STRATEGI DAKWAH SUNAN BONANG- Di tengah malam ini saya tak bisa tidur dan tidak ada kegiatan. Sehingga saya teringat untuk berbagi sebuah pembahasan kepada teman-teman sekalian. Di era globalisasi ini banyak strategi yang digunakan oleh para dai untuk berdakwah dan teak sedikit yang mengambil contoh dari dai-dai yang telah terdahulu seperti yang dibahas di bawah ini. selamat membaca.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bangsa
Indonesia merupakan bangsa yang berpenduduk sangat majemuk dan dengan latar
belakang historis yang berbeda-beda pula. Kekayaannya yang berwujud budaya
serta lapisan-lapisan sejarah memungkinkan untuk menjadi sumber penulisan
sejarah, termasuk peranan tokoh lokal yang memiliki pengaruh cukup besar dalam
masyarakat luas. Banyaknya hasil penelitian sejarah lokal dapat mengembangkan
perwujudan konsep kedirian Bangsa Indonesia secara umum. Oleh karena itu enulis tertarik untuk menuliskan tokoh sunan bonang
dalam mengembangkan agama islam.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Siapa sunan bonang itu?
1.2.2
Bagaimana strateginya dalam berdakwah?
1.2.3
Apa saja media dakwah yang digunakan?
1.3 Tujuan
Tujuan dari
penulisan makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen
Pipir Romadi S.Kom.I dan untuk mengetahui tentang segala sesuatu yang berkaitan
dengan media dakwah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asal Usul Sunan Bonang
Dari
berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh
Maulana Makdum Ibrahim. Dilahirkan pada bulan muharram tahun 1456. Putera Sunan
Ampel ( Raden Rahmat) dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng
Manila. Sunan boning memiliki dua saudara (adik), yaitu nyai Gede Maleka dan
Syarifuddin (Sunan Drajat).[1]
Ada
yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah puteri Prabu Kertabumi. Dengan
demikian Raden Makdum adalah seorang Pangeran Majapahit karena ibunya adalah
puteri Raja Majapahit dan ayahnya menantu Raja Majapahit.
Sebagai
seorang wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama setanah jawa,
tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi.[2]
Sejak kecil Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara
tekun dan disiplin.
Sudah
bukan rahasia bahwa latihan atau riadha para wali itu lebih berat daripada
orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar, maka Sunan Ampel
sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.
Disebutkan
dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih
remaja meneruskan pelajaran agama Islam ke tanah seberang yaitu negeri Pasai.
Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari
Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri
Pasai. Seperti ulama tasawuf yang berasal dari bagdad, Mesin, Arab dan Parsi
atau Iran.
Sesudah
belajar di negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke jawa.
Raden paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal
sebagai Sunan Giri.
Raden
Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem,
Rembang, Tuban dan daerah Sempadan Surabaya.
2.2 Metode
Yang Digunakan Dalam Berdakwah
Dalam
berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk
menarik simpati mereka,[3]
yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis
kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan
kayu lunak timbulah suara yang merdu di telinga penduduk setempat.
Lebih-lebih
bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang
wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga apabila beliau
bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi pendengarnya.
Setiap
Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin
mendengarnya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan
Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim.
Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah
rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam
kepada mereka.
Tembang-tembang
yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran
agama Islam.[4]
Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang
hati, bukan dengan paksaan.
Murid-murid
Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau
Bawean, Jepara, Surabaya maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan
Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.
2.3 Karya
Sastra Sunan Bonang
Beliau
juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk.[5]
Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya sastra
yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan
Bonang disimpan rapi di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Suluk
berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan (tasawuf) atau
tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasanya disampaikan
dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara
biasa dalam bentuk prosa disebut wirid.
Karya
Sunan Bonang, puisi dan prosa, cukup banyak. Di antaranya ialah Suluk Wujil,[6]
Suluk Khalifah, Suluk Regok, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Ing Aewuh,
Suluk Pipiringan, Suluk Jebeng dan lain-lain.
Melalui
karya-karyanya itu kita dapat memetik beberapa ajarannya yang penting dan
relevan. Seluruh ajaran Tasawuf Sunan Bonang, sebagai ajaran Sufi yang lain,
berkenaan dengan metode intuitif atau jalan cinta pemahaman terhadap ajaran
Tauhid; arti mengenal diri yang berkenaan dengan ikhtiar pengendalian diri,
jadi bertalian dengan masalah kecerdasan emosi; masalah kemauan murni dan
lain-lain.
Cinta
menurut pandangan Sunan Bonang ialah kecenderungan yang kuat kepada Yang Satu,
yaitu Yang Maha indah. Dalam pengertian ini seseorang yang mencintai tidak
memberi tempat pada yang selain Dia. Ini terkandung dalam kalimah syahadah La
ilaha illa Llah. Laba dari cinta seperti itu ialah pengenalan yang mendalam
(makrifat) tentang Yang Satu dan perasaan haqqul yaqin (pasti) tentang
kebenaran dan keberadaan-nya. Apabila sudah demikian, maka kita dengan segala
gerak-gerik hati dan perbuatan kita, akan senantiasa merasa diawasi dan
diperhatikan oleh-Nya. Kita menjadi ingat (eling) dan waspada.
Cinta
merupakan, baik keadaan rohani maupun peringkat rohani. Sebagai keadaan rohani
ia diperoleh tanpa upaya, karena Yang Satu sendiri yang menariknya ke
hadirat-Nya dengan memberikan antusiasme ketuhanan ke dalam hati si penerima
keadaan rohani itu. Sedangkan sebagai maqam atau peringkat rohani, cinta
dicapai melalui ikhtiar terus-menerus, antara lain dengan memperbanyak ibadah
dan melakukan mujahadah, yaitu perjuangan batin melawan kecenderungan buruk
dalam diri disebabkan ulah hawa nafsu. Ibadah yang sungguh-sungguh dan latihan
kerohanian dapat membawa seseorang mengenal kehadiran rahasia Yang Satu dalam
setiap aspek kehidupan. Kemauan murni, yaitu kemauan yang tidak dicemari sikap
egosentris atau mengutamakan kepentingan hawa nafsu, timbul dari tindakan
ibadah. Kita harus menjadikan diri kita masjid yaitu, tempat bersujud dan
menghadap kiblat-Nya, dan segala perbuatan kita pun harus dilakukan sebagai
ibadah. Kemauan mempengaruhi amal perbuatan dan perilaku kita. Kemauan baik
datang dari ingatan (zikir) dan pikiran (pikir) yang baik dan jernih
tentang-Nya.
Dalam
Suluk Wujil, yang memuat ajaran Sunan Bonang kepada Wujil pelawak cebol
terpelajar dari Majapahit yang berkat asuhan Sunan Bonang memeluk agama Islam
sang — wali bertutur:
Jangan terlalu jauh mencari keindahan
Keindahan ada dalam diri
Malah jagat raya terbentang dalam diri
Jadikan dirimu Cinta
Supaya dapat kau melihat dunia (dengan jernih)
Pusatkan pikiran, heningkan cipta
Siang malam, waspadalah!
Segala yang terjadi di sekitarmu
Adalah akibat perbuatanmu juga
Kerusakan dunia ini timbul, Wujil!
Karena perbuatanmu
Kau harus mengenal yang tidak dapat binasa
Melalui pengetahuan tentang Yang Sempurna
Yang langgeng tidak lapuk
Pengetahuan ini akan membawamu menuju keluasan
Sehingga pada akhirnya mencapai TuhanSebab itu, Wujil!
Kenali dirimu
Hawa nafsumu akan terlena
Apabila kau menyangkalnya
Mereka yang mengenal diri
Nafsunya terkendali
Kelemahan dirinya akan tampak
Dan dapat memperbaikinya[7]
Dengan
menyatakan `jagat terbentang dalam diri` Sunan Bonang ingin menyatakan betapa
pentingnya manusia memperhatikan potensi kerohaniannya. Adalah yang spiritual
yang menentukan yang material, bukan sebaliknya. Tetapi karena pikiran manusia
kacau, ia menyangka yang material semata-mata yang menentukan hidupnya. Karena
potensi kerohaiannya inilah manusia diangkat menjadi khalifah Tuhan di bumi.
Diantara tembang yang terkenal ialah
:
“Tamba ati
iku sak warnane,
Maca
Qur’an angen-angen sak maknane,
Kaping
pindho shalat sunah lakonona,
Kaping
telu wong kang saleh kancanana,
Kaping
papat kudu wetheng ingkang luwe,
Kaping
lima dzikir wengi ingkang suwe,
Sopo wongé
bisa ngelakoni, Insya Allah Gusti Allah nyemba dani.
Artinya :
Obat sakit
jiwa ( hati ) itu ada lima jenisnya.
Pertama
membaca Al-Qur’an dengan artinya,
Kedua
mengerjakan shalat malam ( sunnah Tahajjud ),
Ketiga
sering bersahabat dengan orang saleh ( berilmu ),Keempat harus
sering
berprihatin ( berpuasa ),
Kelima
sering berdzikir mengingat Allah di waktu malam,
Siapa saja
mampu mengerjakannya, Insya Allah Tuhan Allah mengabulkan.
BAB III
PENUTUP
3.1
kesimpulan
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama
aslinya adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Dilahirkan pada bulan muharram
tahun 1456. Putera Sunan Ampel ( Raden Rahmat) dan Dewi Condrowati yang sering
disebut Nyai Ageng Manila.
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering
mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa
seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan
dibagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak timbulah suara
yang merdu di telinga penduduk setempat.
3.2 Saran
Pemakalah menyarankan kepada pembaca
agar tidak menjadikan makalah ini satu-satunya rujukan yang dijadikan sebagai sarana
informasi ilmu yang berkaitan dengan sunan bonang itu sendiri. Karena pada
makalah ini tentunya masih banyak hal-hal yang belum sempurna.
[2] Attman
Arroisi, Sunan Ampel; Pengawal Ketuhanan
Yang Maha Tunggal, Bandung : PT Remajs Rosdakarya, 1993, hlm. 89.
[3] Asep
Muhyidin dan Agus Ahmad Safei, Metode
Pengembangan Dakwah , Bandung : Cv Pustaka Setia, 2002, hlm. 169.
[4]Asep Muhyidin dan Agus
Ahmad Safei, op cit, hlm. 170.
hanya itu yang dapat saya begikan untuk sahabat sekalian semoga bermanfaat dalam kehidupan anda sekalian untuk berdakwah.
Terima kasih, bermanfaat sekali kakak :)
BalasHapusmakasih kak
BalasHapusSama sama yayu dan dani
BalasHapus