Selasa, 16 Desember 2014

FILSAFAT ILMU



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.
            Ilmu merupakan kata yang lazim terdengar di tengah-tengah masyarakat, mudah terucap dan selalu dapat dimengerti oleh orang-orang sesuai dengan perspektif mereka yang mereka pahami. Hal yang paling sering terjadi, ilmu selalu dikaitkan dengan apa yang dipelajari dan diajarkan di sekolah-sekolah atau tempat pendidikan lainnya. Padahal sejatinya, cakupan ilmu bukan sekedar yang tergambar dalam susunan jadwal pembelajaran di sekolah dan sebagainya.
            Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi. Selanjutnya, sebagai contoh Ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi ke dalam hal yang bahani (material saja), atau ilmu psikologi hanya bisa meramalkan perilaku manusia jika lingkup pandangannya dibatasi ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang konkret. Berkenaan dengan contoh ini, ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jarak matahari dan bumi, atau ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi cocok menjadi perawat.
            Berkenan dengan ilmu, sangat dominan sekali pendapat yang mengatakan ilmu dan pengetahuan itu sama. Bahkan keduanya disandingkan seolah-olah menyatu dan tidak terpisahkan. Persepsi yang telah terdoktrin di masyarakat ini seperti telah berakar terlebih lagi bagi masyarakat awam yang benar-benar kurang pemahaman akan apa itu ilmu sebenarnya. Berangkat dari sini, kami selaku pemakalah mencoba untuk menguraikan ilmu pada taraf sesungguhnya. Dan mencoba untuk memberi pemahaman kepada pembaca sekalian tentang pembahasan mengenai ilmu.
1.2. Maksud dan Tujuan.
            Maksud dan tujuan dalam pembuatan makalah ini diantaranya :
  1. Mengkaji lebih dalam hal-hal yang berkaitan dengan ilmu.
  2. Menambah wawasan akan batasan ilmu pada takaran sebenarnya.
  3. Menguraikan perbedaan ilmu dan pengetahuan yang selama ini dianggap sama.
  4. Menguraikan sekilas kedudukan masing-masing antara ilmu, filsafat dan agama.
1.3. Rumusan Masalah.
            Rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah :
  1. Apa itu ilmu ?
  2. Bagaimana ilmu dalam Islam ?
  3. Dimana letak perbedaan ilmu dan pengetahuan serta filsafat ?
  4. Bagaimana penjelasan tentang ontologi, epistemologi dan aksiologi yang disebut sebagai dasar-dasar ilmu ?
1.4. Batasan Masalah.
            Dalam pembahasan ini, kami selaku pemakalah membatasi pembahasan masalah hanya pada ruang lingkup sebagaimana yang tercantum dalam rumusan masalah di atas. Dengan maksud sebagai pertimbangan agar pembahasan ini nantinya tidak keluar dari ruang lingkup materi yang telah ditetapkan atau yang akan kami bahas dan kami uraikan.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Ilmu.
            Ilmu hanyalah merupakan salah satu jenis pengetahuan yang dimiliki manusia di antara berbagai pengetahuan yang lain. Namun sejauh ini kiranya ilmulah yang merupakan pengetahuan yang paling dapat diandalkan berkaitan dengan fakta empiris. Penjelasan ilmiah, tentang fenomena gerhana bulan, misalnya, yang paling dapat memberikan kepuasan pada rasa ingin tahu manusia dibandingkan dengan penjelasan yang lain. Selain itu, tradisi akademis yang dikembangkan di sekolah maupun perguruan tinggi membuat setiap orang yang pernah belajar menjadi terbiasa dengan ilmu, meskipun sejauh ini sumber pengetahuan yang paling berkembang baru sampai tahapan otoritas. Tradisi akademis membuat orang menjadi semakin rasional, sadar ataupun tidak, orang yang pernah menuntut ilmu tertentu hanya akan puas apabila setiap persoalan yang dihadapi dapat diberikan eksplanasi secara ilmiah: dalam arti didukung data dan fakta yang dapat dilakukan verifikasi secara empiris. Ilmu adalah himpunan fakta-fakta serta aturan-aturan yang menyatakan hubungan antara satu dengan yang lain. Fakta itu tersusun secara sistematik serta dinyatakan dalam bahasa yang tepat dan pasti sehingga mudah dipahami, mudah dicari kembali, dan mudah mengerti untuk komunikasi.[1]
            Pengertian selanjutnya, ilmu adalah suatu bentuk aktiva manusia yang dengan melakukannya umat manusia memperleh suatu pengetahuan dan senantiasa lebih lengkap dan lebih cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan mengubah lingkungannya serta mengubah sifat-sifatnya sendiri.[2]
            Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus tentang apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
  1. Objektif, Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, sehingga disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
  2. Metodis, adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
  3. Sistematis, dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
  4. Universal, kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
2.2. Dasar-dasar Ilmu.
  1. Ontologi.
            Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan penyeledikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Dalam persoalan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ? pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan). Pembicaraan mengenai hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan mungkin ada. Hakikat adalah realitas, realita adalah ke-real-an, Real artinya kenyataan yang sebenarnya. Jadi, hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah.[3] Amsal Bakhtiar mengatakan, ontologi berasal dari kata ontos = sesuatu yang berwujud. Ontologi adalah teori atau ilmu tentang wujud, tentang hakikat yang ada. Ontologi tidak banyak berdasar pada alam nyata, tetapi berdasar pada logika semata-mata.[4]
            Ahmad Tafsir mencontohkan tentang hakikat makna demokrasi dan fatamorgana. Pada hakikatnya pemerintahan demokratis menghargai pendapat rakyat. Mungkin orang pernah menyaksikan pemerintahan itu melakukan tindakan sewenang-wenang, tidak menghargai pendapat rakyat. Itu hanyalah keadaan sementara, bukan hakiki, yang hakiki pemerintahan itu demokratis. Tentang hakikat fatamorgana dicontohkan, kita melihat suatu objek fatamorgana. Apakah real atau tidak ? Tidak, fatamorgana bukan hakikat, hakikat fatamorgana itu ialah tidak ada.[5]
            Sementara itu, A. Dardiri mengatakan, ontologi adalah menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda dimana entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal universal, abstraksi) dapat dikatakan ada.[6]
            Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut :
a.       Monoisme, hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua.
b.      Dualisme, benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit.
c.       Pluralisme, paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan.
d.      Nihilisme, sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif.
e.       Agnostisisme, paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda.[7]

  1. Epistemologi.
            Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[8]
            Mula-mula manusia percaya bahwa dengan kekuatan pengenalannya ia dapat mencapai realitas sebagaimana adanya. Para filosofispra Socrates, yaitu filosof pertamadi dalam tradisi barat, tidak memberikan perhatian pada cabang filsafat ini sebab mereka memusatkan perhatian terutama pada alam dan kemungkinan perubahannya, sehingga mereka kerap dijuluki filosof alam. Mereka mengandaikan begitu saja bahwa pengetahuan mengenai kodrat itu mungkin, meskipun beberapa diantara mereka menyarankan bahwa pengetahuan mengenai struktur kenyataan dapat lebih dimunculkan dari sumber-sumber tertentu ketimbang sumber-sumber lainnya. Herakleitus, misalnya, menekankan penggunaan indera, sementara Parmanides menekankan penggunaan akal, meskipun demikian, tak seorang pun diantara mereka yang meragukan kemungkinan adanya pengetahuan mengenai kenyataan (realitas).[9]
            Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera dan lain-lain mempunyai metode sendiri di dalam pengetahuan, diantaranya adalah :
a.       Metode Induktif.
b.      Metode Deduktif.
c.       Metode Positivisme.
d.      Metode Kontemplatif.
e.       Metode Dialektis.[10]
3.      Aksiologi.
            Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak bisa di pungkiri bahwap peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi pemuiman, pendidikan, komunikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
            Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia? dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya, pembuatan bom yang pada awalnya untuk mempermudah manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbukan mala petaka bagi manusia itu sendiri, seperti yang terjadi di Bali baru-baru ini dan menciptakan senjata kuman yang dipakai sebagai alat untuk membunuh sesama manusia. Disinilah ilmu harus diletakkan secara proporsinal dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab, jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai maka yang terjadi adalah  bencana dan mala petaka.[11]
            Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, kami akan menguraikan beberapa defenisi tentang aksiologi, diantaranya :
1.      Aksiologi yang berasal dari aksios (yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi, aksiologi adalah “teori tentang nilai”.[12]
2.      Sedangkan arti aksiologi yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Surya Sumantri filsafat ilmu sebuah pengantar populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
3.      Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conducte, yaitu tindakan moral, bagian ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, ecteheticexpression, yaitu expresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-politicalipe, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsapat sosio politik.[13]
4.      Dalam encyclopedia of philosophy dijelaskan, aksiologi disamakan dengan value andvaluaton. Ada tiga bentuk value dan valuaton (nilai dianggap sebagai kata benda abstrak, nilai sebagaikata benda kogkrit, nilai juga digunakansebagai kata kerja dalam exspresi nilai, memberi nilai, dan di nilai).
2.3  Kedudukan Ilmu, Filsafat dan Agama.
            Ilmu, filsafat dan agama mempunyai hubungan yang terkait dan reflekrif dengan manusia. Dikatakan terkait karena ketiganya tidak dapat bergerak dan berkembang apabila tidak ada tiga alat dan tenaga utama yang berada dalam diri manusia. Tiga alat dan tenaga utama manusia adalah akal pikir, rasa dan keyakinan. Sehingga dengan ketiga hal tersebut manusia dapat mencapai kebahagiaan bagi dirinya.
            Ilmu dan filsafat dapat bergerak dan berkembang berkat akal pikiran manusia. Juga, agama dapat bergerak dan berkembang berkat adanya keyakinan. Akan tetapi, ketiga alat dan tenaga utama tersebut tidak dapat berhubungan dengan ilmu, filsafat, dan agama apabila tidak didorong dan dijalankan kemauan manusia yang merupakan tenaga tersendiri yang terdapat dalam diri manusia.
            Dikatakan reflektif karena ilmu, filsafat dan agama, baru dapat dirasakan (diketahui) faedahnya/ manfaatnya dalam kehidupan manusia, apabila ketiganya merefleksi (lewat proses pantul diri) dalam diri manusia.
            Ilmu mendasarkan pada akal pikir lewat pengalaman dan indra, dan filsafat mendasarkan pada otoritas akal murni secara bebas dalam penyelidikan terhadap kenyataan dan pengalaman terutama dikaitkan dengan kehidupan manusia. Sedangkan agama mendasarkan pada otoritas wahyu. Harap dibedakan agama yang berasal dari pertumbuhan dan perkembangan filsafat yang mendasarkan pada konsep-konsep tentang kehidupan dunia, terutama konsep-konsep tentang moral.
            Menurut Prof. Nasroen, S.H, mengemukakan bahwa filsafat yang sejati haruslah berdasarkan pada agama. Apabila filsafat tidak berdasarkan pada agama dan filsafat hanya semata-mata berdasarkan atas akal pikir saja, filsafat tersebut tidak akan memuat kebenaran objektif karena memberikan penerangan dan putusan adalah akal pikir.  Sementara itu, kesanggupan akal pikiran terbatas sehingga filsafat yang hanya berdasarkan akal pikir semata-mata akan tidak sanggup  memberi kepuasan manusia, terutama dalam rangka pemahamannya terhadap yang Ghaib.[14]
2.4. Ilmu Dalam Konsep Islam.
            Dalam merespon sains modern, ilmuan muslim punya perspektif yang berbeda-beda:
            Pertama, kelompok yang menganggap bahwa sains modern yang bersifat dan netral dan semua sains tersebut dan dapat diketemukan dalam Al- Qur’an. Kelompok ini disebut kelompok Bucaillion, pengikut Maurice Bucaille, seorang ahli bedah Prancis yang bukunya yang sangat terkenal, The bible, the Qu’ran and science. Pendapat Bucaille ini oleh Sardar dianggap naif dan sangat riskan, sebab menganggap Al-qur’an sebagai ensiklopedia sains.
            Kedua, kelompok yang mengumpulkan persemakmuran sains di negeri-negeri Islam, karena kelompok ini berpendapat, bahwa etika sains itu berbeda dalam masyarakat Islam, maka fungsinya akan termodifikasi sehingga dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dan cita-cita Islam (lihat Sardar, 1988:167-171). Barang kali tokoh Ismail Raji Al- Farauqi, Naqlik Al- Attas, AbsdusSalam dan kawan-kawan dapat diklasifikasikan dalam kelompok ini, dengan konsep Islamisasinya. Kelompok ini juga dianggap naif oleh Sardar sebab Al-Qur’an diletakkan dalam posisisi Subordinate (keterangan tentang islamisasi dan kritik sardar akan dibahas tersendiri dalam Bab IV).
            Ketiga,  kelompok yang ingin membangun paradigma baru (epistemologi) Islam, yaitu paradigma pengetahuan dan paradigma prilaku.[15]
            Pemikir islam abad 20 khususnya setelah seminar internasional sekolah pendidikan Islam di Mekkah pada tahun 1977, mengklasifikasikan Ilmu dalam dua kategori, Pertama, Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu allah yang terteradala Al-qur’an dan hadis serta yang semua yang dapat diambil dari keduanya, Kedua,  ilmu yng di cari (inquired knowledge) termasuk sains ke alaman dan terapan (teknologi) yang dapat berkembang secara kualitatif (Qurais shihab, 1992:262-63).[16]
            Al- Qordowi (1989:35) menuturkan bahwa menurut Islam cakupan ilmu tidak hanya terbatas kepada ilmu menurut pandangan barat modern yang experimental saja tetapi ia meliputi :
Pertama, aspek metafisika yang dibawa oleh wahyu yang mengunggapkan apa yang disebut dengan realitas agung yang menjawab pertanyaan abadi: dari mana, kemana, dan bagaimana.
Kedua, aspek humaniora dan studi-studi yang terkait dengannya yang meliputi pembahasan mengenai kehidupan manusia, hubungannya dengan dimensi ruang dan waktu di psikologi, sosiologi, ekonomi, politik dan lain-lain.
Ketiga, aspek material yang bertebaran di jagat raya, atau ilmu yang berdasarkan opservasi dan exsperimen, yaitu dengan uji coba di laboratorium. Dan ilmu inilah yang berkembang di barat.[17]















BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan.
            Ilmu hanyalah merupakan salah satu jenis pengetahuan yang dimiliki manusia di antara berbagai pengetahuan yang lain. Namun sejauh ini kiranya ilmulah yang merupakan pengetahuan yang paling dapat diandalkan berkaitan dengan fakta empiris. Penjelasan ilmiah, tentang fenomena gerhana bulan, misalnya, yang paling dapat memberikan kepuasan pada rasa ingin tahu manusia dibandingkan dengan penjelasan yang lain.
            Ilmu adalah suatu bentuk aktiva manusia yang dengan melakukannya umat manusia memperleh suatu pengetahuan dan senantiasa lebih lengkap dan lebih cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan mengubah lingkungannya serta mengubah sifat-sifatnya sendiri.
3.2. Pesan dan Saran.
            Dalam kesempatan ini kami ingin menyampaikan beberapa pesan dan saran untuk kami sendiri khususnya dan untuk pembaca sekalian umumnya, diantaranya :
1.      Pahami suatu materi kajian dari sumber-sumber rujukan yang dapat dijadikan pegangan tapi bukan berarti fanatik terhadap satu rujukan.
2.      Jangan menganggap ilmu dengan batasan pengertian yang selama ini telah banyak berkembang di tengah masyarakat awam, akan tetapi selaku orang yang berpendidikan tentunya akan lebih bersikap kritis terarah.
3.      Bacalah makalah ini dengan baik dan pahami setiap aspek pembahasan yang telah dikaji dalam makalah ini.


                [1]Dra. Nurkartika, dkk, Intisari Biologi SMU, Jakarta: PT. Aksarindo Primacipta, 2001, hlm. 226.
                [2]The Liang Gie, Pekerjaan Umum, Keinsinyuran dan Administrasi Pemerintahan, Yogyakarta: Karya Kencana, 1977, hlm. 163-164.
                [3]Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012, hlm. 131.
                [4]Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet. I, 1997, hlm. 169.
                [5]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Bandung: Rosdakarya, 2002, hlm. 24.
                [6]A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika, Jakarta: Rajawali, 1986, hlm. 17.
                [7]Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, op.cit, hlm. 146.
                [8]DW. Hamlyn, History of Epistemologi, The Enclyclopedia of Philosophy, 1967, Vol. 3, hlm. 9.
                [9]Ibid.
                [10]Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, op.cit, hlm. 155.
                [11]Ibid, hlm. 162.
                [12]Burhanuddin Salam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, cet ke-1, hlm. 168.
                [13]Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997, cet ke-1, hlm. 106.
                [14]Asmoro Achmadi, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010, hlm. 17-18.
                [15]Drs. M. Zainuddin, MA, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2006, hlm. 37-38.
                [16]Ibid, hlm. 49-50.
                [17]Ibid, hlm. 53.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar