MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM BANI ABBASIYAH DAN MASA DISINTEGRASI- Selamat siang sahabat pembaca yang budiman.
Di dalam makalah ini sedikit akan membahas tentang dinasti bani abbasyiayah dan masa diintegrasi. berikut saya sajikan untuk anda semua.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Peradaban islam
mengalami puncak kejayaan pada masa daulah Abbasiyah. Perkembangan ilmu
pengetahuan sangat maju yang diawali dengan penerjemahan naskah asing terutama
yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, pendirian pusat pengembangan ilmu
dan perpustakaan dan terbentuknya mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai
buah dari kebebasan berfikir. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti
Islam yang paling berhasil dalam mengembangkan peradaban Islam. Para ahli
sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada masa pemerintahan dinasti
Abbasiyah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
sejarah berdirinya bani Abbasiyah?
2.
Bagaimana
perkembangan ilmu pengetahuan, bidang pemerintahan, bidang ekonomi dan
lain-lain pada bani Abbasiyah?
3.
Apa-apa saja
yang terjadi pada masa disintegrasi?
1.3 Tujuan
1.
Untuk
mengetahui sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah
2.
Untuk
mengetahui perkembangan ilmu dan ilmuwan yang berpengaruh pada masa dinasti
Abbasiyah
3.
Untuk
mengetahui perkembangan-perkembangan yang sangat menonjol pada bani abbasiyah?
4.
Untuk
mengetahui lebih banyak tentang hal-hal yang terjadi pada masa disintegrasi?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah Berdiri Khilafah Bani Abbasiyah Dan Puncak Keemasaannya
Di antara yang mempengaruhi berdirinya khilafah bani Abbasiyah adalah
terdapatnya beberapa kelompok umat yang sudah tidak mendukung kekuasaan
imperium bani Umayah yang notabenenya korupsi, sekuler dan memihak sebagian
kelompok diantaranya adalah kelompok Syiah dan Khawarij[1]
serta kaum Mawali yaitu orang-orang yang baru masuk islam yang mayoritas dari
Persi. Mereka merasa di perlakukan tidak setara dengan kelompok Arab karena
pembebanan pajak yang terlalu tinggi kelompok ini lah yang mendukung revolusi
Abbasiyah
Kekuasaan bani Abassiyah berlangsung dalam
kurun waktu yang sangat panjang berkisar tahun 132 H sampai 656 H (750
M-1258 M) yang dibagi menjadi 5 periode :
1.
Periode pertama (132 H/750 M- 232 H/847
M). Di sebut periode pengaruh Persia pertama.
2.
Periode kedua (232 H/847 M- 334 H/945
M). Di sebut masa pengaruh Turki pertama.
3.
Periode ke tiga (334 H/ 945 M – 447
H/1055 M). Masa kekuasaan dinasti Buwaih atau pengaruh Persia kedua.
4.
Periode ke empat (447 H/1055 M – 590
H/1194 M). Merupakan kekuasaan dinasti bani Saljuk dalam pemerintahan atau
pengaruh Turki dua.
5.
Periode ke lima (590 H/1194 M – 565
H/1258 M). Merupakan masa mendekati kemunduran dalam sejarah peradaban islam.[2]
Pada periode pertama pemerintahan
Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan
merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran
masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan
landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini
berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun
filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat
singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya digantikan oleh Abu Ja'far al-Manshur (754-775 M), yang keras menghadapi
lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi'ah. Untuk memperkuat kekuasaannya,
tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu
disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya
sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir dibunuh karena tidak bersedia
membaiatnya, al-Manshur memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani melakukannya, dan kemudian
menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan
akan menjadi pesaing baginya.
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah,
dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan
menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansyur memindahkan ibu
kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian,
pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini
al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya, di antaranya
dengan membuat semacam lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan,
dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai koordinator dari kementrian
yang ada, Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid
bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga
protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi
angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga
kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah
ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekadar untuk
mengantar surat. Pada masa al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh
informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan
lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur
setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali
daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan
memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut
adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala
tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosphorus. Di pihak lain, dia berdamai dengan
kaisar Constantine
V
dan selama gencatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala
tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki
Khazar
di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oxus, dan India.
“
|
Innama anii Sulthan Allah fi
ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)
|
”
|
Dengan demikian, konsep khilafah
dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula
sekadar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa'
al-Rasyiduun. Di samping itu, berbeda dari daulat Bani Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah
memakai "gelar takhta", seperti al-Manshur, dan belakangan gelar
takhta ini lebih populer daripada nama yang sebenarnya.
Kalau dasar-dasar pemerintahan
daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas as-Saffah dan
al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah
sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775- 786 M), Harun Ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan
peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil
pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang
transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas daulah Abbasiyah
mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Ar-Rasyid Rahimahullah (786-809 M) dan
puteranya al-Ma'mun (813-833 M)[3].
Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, dan
mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Pada masanya
sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian
umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya.
Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara
terkuat dan tak tertandingi.
Al-Ma'mun, pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal
sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya,
penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah
dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli (wa
laa haula wa laa quwwata illaa billaah). Ia juga banyak mendirikan sekolah,
salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul-Hikmah,
pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan
yang besar. Pada masa Al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan
ilmu pengetahuan.
Al-Mu'tasim, khalifah berikutnya (833-842 M),
memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan,
keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa
Daulah Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem
ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti.
Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan
demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun
demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang
mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar.
Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern
Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindiq di Persia, gerakan Syi'ah, dan konflik antarbangsa dan aliran
pemikiran keagamaan, semuanya dapat dipadamkan.
Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah
pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah
perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Di samping itu, ada pula ciri-ciri
menonjol dinasti Bani Abbas yang tak terdapat di zaman Bani Umayyah.
- Dengan
berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas
menjadi jauh dari pengaruh Arab Islam. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab Islam. Dalam periode pertama dan
ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode
kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik
dan pemerintahan dinasti ini.
- Dalam
penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang
membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam
pemerintahan Bani Umayyah.
- Ketentaraan
profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya,
belum ada tentara khusus yang profesional.
Sebagaimana diuraikan di atas,
puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa
pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas
penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal
kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga
pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari
dua tingkat:
- Maktab/Kuttab
dan masjid, yaitu lembaga pendidikan
terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan
tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir,
hadits, fiqh dan bahasa.
- Tingkat
pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi
keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam
bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu
agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah
ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di
istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke
sana.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang
pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi.
Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di
samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis, dan
berdiskusi.[4]
Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi
yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu
pengetahuan. Di samping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh
dua hal, yaitu:
- Terjadinya
asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang
lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada
masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara
efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan,
sangat kuat di bidang pemerintahan. Di samping itu, bangsa Persia banyak
berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang
kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui
terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
- Gerakan
terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa
khalifah al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak
diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase
kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku
yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran.
Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya
pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.[5]
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang
sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama.
Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama,
tafsir bi al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil
interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi
al-ra'yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat
dan pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang
berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa
tafsir dengan metode bi al-ra'yi, (tafsir rasional), sangat dipengaruhi
oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga
terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan
umat Islam sangat memengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.
Imam-imam madzhab hukum yang empat
hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah Rahimahullah (700-767 M)
dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah
kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah
mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih
banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadits. Muridnya dan sekaligus
pelanjutnya, Abu
Yusuf,
menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman Harun Ar-Rasyid. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik Rahimahullah (713-795 M)
banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh
mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi'i Rahimahullah (767-820 M),
dan Imam Ahmad ibn Hanbal Rahimahullah (780-855 M)
yang mengembalikan sistem madzhab dan pendapat akal semata kepada hadits Nabi
serta memerintahkan para muridnya untuk berpegang kepada hadits Nabi serta
pemahaman para sahabat Nabi. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga dan
memurnikan ajaran Islam dari kebudayaan serta adat istiadat
orang-orang non-Arab. Di samping empat pendiri madzhab besar tersebut, pada
masa pemerintahan Bani Abbas banyak para mujtahid lain yang mengeluarkan
pendapatnya secara bebas dan mendirikan madzhab-nya pula. Akan tetapi, karena
pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama
berlalunya zaman.[6]
Aliran-aliran sesat yang sudah ada
pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murji'ah dan Mu'tazilah pun ada. Akan tetapi perkembangan
pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu'tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani
Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru
mereka rumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah
terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran filsafat dan rasionalisme dalam Islam. Tokoh perumus pemikiran Mu'tazilah
yang terbesar adalah Abu
al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-835M). Asy'ariyah, aliran tradisional di bidang
teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan
al-Asy'ari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak
sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena Al-Asy'ari
sebelumnya adalah pengikut Mu'tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang
sastra. Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa
Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan
transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat
dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan
sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama
kali menyusun astrolobe. Al-Farghani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard
Cremona
dan Johannes
Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama ar-Razi dan Ibnu Sina. Ar-Razi adalah tokoh pertama yang
membedakan antara penyakit cacar dengan measles.[7]
Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya,
ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibnu Sina yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran
darah pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb
yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitsami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang
menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut
teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke
mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam
seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan
mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata aljabar berasal dari
judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam bidang sejarah terkenal
nama al-Mas'udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Di antara karyanya adalah Muuruj
al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku
tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap
filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang
buku tentang filsafat, yang terkenal di antaranya ialah asy-Syifa'.[8]
Ibnu Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam
bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme. Pada masa kekhalifahan ini, dunia
Islam mengalami peningkatan besar-besaran di bidang ilmu pengetahuan. Salah satu
inovasi besar pada masa ini adalah diterjemahkannya karya-karya di bidang
pengetahuan, sastra, dan filosofi dari Yunani, Persia, dan Hindustan.
Banyak golongan pemikir lahir zaman
ini, banyak di antara mereka bukan Islam dan bukan Arab Muslim. Mereka ini memainkan peranan yang
penting dalam menterjemahkan dan mengembangkan karya Kesusasteraan
Yunani
dan Hindu, dan ilmu zaman pra-Islam kepada masyarakat
Kristen Eropa. Sumbangan mereka ini menyebabkan
seorang ahli filsafat Yunani yaitu Aristoteles terkenal di Eropa. Tambahan
pula, pada zaman ini menyaksikan penemuan ilmu geografi, matematika, dan astronomi seperti Euclid dan Claudius Ptolemy. Ilmu-ilmu ini kemudiannya
diperbaiki lagi oleh beberapa tokoh Islam seperti Al-Biruni dan sebagainya.
2.2 Masa Disintegrasi (1000 – 1250 M)
1.
Dinasti-Dinasti
yang Memerdekakan Diri Dari Baghdad.
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai
terjadi di akhir zaman bani Umayyah. Akan terlihat perbedaan antara
pemerintahan bani Umayyah dengan pemerinatahan bani Abbas. Wilayah kekuasaan
bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhanya, sejajar
dengan batas wilayah kekuasaan Islam. Ada kemungkinan bahwa para khalifah
Abbasiah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari propinsi-propinsi
tertentu. Dengan pembiayaan upeti. Alasanya, pertama mungkin para khalifah
tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya, kedua, penguasa bani
Abbas lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan dari pada
politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pada
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada persoalan politik itu,
propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa bani
Abbas, dengan berbagai cara diantaranya pemberontakan yang dilakukan oleh
pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti daulah
Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko. Seseorang yang
ditunjuk menjadi gubernur oleh kholifah, kedudukanya semakin bertambah kuat,
seperti daulah Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyah di Khurasan.
Kecuali bani Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko,
propinsi-propinsi itu pada mulanya patuh membayar upeti selama mereka
menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasi pergolakan yang muncul.
Namun, saat wibawa khalifah sudah memudar mereka melepaskan diri dari Baghdad.
Mereka tidak hanya menggerogogoti kekuasaan, bahkan diantara mereka ada yang
berusaha mengusai kholifah itu sendiri.
Menurut Watt, sebenarnya keruntuhan kekuasaan bani Abbas
mulai terlihat sejak awal abad kesembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan
dengan datangnya pemimpin-pimimpin yang memiliki kekuasaan militer di
propinsi-propinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar independen.
Dinasti dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari
kekuasaan Baghdad pada masa khalifah Abbasyiah, diantaranya adalah :
1. Yang berbangsa Persia :
a. Thahiriyah di Khurasan (205-259 H/820-872 M)
b. Shafariyah di Fars (254-290 H/868-901 M)
c. Samaniyah
di Transoxania (261-289 H/873-998 M)
d. Sajiyyah
di Azerbeijan (266-318 H/878-930 M)
e. Buwaihiyah bahkan menguasai Baghdad (320-447 H / 932-1055
M)
2. Yang berbangsa Turki
a. Thuluniyah di Mesir (254-292 H/837-903 M)
b. Ikhsyidiyahdi Turkistan (320-560 H/932-1163 M)
c. Ghazanawiyah di Afganistan (351-585 H/962-1189 M)
d. Dinasti
Seljuk dan cabang-cabangnya
1. Seljuk besar atau Seljuk agung (429-522 H/1037-1127 M)
2. Seljuk Kirman di Kirman (433-583 H/1040-1187 M)
3. Seljuk Syiria atau Syam di Syiria (487-511 H/1094-1117 M)
4. Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan (511-590 H/1117-1194 M)
5. Seljuk
Rum atau Asia kecil di Asia kecil (470-700 H/1077-1299 M)
3. Yang berbangsa Kurdi
a. Al Barzuqani (348-406 H/959-1015 M)
b. Abu Ali ((380-489 H/990-1095 M)
c. Ayubiyah (564- 648 H/1167-1250 M)
4. Yang berbangsa Arab
a. Idrisiyah di maroko (172-375 H/788-985 M)
b. Aghlabiyah
di Tunisia (184-289 H/800-900 M)
c. Dulafiyah
di Kurdistan (210-285 H/825-898 M)
5. Yang
mengaku dirinya sebagai kholifah
a. Umawiyah
di spanyol
b. Fathimiyah
di mesir[9]
2.
Perebutan Kekuasaan Di Pusat Pemerintahan
Faktor lain yang menyebabkan peran politik bani Abbas
menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya
juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Nabi Muhammad
memang tidak menentukan bagaiman acara penggantian pemimpin setelah
ditinggalkanya. Beliau menyerahkan masalah ini kepada kaum muslimin sejalan
dengan jiwa kerakyatan yangberkembang dikalangan masyarakat Arab dan ajaran
demokrasi dalam Islam. Setelah nabi wafat, terjadi pertentangan pendapat
diantara kaum muhajirin dan anshar dibalai kota bani Sa’idah di madinah. Akan
tetapi, karena pemahaman keagaamaan mereka yang baik, semangat musyawarah,
ukhuwah yang tinggi, perbedaan itu dapat diselesaikan. dan Abu Bakar terpilih
menjadi khalifah.
Pertumpahan darah pertama dalam Islam karena perebutan
kekuasaan terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin abi thalib. Ali terbunuh oleh
bekas pengikutnya sendiri.
Pemberontakan-pemberontakan yang muncul pada masa Ali ini bertujuan untuk menjatuhkanya dari kursi khalifah dan diganti oleh pemimpin pemberontak itu. Hal ini sama juga terjadi pada masa kekhalifahan bani Umayyah di Damaskus. Seperti pemberontakan Husein bin Ali, syi’ah yang dipimpin oleh Ali Muchtar.
Pemberontakan-pemberontakan yang muncul pada masa Ali ini bertujuan untuk menjatuhkanya dari kursi khalifah dan diganti oleh pemimpin pemberontak itu. Hal ini sama juga terjadi pada masa kekhalifahan bani Umayyah di Damaskus. Seperti pemberontakan Husein bin Ali, syi’ah yang dipimpin oleh Ali Muchtar.
Pada pemerintahan bani Abbas, perebutan kekuasaan seperti
itu juga terjadi, terutama di awal berdirinya. Ditangan tentara Turkilah
khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang
memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka.
Setelah kekuasaan berada di tanagn orang-orang Turki pada periode kedua, pada
periode ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), Daulah Abbasyiah berada dibawah
kekuasaan bani Buwaih.
Kelahiran bani Buwaih berawal dari tiga orang putra Abu
Syuja’ Buwaih, pencari ikan yang tinggal di daerah Dailam, yaitu Ali, Hasan dan
Ahmad. Untuk keluar dari kemiskinan, tiga bersaudara ini memasuki dinas militer
yang ketika itu dipandang banyak mendatangkan rizki. Keadaan khalifah lebih
buruk dari pada masa sebelumnya, terutama karena bani Buwaih adalah penganut
aliran Syi’ah, sementara bani Abbas adalah Sunni. Selama masa kekuasaan bani
Buwaih sering terjadi kerusuhan antara kelompok Ahlus sunnah dan Syi’ah,
pemberontakan tentara tersebut.
Setelah Baghdad dikuasai, bani Buwaih memindahkan markaz
kekuasaan dari Syiraz ke Baghdad. Mereka membangun gedung tersendiri di tengah
kota bernama Dar Al Mamlakah. Tetapi, kendali politik berada di Syiraz, tempat
Ali bin Buwaih (saudara tertua) bertahta. Para pegnguasa bani Buwaih
mencurahkan perhatian secara langsung dan sungguh-sungguh terhadap pengembangan
ilmu pengetahuan dan kesusteraan.
Kekuasaan politik bani Buwaih tidak lama bertahan.
Setelah generasi pertama, tiga saudara tersebut. Kekuasaan menjadi ajang
pertikaian di antara anak-anak mereka. Masing-masing merasa paling berhak atas
kekuasaan pusat.
Faktor-faktor yang membawa kemunduran
dan kehancuran bani Buwaih yaitu :
1. Faktor internal
Perebutan kekuasaan di kalangan
keturunan dan Pertentangan dalam tubuh militer
2. Faktor eksternal
Semakin gencarnya serangan-serangan
Bizantium ke dunia Islam. Semakin banyaknya dinasti-dinasti kecil yang
membebaskan diri dari kekuasaan Baghdad.
Dinasti Seljuk
berhasil merebut keuasaan dari bani Buwaih . jatuhnya kekuasaan bani Buwaih kedatangan
Seljuk bermula dari perebutan kekuasaan di dalam negeri. Dinasti Seljuk berasal
dari beberapa kabilah kecil rumpun suku Ghuz di wilayah Turkistan. Setelah
Seljuk meninggal, kepemimpinana di lanjutkan oleh anaknya, Israil. Namun Israil
dan Mikail, penggantinya ditangkap oleh penguasa Ghaznawiyah. Kepemimpinan
selanjutnya dipegang oleh Thugrul bek.
Posisi dan
kedudukan khalifah lebih baik setelah dinasti Seljuk berkuasa. Kewibawaan dalam
bidang agama di kembalikan setelah beberapa lama dirampas orang-orang Syi’ah.
Bukan hanya pembangunana mental spiritual, dalam pembangunan fisik pun dinasti
Seljuk banyak meninggalkan jasa. Seperti masjid, jembatan, irigasi, jalan raya.
Setelah
Maliksyah dan perdana menteri Nizham Al Mulk wafat Seljuk besar mulai mengalami
masa kemunduran di bidang politik. Perebutan kekuasaan dianatar anggota
keluarga, setiap propinsi berusaha melepaskan diir dari pusat, konflik-konflik
da peperangan antar anggota keluarga.
3.
Perang Salib
Perang Salib (perang suci) ini terjadi pada tahun 1905,
saat Paus Urbanus II berseru kepada Umat Kristen di Eropa untuk melakukan
perang suci, untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis
yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk yang menetapkan beberapa peraturan yang
memberatkan bagi Umat kristen yang hendak berziarah ke sana.
Sebagaimana
telah disebutkan, peristiwa penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh
Alp Arselan adalah peristiwa Manzikart, tahun 464 H (1071 M). Tentara Alp
Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasi1
mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang, terdiri dari tentara
Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Peristiwa besar ini
menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam,
yang kemudian mencetuskan Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah dinasti
Seljuk dapat merebut Bait al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan dinasti
Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk menetapkan beberapa
peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan itu
dirasakan sangat menyulitkan mereka. Untuk memperoleh kembali keleluasaan
berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru
kepada umat Kristen di Eropa supaya melakukan perang SUCI. Perang ini kemudian
dikenal dengan nama Perang Salib, yang terjadi dalam tiga periode.
1. Periode
Pertama
Pada musim semi tahun 1095 M; 150.000 orang Eropa,
sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel,
kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan
Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka
berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini
mereka mendirikan kerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun
yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan kerajaan latin II di
Timur. Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Bait
al-Maqdis (15 Juli 1099 M.) dan mendirikan kerajaan Latin III dengan rajanya,
Godfrey. Setelah penaklukan Bait al-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan
ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M.), Tripoli (1109 M.) dan kota
Tyre (1124 M.). Di Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV, Rajanya adalah
Raymond.
2. Periode Kedua
Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak, berhasil
menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa pada tahun 1144 M. Namun ia
wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Numuddin Zanki.
Numuddin berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada tahun
1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen
mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang
disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II.
Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan
tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Numuddin Zanki. Mereka tidak berhasil
memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke
negerinya. Numuddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh
Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun
1175 M. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali
Yerussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian kerajaan latin di Yerussalem yang
berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat
memukul perasaan tentara salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Kali ini
tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard the Lion
Hart, raja Inggris, dan Philip Augustus, raja Perancis. Pasukan ini bergerak
pada tahun 1189 M. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun
mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin.
Akan tetapi mereka tidak berhasil memasuki Palestina. Pada tanggal 2 Nopember
1192 M, dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Shalahuddin yang disebut
dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen
yang pergi berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.
3. Periode Ketiga
Tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh raja
Jerman, Frederick II. Kali ini mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu
sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen
Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki Dimyat. Raja Mesir dari
dinasti Ayyubiyah waktu itu, al- Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan
Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara al-
Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin
di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam
perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin
tahun 1247 M, di masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir
selanjutnya. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan
posisi dinasti Ayyubiyah, pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun.
Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin, tahun 1291
M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti
di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari sana.
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan
daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak
sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya. Kerugian-kerugian ini
mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian
mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak dinasti kecil
yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.
4. Sebab Sebab Kemunduran Pemerintahan Bani Abbas
Sebagai mana terlihat dalam periodesasi khilafah
Abbasyiah , masa kemunduran dimuilai sejak periode kedua, namun demikian
faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba.
Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya khalifah pada periode
itu sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah
kekuasaan Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung
berperan sebagai kepala pegawai sipil. Tetapi jika kholifah lemah, mereka akan
berkuasa mengatur roda pemerintahan
Disamping kelemahan kholifah, banyak faktor lain yang
menyebabkan khilafah Abbasyiah hancur. Beberapa diantaranya adalah sebagai
berikut :
1. Luasnya wilayah yang harus di kendalikan
Ini sama seklai bukanya tidak dapat
diatasi, tetapi salah satu persyaratan untuk mempersatukan wilayah yang sangat
luas harus ada suatu tingkat saling percaya yang tinggi di kalangan penguasa-penguasa
utama dan pelakasana pemerintah,. Penghukuman mati, sering setelah disiksa,
adalah perlakuan biasa terhadap para wazir yang di berhentikan, pemenjaraan dan
penyitaan harta adalah praktek normal.
Dalam keadaan seperti itu hampir bisa dipastikan bahwa setiap orang pasti akan mencari keuntungan bagi dirinya dengan merugikan orang lain, dan akibatnya adalah makin sulit bagi khalifah untuk memperoleh orang-orang yang akan di tunjuk sebagai gubernur propinsi yang bisa dipercaya.
Dalam keadaan seperti itu hampir bisa dipastikan bahwa setiap orang pasti akan mencari keuntungan bagi dirinya dengan merugikan orang lain, dan akibatnya adalah makin sulit bagi khalifah untuk memperoleh orang-orang yang akan di tunjuk sebagai gubernur propinsi yang bisa dipercaya.
2.
Meningkatnya
ketergantungan pada tentara bayaran.
Hal ini berhubungan dengan
perkembangan-perkembangan dalam tekhnologi militer. Pemakaian tentara bayaran
juga berarti bahwa makin banyak uang di keluarkan makin kuat tentara yang
dimiliki. Demikianlah untuk mempertahankan posisinya kholifah memerlukan
kekuatan militer yang cukup untuk menanggunlangi beberapa gubernur pembangkang
pada saat yang sama, tetapi beban keuangan ini makin lama makin sulit diatasi.
3.
Keuangan
Begitu kekuatan militer merosot,
khalifah tidak sanggup mengirimkan pajak ke Baghdad dan penghasilan menurun dan
ini bisa berarti ada pemberontakan oleh tentara atau kekuatan militernya
berkurang sehgingga berkurang pula kemampuan nya mengumpulkan pajak. Karena
tidak ada bank yang dimintai pinjaman uang oleh kholifah, maka jalan
satu-satunya dalam kedaruratan keuangan ini ialah menerapkan denda yang besar,
atau penyitaan begitu saja, dari orang-orang kaya yang bagaimanapun sebagaian
besar kekayaanya mungkin di dapat secara tidak sah.
Berbagai hal lain juga disebutkan yang memperparah kesuliatan keuangan. Tentara di beri tanah bukanya uang, dan ini mengurangi jumlah yang harus dibayar keperbendaharaan Negara. Untuk menghindari penyitaan orang-orang memberikan harta berdasar waqaf dan ini bisa di berikan kepada keluarganya sendiri.
Berbagai hal lain juga disebutkan yang memperparah kesuliatan keuangan. Tentara di beri tanah bukanya uang, dan ini mengurangi jumlah yang harus dibayar keperbendaharaan Negara. Untuk menghindari penyitaan orang-orang memberikan harta berdasar waqaf dan ini bisa di berikan kepada keluarganya sendiri.
4.
Persaingan
antar bangsa.
Khilafah Abbasyiah didirikan oleh bani
Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi
oleh persamaan nasib yaitu sama-sama ditindas pada masa bani Umayyah. Ada
sebab-sebab dinasti Abbas memilih orang- orang Persia dari pada orang Arab.
Pertama, sulit, bagi orang-orang arab untuk melupakan bani Umayyah. Kedua,
orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ushabiyah kesukuan.
Meskipun demikian, orang-orang Persia itu merasa puas. Mereka menginginkan dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir ditubuh mereka adalah (ras )istimewa dan mereaka menganggap rendah bangsa non Arab di dunia Islam.
Meskipun demikian, orang-orang Persia itu merasa puas. Mereka menginginkan dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir ditubuh mereka adalah (ras )istimewa dan mereaka menganggap rendah bangsa non Arab di dunia Islam.
Setelah Al Mutawakkil, seoratng khalifah
yang lemah naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi sejak saat
itu kekuasaan bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan
orang-orang Turki. Posisi ini kemudian di rebut oleh bani Buwaih, bangsa
Persia, pada periode ketiga, dan selnajutnya beralih pada dinasti Seljuk.
5.
Kemerosotan
ekonomi
Setelah khilafah memasuki periode
kemunduran. Pendapatan Negara menurun. Sementara pengeluaran meningkat lebih
besar. Menurunya pendapatan karena makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyak
terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, di peringanya pajak,
sedangkan banyak dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak mau
membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh
kehidupan para khalifah semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam dan para
pejabat melakukan korupsi.
6.
Konflik keagamaan
Konflik yang dilatar belakangi agama
tak terbatas pada konflik anatara muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dengan
Syi’ah saja. Tetapi juga antara aliran dalam Islam. Mu’tazilah yang cenderung
rasional dituduh sebagai pembuat bid’ah oleh golongan salaf. Perselisihan antar
dua golongan ini di pertajam oleh Al Ma’mun, dengan menjadikan Mu’tazilah
sebagai madzhab resmi Negara dan melakukan mihnah. Pada masa Al Mutawakkil
(847-861) aliran Mu’tazilah di batalkan sebagai aliran Negara dan golongan
salaf kembali naik daun. Tidak toleranya pengikut Hambali (salaf) terhadap
Mu’tazilah yang rasional telah menyempitkan horizon intelektual.
7.
Ancaman dari
luar
Adapun faktor eksternal yang
menyebabkan khilafah Abbasyiah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, perang salib
yang berlangsung beberapa gelombang atau periode yang menelan banyak korban.
Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Pengaruh salib juga
terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol, Hulago Khar, panglima tentara Mongol
sangat membenci Islam karena ia banyak di pengaruhi oleh orang-orang Budha dan
Kristen Nestorian.
8.
Pertentangan
internal keluarga
Didalam pemerintahan terjadi konflik
keluarga yang berkepanjangan. Ribuan orang terbunuh akibat peristiwa Al Mansur
melawan Abdullah bin Ali pamanya sendiri dan Al Masum Al Mu’tasim melawan Abbas
bin Al Ma’mun. Konflik ini meyebabkan keretakan psikologis yang dalam dan
menghilangkan solidaritas keluarga, sehingga mengundang campur tangan dari
luar.
9.
Kehilangan
kendali dan munculnya daulah-daulah kecil
Faktor kepribadian sangat menentukan
pula keberhasilan seorang pemimpin. Kelemahan pribadi diantara kholifah
Abbasyiah mengakibatkan kehancuran system khilafah. Terutama karena terbuai
kehidupan mewah, perdana menteri seenaknya menentukan kebijakan para khalifah .
mereka menggunakan kekuatan dari luar untuk mempertahankan pemerintahanya
seperti orang Turki, Seljuk, dan Buwaihi-khawarizmi, kekuatan dari luar lebih
mengakibatkan kehancuran.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Dinasti abbasiyah berkuasa sejak tahun 132 H – 656 H.
2. Bidang-bidang ilmu pengetahuan umum yang berkembang pada
masa dinasti abbasiyah yaitu filsafat, ilmu kalam, ilmu kedokteran, ilmu kimia,
ilmu hisab, sejarah, ilmu bumi dan astronom.
3. Bidang-bidang ilmu pengetahuan keagamaan berkembang pada
masa ini yaitu: ilmu hadist, ilmu tafsir, ilmu fiqih, tasawuf.
4. Masa
disintegrasi
1. Dinasti-dinasti
yang memerdekakan diri dari Baghdad
2. Perebutan
kekuasaan di pusat pemerintahan
3. Perang
salib
4. Sebab-sebab
kemunduran pemerintahan Bani Abbas
3.2 Saran
Pemakalah
menyarankan kepada pembaca agar tidak menjadikan makalah ini satu-satunya
rujukan yang dijadikan sebagai sarana informasi ilmu yang berkaitan dengan bani
Abbasiyah itu sendiri. Karena pada makalah ini tentunya masih banyak hal-hal yang
belum sempurna.
[1]Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta : PT. Al Husna Zikra,
1995, hlm. 175.
[4] Drs.
H. Syamruddin Nst, M.Ag, Sejarah
Peradaban Islam, Riau : Badan Penelitian dan Pengembangan Fakultas
Ushuluddin UIN Suska Riau, 2007, hlm.
83.
[9] Dr.
Badri Yatim, op cit, hlm. 65-66.
sekianlah makalah ini. kekurangan pasti ada karna itu adalah pakaian manusia dalam kehidupan. oleh karnanya kami mohon maaf, semoga bermanfaat.
sekianlah makalah ini. kekurangan pasti ada karna itu adalah pakaian manusia dalam kehidupan. oleh karnanya kami mohon maaf, semoga bermanfaat.