MAKALAH MANAJEMEN KEMASJIDAN KEMBALINYA RUH MASJID DAN IMAM- Pada saat sekarang ini, kebanyakan masjid sudah kehilangan ruhnya. Oleh karena itu di sini sedikit kami jelaskan bagaimana mengembalikan ruh masjid yang hampir tidak ada lagi. selamat membaca.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kembalinya Ruh Masjid dan Imam
A. Arti
Sebuah Masjid
Kebanyakan umat Islam memahami kata
masjid sebagai bangunan tempat ibadah umat Islam, tempat sholat dsb. Pemahaman
ini adalah pemahaman umum, walaupun sebenarnya harus dipahami lebih mendalam,
definisinya tidak sedangkal itu. Banyak permasalahan dikalangan umat Islam yang
kadang karena disebabkan pendangkalan makna masjid ini kemudian terjadi
konflik. Ada perpecahan, misal masing- masing memberi nama masjid mereka, ada
masjid LDII, ada masjid Muhamadiyah, Masjid NU, dsb. Dan ini mengakibatkan
keburukan dimasyarakat, perpecahan.
B. Arti Masjid
Masjid artinya tempat sujud. Nabi
bersabda, Tempat terbaik adalah masjid, sedangkan tempat paling buruk adalah WC
dan pasar. Ada pula Hadizt Lain, Setiap Bumi adalah Masjid, kecuali WC
dan Makam ( Kuburan ).
Masjid sebernya adalah sebuah
filosofi tempat. Bukan ditekankan pada wujud fisik bangunan. Masjid adalah
sebuah tempat bersujud manusia kepada Allah. Sedangkan Masjid juga disebut
baitullah atau rumahnya Allah. Maksudnya bukan tempatnya kelompok tertentu. Jadi
Sebelum ingin mendefinisikan masjid sebaiknya memahami sifat-sifat Allah dalam
Asmaul Khusna. Nama Allah adalah maha suci, Memiliki semua kebaikan,
Arrahman Dan Arrakhim dsb. Sehingga karena masjid itu adalah rumahnya Allah
maka Sebuah masjid harus bisa mencerminkan sifat-sifat Allah. Harus bisa
mengayomi, harus bisa memecahkan segala persoalan bukan malah menciptakan
perpecahan dan persolan, harus bisa menyatukan ( Al- jami’ ) . Sebagai temapat
berzikir dsb.
Dan suatu tempat yang didalamya
terdapat ruh Allah, Didalamnya mencerminkan sifat- sifat Allah maka hakikatnya
adalah Masjid.Dan seorang ahli Sufi menjelaskan, Masjid terbesar adalah ada di
Hatimu. Maksudnya jadikanlah hatimu seperti masjid yang dalam hati itu terdapat
Ruh Allah.Hati yang didalamnya tidak terdapat zikrullah maka hakikatnya adalah
makam, atau tempat kotor.
C. Pengertian Ruh Masjid
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَأَتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُوْنُوْا مِنَ الْمُهْتَدِيْنَ
“Sesungguhnya yang akan memakmurkan masjid Allah itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, menunaikan shalat, mengeluarkan zakat dan ia tidak takut, kecuali hanya pada Allah. Mudah-mudahan mereka itu termasuk orang-orang yang diberi petunjuk”.
(QS. at Taubah/9:18)
Sahabat sebelumnya telah mebahas Masjid dan Mushalla, kali ini masih membicarakan hal yang sama yaitu tentang masjid dengan artikel berjudul “Menghadirkan Ruh Masjid”
Sahabat Masyhur di
kalangan muarrikhîn (sejarahwan Islam) bahwa pekerjaan pertama yang
dilakukan Rasulullah SAW. sesampainya di negeri hijrah Madinah adalah
membangun masjid (Ibnu Hisyam II, hal.108), masjid yang disebut oleh Allah
sebagai lamasjidun ussisa ‘alat taqwâ min awwali yaumin; yakni
masjid yang didirikan atas dasar taqwa sejak hari pertama (QS. at
Taubah/9:108).
Pembangunan masjid dengan
segala pengertiannya, menjadi bagian terpenting dari strategi yang diterapkan
rasulullah SAW. sebagai landasan pokok dalam membangun sebuah tatanan kehidupan
masyarakat Islam di Madinah. Adapun hal-hal yang menjadi penyangga berdirinya
tatanan masyarakat Islam itu sendiri (da’âimul mujtama’ al Islâmî),
menurut Musthafa ‘Abdul Wâhid dalam Al Mujtama’ al Islâmînya, antara
lain: al ukhuwwah (persaudaraan), al musâwah (persamaan), al
hurriyyah (kebebasan/ kemerdekaan) dan at takâful (saling
menanggung).
Menurut Ahmat semua
penyangga tatanan masyarakat muslim seperti telah disebutkan di atas,
sesungguhnya bisa ditumbuhkan melalui masjid. Karena itulah, tiang pertama yang
Rasulullah pancangkan di hari pertama beliau menginjakan kakinya di negeri
Madinah adalah bangunan masjid, baru kemudian menanamkan benih persaudaraan
diantara mereka lalu membuat perjanjian (dustur / undang-undang) yang
mengatur tata kehidupan mereka. (lihat al Buthi:269). Dan jika kita kaji,
ternyata dua item terakhir merupakan implikasi atau buah dari
nilai-nilai luhur yang dibangun melalui media masjid.
Sebelum megakhiri tulisan ini,
teringat salah satu komentar Ibnu Katsir ketika membahas QS. at Taubah 9:18. di
atas dengan mengutip sebuah Hadits Rasulullah SAW :
إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَعْتَادُ الْمَسْجِدَ فَاشْهَدُوْا لَهُ بِالِإِيْمَانِ - رواه أحمد عن أبي سعيد الخدري
“Apabila kalian melihat orang yang sering menyengajakan diri datang ke masjid, maka persaksikanlah keimanannya” (HR. Ahmad dari Abû Sa’îd al Khudri RA.).
Maka sangat
layaklah, jika Allah SWT. memasukan orang-orang yang senantiasa akrab dengan
masjid ke dalam golongan yang akan diberi naungan di hari kiamat: “Tujuh
golongan yang Allah akan memberikan naungan di hari kiamat, di hari tidak ada
naungan selain naungannya: (diantaranya) … seseorang yang hatinya senantiasa
tertaut pada masjid” (HR. al Bukhârî).
Sebuah pertanyaan yang
sampai saat ini jawabannya belum mampu memuaskan manusia adalah, apakah hakikat
wujud manusia. Apakah wujud manusia hanya sebongkah badan materiel, atau
juga membawa hakikat selain materi. Dengan kata lain, apakah al-Quran mengakui
bahwa manusia adalah hakikat selain materi yang disebut dengan ruh atau
menolaknya. Bila mengakui demikian, lalu bagaimana kitab suci ini menjelaskan
hubungan ruh dengan badan. Apakah ruh ada setelah kejadian badan atau
sebelumnya. Apakah al-Quran mengakui bahwa setelah kehancuran badan, ruh tetap
ada atau tidak.
Sebenarnya al-Quran telah menyebutkan adanya dimensi
selain materi pada manusia yang disebut dengan ruh. Sebagaimana yang
diisyaratkan oleh ayat berikut ini: Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan
ruh-Nya ke dalamnya dan Dia menjadikan untuk kalian pendengaran, penglihatan
dan hati tetapi sedikit sekali kalian bersyukur. Kalimat “meniupkan
ruh-Nya ke dalamnya” dalam ayat di atas menunjukkan adanya dimensi yang bernama
ruh pada manusia. Setelah menjelaskan tentang ruh, ayat tersebut mengatakan bahwa
Allah menciptakan untuk kalian telinga, mata dan hati, menurut pandangan
sebagian para penafsir, meskipun membicarakan tentang anggota badan akan tetapi
maksudnya adalah penggunaan dari anggota tersebut yaitu mendengar dan
melihat.
Mungkin bisa juga diambil
kesimpulan secara detil dari ayat di atas bahwa setelah menyebutkan tentang
peniupan ruh kemudian menyebutkan tentang telinga, mata dan hati sebabnya
adalah karena sumber asli perbuatan anggota tersebut adalah ruh. Yakni bila ruh
tidak ada maka anggota tersebut tidak ada gunanya karena anggota tersebut hanya
berperan sebagai perantara bagi ruh, tanpa ruh dengan sendirinya anggota
tersebut tidak bisa berbuat apa-apa.
Dalam filsafat Islam
telah terbukti bahwa badan berperan sebagai perantara bagi aktivitas ruh.
Aktivitas yang dilakukan oleh anggota badan pada hakikatnya sumbernya adalah
ruh. Yakni melihat, mendengar, mencium dan berbicara semuanya terkait dengan
ruh. Mata, telinga, hidung dan lidah hanya sekedar perantara untuk mengetahui
masalah-masalah ini. Misalnya sebuah kacamata. Orang yang penglihatannya lemah,
ia menggunakan kacamata, lantas apakah kacamata itu sendiri yang melihat atau
kacamata hanya sekedar perantara bagi mata? Jelas kacamata dengan sendirinya
tidak bisa melihat akan tetapi ia harus diletakkan di depan mata sehingga mata
yang kerjanya adalah melihat dengan menggunakan kacamata ia bisa melihat
sesuatu. Pada hakikatnya mata dalam contoh tersebut sama seperti ruh, dan
telinga, mata dan lidah seperti kacamata sebagai perantara. Ruh dengan
perantara anggota badan bisa melakukan aktivitasnya.
Ayat lain yang mengisyaratkan
adanya ruh pada manusia adalah ayat berikut ini:
Dan apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya dan meniupkan ruh-Ku ke dalamnya maka
tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud. Dua poin penting yang ada dalam dua
ayat di atas adalah Allah mengatakan, “Aku meniupkan ruh-Ku”, apa maksud
dari kalimat tersebut? Apakah maksudnya adalah Allah meniupkan sebagian ruh-Nya
kepada manusia. Yakni sebagian ruh-Nya masuk ke dalam tubuh manusia atau ada
maksud yang lain lagi?
Jelas Allah bukan ruh sehingga harus memasukkan
sebagian ruh-Nya ke dalam tubuh manusia, akan tetapi yang dimaksud oleh
al-Quran dengan penjelasan ini adalah kemuliaan dan ketinggian ruh itu sendiri.
Yakni ruh begitu bernilai sehingga Allah menghubungkannya dengan diri-Nya dan
mengatakan, “Aku meniupkan kepadanya ruh-Ku”. Bisa kita jelaskan dengan contoh
lain seperti masjid adalah rumah Allah. Kita tahu bahwa masjid bukan rumah
Allah, karena Dia bukan materi sehingga harus membutuhkan tempat tinggal, akan
tetapi maksudnya adalah nilai dan pentingnya masjid sehingga disebut dengan
rumah Allah. Contoh lain seperti majelis rakyat juga disebut sebagai rumah
rakyat.
Ada ayat lain yang
mengisyaratkan tentang wujudnya ruh:Demi nafs (ruh, jiwa) dan penyempurnaannya,
maka Allah mengilhamkan jalan kefasikan dan jalan ketakwaannya. Ayat di atas
menceritakan tentang realitas ruh yang memiliki pemahaman. Ayat di atas
mengatakan bahwa Allah telah mengilhamkan pemahaman baik dan buruk. Mengingat
bahwa pada manusia tidak terdapat anggota badan pun yang bisa memahami
sesuatu, maka yang layak memiliki pemahaman adalah kekuatan selain materi
yang disebut oleh al-Quran dengan ruh atau nafs.
Di sini kita mengajukan dua argumentasi
untuk membuktikan keberadaan ruh yang nonmateri:
1. Salah satu pembuktian ruh ialah cara manusia
memperoleh konsep-konsep universal. Maksud dari universal di sini ialah bahwa
konsep-konsep itu bisa bisa diaplikasikan pada banyak objek. Misalnya,
manusia sebagai konsep universal. konsep manusia ini bisa diaplikasikan pada
semua objek individualnya seperti Ali, Husein, Husein dan selain mereka. Kita
juga tahu bahwa konsep-konsep universal ini tidak ada secara konkret di luar,
karena segala yang ada di luar memiliki keadaan, kualitas dan kuantitas
tertentu. Pertanyaannya, di manakah tempat konsep-konsep universal ini?
Jelasnya, tempat mereka nonmateri, karena materi melazimkan bentuk tertentu,
keadaan tertentu, batas ruang dan waktu tertentu, sementara konsep-konsep
universal tidak memiliki satupun dari ciri-ciri ini. Dengan demikian, maka
mesti ada suatu sisi selain materi dalam wujud manusia, sehingga konsep-konsep
universal -yang tidak memiliki ciri-ciri materiel sedikit pun- itu bisa berada
di dalamnya.
2. Salah satu dari ciri-ciri materi
ialah adanya hubungan khas antara tempat dan penempat (yang menempati). Yakni,
penempat tidak pernah lebih besar dari tempatnya; sesuatu yang lebih besar
tidak bisa menempati ruang yang kecil. Manusia banyak menyaksikan benda-benda
besar dan ia bisa menempatkan gambaran (konsep) benda-benda besar tersebut
dalam pikirannya sesuai dengan ukurannya. Misalnya, ia bisa membayangkan gedung
bertingkat dua puluh dalam pikirannya atau menggambarkan ratusan meter persegi
gunung dalam pikirannya. Pertanyaannya, kalau benar bahwa penggambaran gedung
bertingkat dua puluh ini bisa dilakukan oleh otak sebagai benda yang memiliki
ukuran kecil, lantas bagaimana benda yang besar itu bisa menempati tempat yang
kecil ini? Jelas, berdasarkan kaidah di atas (yakni hubungan khas antara tempat
dan penempatnya) pasti ada satu hakikat nonmateri dalam diri manusia, sehingga
ia bisa menempatkan sesuatu yang besar itu dalam dirinya sesuai dengan ukuran
sebenarnya. Dan hakikat tempat tersebut ialah ruh (nafs). Karena ruh bukan
materi, ia bisa ditempati oleh sesuatu yang besar.
2.2 Imam.
A.
Pengertian Imam
Imam menurut bahasa adalah pemimpin komunitas agama Islam. Pemimpin Islam dan kepemimpinannya disebut Imamah. Dalam Islam adanya Imam dan Imamah
adalah suatu keharusan. Dikalangan Sunni, kalimat imam sinonim dengan kalimat Khalifah. Dalam berbagai keadaan kalimat Imam juga bisa berarti
pemimpin Salat berjamaah sehari-hari.
Istilah
Imam yang berkaitan dengan kepemimpinan umat pertama kali disandang oleh Imam Ali, menurut
kepercayaan Syi'ah. Ali adalah putra Abu Thalib,
paman Rasulullah Muhammad SAW. Selanjutnya, imamah dipegang oleh para putra
Ali. Golongan yang mengimani 12 imam ini disebut Syi'ah Rafidhah / Syi'ah
Itsna 'Asyariyah.
B.
Kriteria Imam
Imam merupakan salah satu
status yang paling tinggi di dalam ibadah sholat. Sebab, jika dilihat dari segi
maknanya, imam berarti ‘’panutan’’. Oleh karena itu, setiap sholat berjamaah
seorang imam di ikuti sekian banyak jamaah. Menurut penuturan Nabi Saw, jika
imamnya bagus, maka ia akan mendapatkan pahala sebanyak makmumnya. Jadi,
semakin banyak jamaahnya, akan semakin banyak pahala yang di dapatkan oleh sang
Imam. Tetapi, jika seorang Imam salah, maka ia akan bertanggung jawab atas
kesahannya di hadapan Allah Swt.
Kriteria Imam, tidak harus
berasal dari kalangan orang berada, atau terpandang. Siapa saja bisa menjadi
Imam sholat, dengan catatan:
1. Bisa membaca al-Qur’an dengan baik
(tajwid), terutama bacaan surat al-Fatihah.
2. Mengerti syarat rukunnya sholat.
3. Menjaga
muruah, seperti (sehari-hari tidak menggenakan celana pendek), karena auratnya
terbuka.
4. Juga tidak suka berjudi, rentenir,
serta hal-hal yang dilarang tuhan.
Namun demikian, syah
sholatnya seorang ma’mum terhadap Imam yang masih suka beli togel. Tetapi, jika
sudah tahu bahwa imamnya masih suka togel, maka hendaknya menghindari menjadi
ma’mum.
Suatu ketika Nabi Saw
bersabda: Barang siapa menjadi imam, maka hendaklah tawqa kepada Allah Swt, dan
ketahuilah sesungguhnya Imam itu bertanggung jawab dan akan ditanyai terhadap
apa yang yang dipimpinnya, jika imam itu bagus maka ia akan mendapatkan pahala
ibadah seperti pahalanya orang yang sholat dibelakangnya, tanpa sedikitpun
berkurang dari pahala mereka, jika tidak sempurna maka akan kembali
kepadanya(HRTobroni).
Dalam dunia modern, masjid itu bisa dikatakan berjalan dengan baik jika manejen masjid berjalan dengan baik. Seperti; memilih muaddin dan imam rowatib, memiliki perpustakaan, jadwal imam dan khotib jum’at tersusun rapi, klinik, bagian kebesihan. Semua itu dipersiapkan, dengan tujuan agar supaya memberikan kenyamanan terhadap setiap jamaah di masjid tersebut. Apalagi, masjid tersebut memiliki komperasi, sehingga kebutuhan jamaah bisa terpenuhi dengan baik. Inilah yang di sebut dengan memakmurkan rumah Allah Swt. Jadi, memakmurkan masjid bukan hanya sekedar berjamaah, lebih dari itu bisa memberikan sesuatu kepada masyarakat sekitarnya.
hanya yang tertera yang dapat kami jelaskan. setiap manusi tidak akan luput dari kesalahan. oleh karena itu saya mohon maaf atas keterbatasan yang saya miliki dari apa yang telah kami jelaskan. semoga bermanfaat.
Dalam dunia modern, masjid itu bisa dikatakan berjalan dengan baik jika manejen masjid berjalan dengan baik. Seperti; memilih muaddin dan imam rowatib, memiliki perpustakaan, jadwal imam dan khotib jum’at tersusun rapi, klinik, bagian kebesihan. Semua itu dipersiapkan, dengan tujuan agar supaya memberikan kenyamanan terhadap setiap jamaah di masjid tersebut. Apalagi, masjid tersebut memiliki komperasi, sehingga kebutuhan jamaah bisa terpenuhi dengan baik. Inilah yang di sebut dengan memakmurkan rumah Allah Swt. Jadi, memakmurkan masjid bukan hanya sekedar berjamaah, lebih dari itu bisa memberikan sesuatu kepada masyarakat sekitarnya.
hanya yang tertera yang dapat kami jelaskan. setiap manusi tidak akan luput dari kesalahan. oleh karena itu saya mohon maaf atas keterbatasan yang saya miliki dari apa yang telah kami jelaskan. semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar