada di luar memiliki keadaan, kualitas dan kuantitas tertentu. Pertanyaannya, di manakah tempat konsep-konsep universal ini? Jelasnya, tempat mereka nonmateri, karena materi melazimkan bentuk tertentu, keadaan tertentu, batas ruang dan waktu tertentu, sementara konsep-konsep universal tidak memiliki satupun dari ciri-ciri ini. Dengan demikian, maka mesti ada suatu sisi selain materi dalam wujud manusia, sehingga konsep-konsep universal -yang tidak memiliki ciri-ciri materiel sedikit pun- itu bisa berada di dalamnya.
2. Salah satu dari ciri-ciri materi ialah adanya hubungan khas antara tempat dan penempat (yang menempati). Yakni, penempat tidak pernah lebih besar dari tempatnya; sesuatu yang lebih besar tidak bisa menempati ruang yang kecil. Manusia banyak menyaksikan benda-benda besar dan ia bisa menempatkan gambaran (konsep) benda-benda besar tersebut dalam pikirannya sesuai dengan ukurannya. Misalnya, ia bisa membayangkan gedung bertingkat dua puluh dalam pikirannya atau menggambarkan ratusan meter persegi gunung dalam pikirannya. Pertanyaannya, kalau benar bahwa penggambaran gedung bertingkat dua puluh ini bisa dilakukan oleh otak sebagai benda yang memiliki ukuran kecil, lantas bagaimana benda yang besar itu bisa menempati tempat yang kecil ini? Jelas, berdasarkan kaidah di atas (yakni hubungan khas antara tempat dan penempatnya) pasti ada satu hakikat nonmateri dalam diri manusia, sehingga ia bisa menempatkan sesuatu yang besar itu dalam dirinya sesuai dengan ukuran sebenarnya. Dan hakikat tempat tersebut ialah ruh (nafs). Karena ruh bukan materi, ia bisa ditempati oleh sesuatu yang besar.
2.2 Imam.
A. Pengertian Imam
Imam menurut bahasa adalah pemimpin komunitas agama Islam. Pemimpin Islam dan kepemimpinannya disebut Imamah. Dalam Islam adanya Imam dan Imamah adalah suatu keharusan. Dikalangan Sunni, kalimat imam sinonim dengan kalimat Khalifah. Dalam berbagai keadaan kalimat Imam juga bisa berarti pemimpin Salat berjamaah sehari-hari.
Tanpa hal itu Islam tidak dapat disebut sebagai sebuah agama, karena agama mutlak harus memiliki imamah. Dalam Islam juga dikenal Khilafah di mana umat islam secara keseluruhan harus berada di dalam suatu kepemimpinan tunggal. Dan inilah juga salah satu aplikasi dari Tauhid.
Istilah Imam yang berkaitan dengan kepemimpinan umat pertama kali disandang oleh Imam Ali, menurut kepercayaan Syi'ah. Ali adalah putra Abu Thalib, paman Rasulullah Muhammad SAW. Selanjutnya, imamah dipegang oleh para putra Ali. Golongan yang mengimani 12 imam ini disebut Syi'ah Rafidhah / Syi'ah Itsna 'Asyariyah.
B. Kriteria Imam
Imam merupakan salah satu status yang paling tinggi di dalam ibadah sholat. Sebab, jika dilihat dari segi maknanya, imam berarti ‘’panutan’’. Oleh karena itu, setiap sholat berjamaah seorang imam di ikuti sekian banyak jamaah. Menurut penuturan Nabi Saw, jika imamnya bagus, maka ia akan mendapatkan pahala sebanyak makmumnya. Jadi, semakin banyak jamaahnya, akan semakin banyak pahala yang di dapatkan oleh sang Imam. Tetapi, jika seorang Imam salah, maka ia akan bertanggung jawab atas kesahannya di hadapan Allah Swt.
Kriteria Imam, tidak harus berasal dari kalangan orang berada, atau terpandang. Siapa saja bisa menjadi Imam sholat, dengan catatan:
1. Bisa membaca al-Qur’an dengan baik (tajwid), terutama bacaan surat al-Fatihah.
2. Mengerti syarat rukunnya sholat.
3. Menjaga muruah, seperti (sehari-hari tidak menggenakan celana pendek), karena auratnya terbuka.
4. Juga tidak suka berjudi, rentenir, serta hal-hal yang dilarang tuhan.
Namun demikian, syah sholatnya seorang ma’mum terhadap Imam yang masih suka beli togel. Tetapi, jika sudah tahu bahwa imamnya masih suka togel, maka hendaknya menghindari menjadi ma’mum.
Suatu ketika Nabi Saw bersabda: Barang siapa menjadi imam, maka hendaklah tawqa kepada Allah Swt, dan ketahuilah sesungguhnya Imam itu bertanggung jawab dan akan ditanyai terhadap apa yang yang dipimpinnya, jika imam itu bagus maka ia akan mendapatkan pahala ibadah seperti pahalanya orang yang sholat dibelakangnya, tanpa sedikitpun berkurang dari pahala mereka, jika tidak sempurna maka akan kembali kepadanya(HRTobroni).
Dalam dunia modern, masjid itu bisa dikatakan berjalan dengan baik jika manejen masjid berjalan dengan baik. Seperti; memilih muaddin dan imam rowatib, memiliki perpustakaan, jadwal imam dan khotib jum’at tersusun rapi, klinik, bagian kebesihan. Semua itu dipersiapkan, dengan tujuan agar supaya memberikan kenyamanan terhadap setiap jamaah di masjid tersebut. Apalagi, masjid tersebut memiliki komperasi, sehingga kebutuhan jamaah bisa terpenuhi dengan baik. Inilah yang di sebut dengan memakmurkan rumah Allah Swt. Jadi, memakmurkan masjid bukan hanya sekedar berjamaah, lebih dari itu bisa memberikan sesuatu kepada masyarakat sekitarnya.


hanya yang tertera yang dapat kami jelaskan. setiap manusi tidak akan luput dari kesalahan. oleh karena itu saya mohon maaf atas keterbatasan yang saya miliki dari apa yang telah kami jelaskan. semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar