Minggu, 25 Januari 2015

MAKALAH KEPEMIMPINAN ISLAM KEPEMIMPINAN IR. SOEKARNO DAN M. NATSIR



MAKALAH KEPEMIMPINAN ISLAM "KEPEMIMPINAN IR. SOEKARANO DAN MUHAMMAD NATSIR- Setiap individu adalah pemimpinan dan setiap pemimpin akan diminta petanggungjawaban. jadi pemimpin sangatlah erat kaitannya dengan kepemimpinan.
Di dunia ini banyak yang bisa dijadikan contoh dalam kepemimpinan seperti yang saya bahas di bawah.
selamat membaca.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
            Di setiap komunitas selalu ada pemimpinnya. Peran pemimpin beraneka ragam, di antaranya adalah sebagai penggerak, motivator, inspirator, penunjuk arah, menyatukan, pelindung, pengayom, penolong, pembagi kasih sayang, mencukupi serta mensejahterakan, dan lain-lain. Tugas pemimpin, dengan demikian memang banyak dan berat. Semua peran itu akan dipertanggung-jawabkan, baik di hadapan manusia yang dipimpinnya maupun di hadapan Tuhan kelak. Sebagai penggerak dan motivator, maka pemimpin harus menjadikan semua orang yang dipimpinnya hidup. Jiwa, pikiran, dan semangat dari semua orang yang dipimpin menjadi hidup dan berkembang. Untuk menggerakkan bagi semua yang dipimpinnya, seorang pemimpin membutuhkan tipe atau gaya yang dimiliki pemimpin untuk memimpin semua orang.
            Ir. Soekarno adalah bapak proklamator, seorang orator ulung yang bisa membangkitkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia. Beliau memiliki gaya kepemimpinan yang sangat popularistik dan bertempramen meledak-ledak. Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Ir. Soekarno berorientasi pada moral dan etika ideology yang mendasari Negara atau partai, sehingga konsisten dan sangat fanatic, cocok diterapkan pada era tersebut. Muhammad Natsir adalah tokoh kontemporer dunia Islam, mujahid yang menerjuni pertarungan sengit di setiap jenjang dan politikus piawai. Memegang jabatan-jabatan penting di negaranya, mencurahkan segenap kemampuan untuk menjadikan Islam sebagai sistem pemerintahan Indonesia dan melawan orang-orang yang menghalangi tegaknya Islam dari kalangan penyeri sekulerisme, komunisme atau para kaki tangan barat maupun timur. Kedua tokoh ini memiliki peran yang sangat besar bagi bangsa Indonesia dan telah mengabdikan diri dengan penuh dedikasi serta perjuangan yang tinggi. Jiwa nasionalisme dan semangat patriotisme yang mereka tampilkan dapat kita jadikan sebagai panutan dalam mengemban tugas sebagai penerus bangsa dan pengisi kemerdekaan. Berangkat dari sini, kami selaku pemakalah akan mencoba untuk menguraikan bagaimana kepemimpinan Ir. Soekarno dan M. Natsir beserta perjuangan keduanya demi marwah bangsa.

1.2. Maksud dan Tujuan
            Maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini diantaranya :
1.      Sebagai tugas kelompok mata kuliah Kepemimpinan Islam jurusan Manajemen Dakwah jenjang semester IV.
2.      Menambah wawasan cakrawala mengenai kepemimpinan Ir. Soekarno dan M. Natsir.
3.      Menggali bagaimana perjuangan maupun sumbangsih Ir. Soekarno dan M. Natsir dalam memperjuangkan bangsa Indonesia.

1.3. Rumusan Masalah
            Adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah :
1.      Bagaimana biografi Ir. Soekarno ?
2.      Bagaimana biografi M. Natsir ?
3.      Bagaimana peran dan perjuangan Ir. Soekarno ?
4.      Bagaimana peran dan perjuangan M. Natsir ?

1.4. Batasan Masalah
            Dalam pembahasan ini, kami selaku pemakalah membatasi pembahasan masalah hanya pada ruang lingkup sebagaimana yang tercantum dalam rumusan masalah di atas. Dengan maksud sebagai pertimbangan agar pembahasan ini nantinya tidak keluar dari ruang lingkup materi yang telah ditetapkan atau yang akan kami bahas dan kami uraikan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Biografi Ir. Soekarno
                Ir. Soekarno (Lahir Di Blitar Pada 6 Juni 1901- Meninggal Pada Tanggal 21 Juni 1970 Di Kota Blitar,  Jawa Timur). Ayahnya Raden Sukemi Sosrohadihardjo, Adalah Seorang Priyayi Rendahan Yang Bekerja Sebagai Guru Sekolah Dasar. Ibunya Nyoman Rai Berdarah Biru Dari Bali Dan Beragama Hindu. Pertemuan Mereka Terjadi Ketika Raden Sukemi, Yang Sehabis Menyelesaikan Studi Di Sekolah Pendidikan Guru Pertama Di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Ditempatkan Di Sekolah Dasar Pribumi Di Singaraja, Bali. Dalam Usia Kanak-Kanak, Soekarno Tinggal Dan Diasuh Oleh Kakeknya. Raden Hardjokromo Di Tulung Agung, Jawa Timur. Kakeknya Adalah Seorang Pedagang Batik, Yang Secara Tidak Langsung Membantu Penghidupan Dari Kedua Orang Tua Soekarno Yang Pada Waktu Itu Tidak Memiliki Penghasilan Yang Cukup Untuk Menghidupi Dirinya Dan Kakaknya. Kecintaan Soekarno Terhadap Wayang Kulit, Mulai Tumbuh Selama Tinggal Bersama Kakeknya. Ia Sering Kali Menonton Wayang Kulit Sampai Larut Malam. Kesenangannya Menonton Wayang Membuatnya Terkesan Dengan Tokoh Bima Dibandingkan Dengan Tokoh Lain.
            Tokoh Bima Juga Memiliki Pengaruh Yang Besar Dalam Sikap Dan Pandangan Politiknya Kelak. Sikap Nonkooperasi Terhadap Musuh-Musuhnya, Kaum Imperialis Maupun Kaum Kapitalis, Serta Kesediaannya Dalam Waktu Bersamaan Berkompromi Dengan Sesama Rekan Perjuangannya Meskipun Berpeda Pandangan Praktis Dapat Dikatakan Berasal Dari Bima.
            Di Tulung Agung, Ia Pertama Kali Masuk Sekolah. Tetapi Ia Kurang Mempergunakan Kesempatan Sebaik Mungkin Untuk Belajar. Hal Ini Disebabkan Ia Lebih Sering Melamun Tentang Kisah Perang Bharata Yudha. Namun, Sisi Keingintahuan Yang Besar Dan Minatnya Terhadap Pengetahuan Sudah Mulai Tumbuh Pada Saat Ini. Berkat Sifat Keingintahuan Yang Dimiliki Olehnya, Soekarno Memiliki Wawasan Yang Lebih Luas Daripada Teman-Teman Sebayanya.
            Tidak Lama Kemudian, Setelah Kedua Orang Tuanya Pindah Ke Sidoarjo Dan Mendapat Jabatan Sebagai Kepala Eerste Klasse School Di Mojokerto. Di Sini, Kepandaiannya Mulai Terlihat Dengan Jelas. Mungkin Ini Disebabkan Oleh Profesi Ayahnya Yang Juga Seorang Guru Sehingga Dapat Mengawasi Kegiatan Belajar Mengajar Anaknya Secara Langsung. Kemudian, Raden Sukemi Memasukkan Soekarno Ke Europeesche Lagere School (E.L.S). Sekolah Tersebut Didirikan Guna Memenuhi Kebutuhan Anak-Anak Pekerja Di Pabrik Gula.
Selama Bersekolah Di Sini. Soekarno Merasakan Adanya Diskriminasi Yang Diberlakukan Kepada Kaumnya. Hanya Bumiputera Tertentu Yang Mendapatkan Kesempatan Untuk Mendapatkan Hak Istimewa Itu. Mereka Yang Bukan Anak Pejabat Hanya Bisa Masuk Ketika Ada Izin Khusus Dari Residen Dan Memenuhi Syarat-Syarat Tertentu. Sebelum Ia Menginjakkan Kaki Di Tempat Tersebut, Pada Tahun 1913, Soekarno Harus Mengorbankan Waktunya Untuk Memperdalam Bahasa Belanda Pada Juffrow M.P De La Riviera, Guru Bahasa Belanda Di ELS. Selama Bersekolah Di ELS Soekarno Juga Mengalami Cinta Pertama Kepada Seorang Gadis Belanda Yang Bernama, Rikameelhuysen. Tetapi, Hubungan Mereka Berdua Ditentang Oleh Ayah Sang Gadis Karena Melihat Kedudukan Soekarno Yang Hanya Merupakan Pribumi. Meskipun, Akhirnya Hubungan Itu Putus Dan Soekarno Dihina. Ia Tidak Marah Karena Menganggap Hal Itu Sudah Biasa.[1]
            Pribadi Soekarno, Selain Banyak Mendapatkan Pendidikan Di ELS. Ia Juga Mendapatkan Pendidikan Dari Ayahnya Dengan Keras, Penuh Disiplin, Tetapi Di Sisi Lain Mengajarkan Untuk Mencintai Makhluk Tak Berdaya. Sedangkan Dari Ibunya, Idayu, Ia Mendapatkan Pengaruh Mistik Dari Pemikiran Hindu Dan Sifat Yang Lemah Lembut Serta Kasih Sayang. Dari Pembantunya Sarinah, Sebagaimana Diungkapkan Oleh Soekarno Sendiri, Ia Memperoleh Pengaruh Kemanusiaan Dan Sikap Emansipasif. Ia Amat Terkesan Dan Mengagumi Sikap Perempuan Tersebut. Meskipun Ia Hanya Seorang Pembantu, Di Mata Soekarno Ia Adalah Perempuan Bijaksana Dan Berbudi Luhur.
Setelah Menyelesaikan ELS Di Mojokerto, Pada Tahun 1915, Sukarno Ingin Melanjutkan Pelajarannya Di Hogere Burger School (HBS). Agar Soekarno Diterima Sebagai Siswa HBS, Ayahnya Menggunakan Pengaruh Kawannya Untuk Memasukkan Ke Sekolah Tertinggi Yang Ada Di Jawa Timur Tersebut. Melalui Jasa Baik, H.O.S Tjokrominoto, Soekarno Akhirnya Diterima Di Sana. Bahkan Tokoh Gerakan Massa Nasionalis Islam Itu Memberikan Pondokan Di Kediamannya, Walaupun Ia Tidak Mendapatkan Kamar Yang Baik. Ia Menempati Sebuah Kamar Yang Gelap Tanpa Jendela Dan Daun Pintu. Sebagai Penerangan Lampu Pijar Yang Menyala Sepanjang Hari. Tetapi Ia Menerima Kenyataan Tersebut Tanpa Menggerutu. Karena Memang Tidak Ada Kamar Lagi Dan Hanya Itulah Satu-Satunya Kamar Yang Belum Terisi Dan Soekarno Menjadi Penghuninya. Tetapi Yang Penting Bagi Ayahnya Adalah Anaknya Dapat Tinggal Satu Atap Dengan “Raja Jawa” Yang Tak Bermahkota.[2]

2.2. Kepemimpinan Ir. Soekarno
            Soekarno memulai karirnya sebagai pemimpin organisasi pada usia 26 tahun, tepatnya pada tanggal 14 Juli 1927. Pada saat itu beliau memimpin sebuah partai politik yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mempunyai arah perjuangan kemerdekaan bagi Indonesia.  Hal ini mengakibatkan para pimpinan PNI termasuk Soekarno ditangkap dan diadili oleh pemerintahan kolonial Belanda. Tetapi pada saat di dalam proses pengadilan Soekarno malah menyampaikan pandangan politiknya mengenai gugatannya terhadap pemerintahan yang terkenal dengan Indonesia menggugat.
            Sikap Soekarno sebagai pemimpin bangsa pada saat itu sangat menekankan pentingnya persatuan dalam nasionalisme, kemandirian sebagai suatu bangsa dan anti penjajahan. Hal ini tercermin di dalam pidato-pidato beliau dalam menggelorakan semangat revolusi secara besar-besaran untuk negeri lepas dari belenggu imperialisme. Akhirnya, Soekarno berhasil menggeloraan semangat revolusi dan mengajak berdiri di ataskaki sendiribagi bangsanya,walaupun belum sempat berhasil membawa rakyatnya dalamkehidupan yang sejahtera. Konsep “berdiri di atas kaki sendiri” memang belum sampai ketujuannya, tetapi setidaknya berhasil memberikan kebanggan pada eksistensi bangsa. Daripada berdiri di atas hutang luar negeri yang terbukti menghadirkan ketergantungan dan ketidakberdayaan (neokolisme). Sikap tersebut mengakibatkan Belanda membubarkan organisasi PNI sehingga Soekarno dan teman seperjuangannya bergabung dengan Partindo pada bulan Juni tahun 1930. Setelah melalui perjuangan yang panjang bahkan beliau pernah dipenjara kembali oleh Belanda namun tidak menyurutkan langkah perjuangannya. Pada akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno sang proklamator bersama dengan Muhammad Hatta berhasil memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia menandai berdirinya negara yang berdaulat. Sebelumnya, ia juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan ia berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok. Setelah pemerintahan berjalan di tangan bangsa Indonesia, Soekarno memimpin pemerintahan dan mengalami berbagai fase dalam pemerintahannya.[3]
1.      Fase Pertama
            Pemerintahan Presiden Soekarno (1945-1959) diwarnai semangat revolusioner, serta dipenuhi kemelut politik dan keamanan. Belum genap setahun menganut sistem presidensial sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945, pemerintahan Soekarno tergelincir ke sistem semi parlementer. Pemerintahan parlementer pertama dan kedua dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Pemerintahan Sjahrir dilanjutkan oleh PM Muhammad Hatta yang merangkap Wakil Presiden. Kepemimpinan Soekarno terus menerus berada di bawah tekanan militer Belanda yang ingin mengembalikan penjajahannya, pemberontakan-pemberontakan bersenjata dan persaingan di antara partai-partai politik. Sementara pemerintahan parlementer jatuh-bangun. Perekonomian terbengkalai lantaran berlarut-larutnya kemelut politik. Ironisnya, meskipun menerima sistem parlementer, Soekarno membiarkan pemerintahan berjalan tanpa parlemen yang dihasilkan oleh pemilihan umum. Semua anggota DPR (DPRGR) dan MPR (MPRS) diangkat oleh presiden dari partai-partai politik yang dibentuk berdasarkan Maklumat Wakil Presiden, tahun 1945. Demi kebutuhan membentuk Badan Konstituante untuk menyusun konstitusi bar menggantikan UUD 1945, Soekarno menyetujui penyelenggaraan Pemilu tahun 1955, pemilu pertama dan satu-satunya Pemilu selama pemerintahan pada saat itu. Pemilu tersebut menghasilkan empat besar partai pemenang yakni PNI, Masjumi, NU dan PKI. Usai pemilu, Badan Konstituante yang disusun berdasarkan hasil pemilu, mulai bersidang untuk menyusun UUD baru. Namun, sidang-sidang secara terus menerus selama lima tahun gagal mencapai kesepakatan untuk menetapkan sebuah UUD yang baru. Menyadari bahwa Negara berada di ambang perpecahan, Soekarno dengan dukungan Angkatan Darat, mengumumkan dekrit 5 Juli 1959 yang isinya “membubarkan Badan Konstituante dan kembali ke UUD 1945”.[4] Sejak 1959-1966, Bung Karno memerintahkan dengan dekrit, membatalkan pemilu dan mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup. Pemerintahan parlementer yang berpegang pada UUD Sementara juga jatuh bangun oleh mosi tidak percaya yang pada akhirnya mengakibatkan kondisi ekonomi menjadi kacau.
2.      Fase kedua
            Pemerintahan presiden Soekarno pada fase yang kedua (1959-1967) menerapkan demokrasi terpimpin. Semua anggota DPRGR dan MPRS diangkat untuk mendukung program pemerintahannya yang lebih focus pada bidang politik. Bung Karno berusaha keras menggiring partai-partai politik ke dalam ideologisasi NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis). Tiga pilar utama partai politik yang mewakili NASAKOM adalah PNI, NU dan PKI. Bung Karno menggelorakan Manifesto Politik USDEK. Dia menggalang dukungan dari semua kekuatan NASAKOM. Namun, di tengah tingginya persaingan politik Nasakom itu, pada tahun 1963, bangsa ini berhasil membebaskan Irian Barat dari cengkraman Belanda. Tahun 1964-1965, Soekarno kembali menggelorakan semangat revolusioner bangsanya kedalam peperangan (konfrontasi) melawan Federasi Malaysia yang didukung negara Inggris. Sementara, dalam kondisi itu, tersiar kabar tentang sakitnya Soekarno. Situasi semakin runyam tatkala PKI melancarkan Gerakan 30 September 1965. Tragedi pembunuhan tujuh jenderal Angkatan Darat tersebut menimbulkan situasi di seluruh negeri dan meyebabkan kondisi politik dan keamanan hampir tak terkendali. Menyadari kondisi tersebut, presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 kepada Jenderal Soeharto. Ia mengangkat Jenderal Soeharto selaku Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (kopkamtib) yang bertugas mengembalikan keamanan dan ketertiban. Langkah penertiban pertama yang dilakukan Soeharto, sejalan dengan tuntunan rakyat ketika itu adalah membubarkan PKI. Soekarno, setelah tragedi berdarah tersebut, dimintai pertanggung jawaban di dalam sidang istimewa MPRS tahun 1967. Pidato pertanggungjawabannya ditolak. Kemudian Soeharto diangkat selaku Pejabat Presiden dan dikukuhkan oleh MPRS menjadi Presiden RI yang kedua, Maret 1968.[5]

2.3. Gaya atau Tipe Kepemimpinan Ir. Sekarno
            Berbicara tentang proklamasi kemerdekaan, maka secara otomatis kita akan teringat dengan sosok figur Bung Karno sang proklamator bangsa. Mengilustrasikan sosok Bung Karno, tentu tak sesederhana dan semudah yang kita pikirkan. Namun, tidak sulit bagi mereka yang cinta dan mengaguminya, di samping beliau seorang presiden, beliau juga tokoh dan guru bangsa Indonesia. Beliau adalah seorang pemimpin yang paling disegani dan kharismatik pada masanya. Suaranya yang lantang dan tegas ketika berpidato, membuat jiwa rakyat Indonesia berkobar untuk berjuang demi kemerdekaan, gaya bicaranya yang senantiasa menyihir setiap orang yang mendengarkannya. Cara berpakaianya yang modis menjadi ciri khas penampilan Bung Karno sebagai pemimpin pada saat itu.
Bung karno adalah sosok pemimpin pemberani dan rela memberikan segalanya bagi bangsa Indonesia. Tak berlebihan jika kita katakan Bung Karno adalah pemimpin besar bangsa, tokoh pemersatu rakyat yang terdiri dari berbagai suku, budaya, agama, yang tinggal di daratan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Menyatukan rakyat Indonesia adalah misi, mimpi dan cita-cita terbesar Soekarno. Tentunya dengan ideologi Pancasila dan “Bhineka Tunggal Ika” sebagai pondasinya.
            Bung Karno adalah pemimpin yang jujur, kredibel dalam mengemban amanah yang diberikan rakyatnya. Kecerdasan dan kejeniusan beliau tidak diragukan lagi oleh bangsa Indonesia, bahkan beliau tidak hanya dikenal dalam negeri melainkan sampai ke luar negeri. Pemimpin yang semangat memperjuangkan konsep ke-Indonesiaan atau kebangsaannya ini, juga disegani oleh kalangan pemimpin Asia, Afrika dan Amerika. Bahkan beliau pernah dinobatkan salah satu pemimpin paling berpengaruh di dunia. Bung Karno, penyambung lidah rakyat Indonesia, yang tegas dan pemberani memperjuangkan bangsa demi harumnya nama tumpah darah Indonesia.
            Revolusi Indonesia dan Bung Karno adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, karena beliau adalah orang terdepan yang menjadi sumber inspirasi kemerdekaan bangsa Indonesia, bahkan juga bangsa-bangsa. Terutama ketika sedang berjuang habis-habisan melawan imperialisme dan kolonialisme pada saat itu.
            Gaya kedua yang diterapkannya jelas menunjukkan bahwa soekarno merupakan tipe pemimpin yang demokratis dengan mengedepankan semangat persatuan di atas kepentingan golongan, kelompok, ras, suku dan agama tertentu. Akan tetapi, ada juga yang menilainya sebagai pemimpin yang bertipe otoriter karena terkesan memaksakan kebijakan pemerintahanya kepada lembaga legislative pada saat itu. Bahkan idealismenya terlihat sedikit otoriter karena memaksakan keputusannya dalam mengatasi krisis dengan dekrit presiden dan mengangkat dirinya menjadi presiden seumur hidup. Sebagai seorang pemimpin sejati Soekarno mampu membawa arah perjuangan tetap konsisten meskipun banyaknya rintangan yang dihadapinya. Dapat dijadikan contoh ketika beliau  berkali-kali dipenjara oleh pemerintahan kolonial. Beliau tetap tegar bahkan semakin lantang dalam menentang penjajahan sampai memperoleh kemerdekaannya. Dalam hal sebagai inspirator atau seorang idealis, Soekarno dapat menunjukkan prestasinya melalui rumusan Pacasila yang menjadi dasar negara hingga sekarang di samping pemikiran-pemikiran yang lainnya. Sebagai pemimpin yang idealis, Soekarno tidak mudah terpengaruh dengan keadaan bangsa ketika dihadapkan pada situasi yang sedang gawat. Beliau tetap berada di atas prinsipnya sendiri dan menghidari campur tangan asing. Idealis seperti ini tercermin dengan seringnya pergantian sistem pemerintahan demi mengatasi masalah di dalam keadaan yang berbeda-beda. Pada masa perjuangan menegakkan kedaulatan bangsa, Soekarno layak disebut sebagai simbol perjuangan karena pada saat itu beliau mampu tampil sebagai diplomat dan orator yang mampu mengobarkan semangat perjuangan rakyat. Keberanian beliau terlihat ketika menyuarakan secara berapi-api tentang revolusi nasional, anti neokolonialisme dan imperialisme. Dan juga kepercayaannya terhadap kekuatan massa serta kekuatan rakyat. Beliau adalah seorang pemimpin yang rendah hati di samping sebagai seorang pemberani. Sifat ini dapat dilihat dari dalam karyanya ‘Menggali Api Pancasila’. Beliau berkata, “aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat”. Maka pantas apabila beliau dijadikan simbol perjuangan rakyat karena ketulusan demi dan untuk rakyatnya.[6]

2.4. Pemikiran Ir. Soekarno
            Pada tanggal 17 Mei 1956 Presiden Soekarno mendapat kehormatan untuk menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat dalam rangka kunjungan resminya ke negeri tersebut. Sebagaimana dilaporkan dalam halaman pertama New York Times pada hari berikutnya. Dalam pidato itu dengan gigih Soekarno menyerang Kolonialisme, “Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu Kolonialisme,” Kata Bung Karno. Lalu beliau melanjutkan “Telah berlangsung dari generasi ke generasi. Tetapi, perjuangan itu masih belum selesai. Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi Kolonial dan masih belum bisa menikmati kemerdekaan”.
Menarik untuk disimak bahwa meskipun pidato itu dengan keras menentang Kolonialisme dan Imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara Barat, beliau mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS). Namun, lebih menarik lagi karena pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno. Berikut ini dapat kita telaah bagaimana pemikiran-pemikiran Ir. Soekarno[7] :
1.      Antikolonialisme dan anti Imperialisme        
            Salah satu tulisan pokok yang biasanya diacu untuk menunjukkan sikap dan pemikiran Soekarno dalam menentang Kolonialisme adalah tulisannya yang terkenal dengan judul “Nasionalisme, Islam dan Marxisme”. Dalam tulisan yang aslinya dimuat secara berseri di Jurnal Indonesia Muda tahun 1926 itu, sikap anti Kolonialisme tersebut tampak jelas sekali. Menurut Soekarno, yang pertama-tama perlu disadari adalah bahwa alasan utama kenapa para Kolonialis Eropa datang ke Asia bukanlah untuk menjalankan suatu kewajiban luhur tertentu. Mereka datang terutama “untuk mengisi perutnya yang keroncong belaka.” Artinya, motivasi pokok dari Kolonialisme itu adalah ekonomi.
2.      Anti-Elitisme
            Selain Kolonialisme dan Imperialisme, di mata Soekarno ada tantangan besar lain yang tak kalah pentingnya untuk dilawan, yakni Elitisme. Elitisme mendorong sekelompok orang merasa diri memiliki status sosial-politik yang lebih tinggi daripada orang lain terutama rakyat kebanyakan. Elitisme ini tak kalah bahayanya. Menurut Soekarno, karena melalui sistem feodal yang ada ia bisa dipraktikkan oleh tokoh-tokoh pribumi terhadap rakyat negeri sendiri. Kalau dibiarkan, sikap ini tidak hanya bisa memecah belah masyarakat terjajah, tetapi juga memungkinkan Lestarinya Sistem Kolonial Maupun Sikap-Sikap Imperialis Yang Sedang Mau Dilawan Itu. Lebih Dari Itu, Elitisme Bisa Menjadi Penghambat Sikap-Sikap Demokratis Dalam Masyarakat Modern Yang Dicita-Citakan Bagi Indonesia Merdeka.
            Soekarno Melihat Bahwa Kecenderungan Elitisme Itu Tercermin Kuat Dalam Struktur Bahasa Jawa Yang Dengan Pola “Kromo” Dan “Ngoko”-Nya Mendukung Adanya Stratifikasi Sosial Dalam Masyarakat. Untuk Menunjukkan Ketidaksetujuannya Atas Stratifikasi Demikian Itu, Dalam Rapat Tahunan Jong Java Di Surabaya Pada Bulan Februari 1921, Soekarno Berpidato Dalam Bahasa Jawa Ngoko, Dengan Akibat Bahwa Ia Menimbulkan Keributan Dan Ditegur Oleh Ketua Panitia. Upaya Soekarno Yang Jauh Lebih Besar Dalam Rangka Menentang Elitisme Dan Meninggikan Harkat Rakyat Kecil Di Dalam Proses Perjuangan Kemerdekaan Tentu Saja Adalah Pencetusan Gagasan Marhaenisme. Dalam Kaitan Dengan Usaha Mengatasi Elitisme Itu Ditegaskan Bahwa Marhaneisme “Menolak Tiap Tindak Borjuisme” Yang, Bagi Soekarno, Merupakan Sumber Dari Kepincangan Yang Ada Dalam Masyarakat. Ia Berpandangan Bahwa Orang Tidak Seharusnya Berpandangan Rendah Terhadap Rakyat. Sebagaimana Dikatakan Oleh Ruth Mcvey, Bagi Soekarno Rakyat Merupakan “Padanan Mesianik Dari Proletariat Dalam Pemikiran Marx,” Dalam Arti Bahwa Mereka Ini Merupakan “Kelompok Yang Sekarang Ini Lemah Dan Terampas Hak-Haknya, Tetapi Yang Nantinya, Ketika Digerakkan Dalam Gelora Revolusi, Akan Mampu Mengubah Dunia.”
            Langkah-Langkah Apa Yang Diusulkan Oleh Soekarno Untuk Melawan Kolonialisme, Imperialisme Serta Elitisme Itu? Pertama-Tama Ia Mengusulkan Ditempuhnya Jalan Nonkooperasi. Bahkan Sejak Tahun 1923 Soekarno Sudah Mulai Mengambil Langkah Nonkooperasi Itu, Yakni Ketika Ia Sama Sekali Menolak Kerja Sama Dengan Pemerintah Kolonial. Dalam Kaitan Dengan Ini Ia Kembali Mengingatkan Bahwa Motivasi Utama Kolonialisme Oleh Orang Eropa Adalah Motivasi Ekonomi. Oleh Karena Itu Mereka Tak Akan Dengan Sukarela Melepaskan Koloninya.
Langkah Lain Yang Menurut Soekarno Perlu Segera Diambil Dalam Menentang Kolonialisme Dan Imperialisme Itu Adalah Menggalang Persatuan Di Antara Para Aktivis Pergerakan. Dalam Serial Tulisan Nasionalisme, Islam Dan Marxisme Ia Menyatakan Bahwa Sebagai Bagian Dari Upaya Melawan Penjajahan Itu Tiga Kelompok Utama Dalam Perjuangan Kemerdekaan Di Indonesia-Yakni Para Pejuang Nasionalis, Islam Dan Marxis-Hendaknya Bersatu. Dalam Persatuan Itu Nanti Mereka Akan Mampu Bekerja Sama Demi Terciptanya Kemerdekaan Indonesia. “Bahtera Yang Akan Membawa Kita Kepada Indonesia Merdeka,” Ingat Soekarno, “Adalah Bahtera Persatuan.”

2.5. Masa Kecil M. Natsir dan Perjuangannya
            Muhammad Natsir lahir tanggal 16 Juli 1908 di Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ia dibesarkan di keluarga agamis, ayahnya ulama terkenal di Indonesia. Lingkungan seperti ini sangat berpengaruh pada pertumbuhan sang putra. Ia belajar di sekolah agama dan negeri. Mendapat Ijazah Perguruan Tinggi dari Fakultas Tarbiyah Bandung. Mendapat Gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Islam Indonesia (Dulu Sekolah Tinggi Islam), Yogyakarta. Pada masa pendudukan Belanda aktif dalam dunia pendidikan di Bandung. Menjadi pimpinan pada Direktorat Pendidikan di ibukota Indonesia, Jakarta.
            Dari tahun 1928 sampai 1932, ia menjadi ketua Jong Islamieten Bond (JIB) Bandung. Ia juga menjadi pengajar setelah memperoleh pelatihan guru selama dua tahun di perguruan tinggi. Ia yang telah mendapatkan pendidikan Islam di Sumatera Barat sebelumnya juga memperdalam ilmu agamanya di Bandung, termasuk dalam bidang tafsir Al-Qur’an, hukum Islam dan dialektika. Kemudian pada tahun 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hassan, yang kelak menjadi tokoh organisasi Islam Persatuan Islam. Pada 20 Oktober 1934, Natsir juga terlibat dalam organisasi-organisasi Islam, seperti Majelis Ta’sisi Rabitah Alam Islami dan Majelis Ala al-Alami lil Masjid yang berpusat di Mekkah, Pusat Studi Islam Oxford (Oxford Centre for Islamic Studies) di Inggris dan Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) di Karachi, Pakistan. Di era Orde Baru, ia membentuk Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.
            Selama menjalani pendidikannya di AMS, Natsir telah terlibat dalam dunia jurnalistik. Pada tahun 1929, dua artikel yang ditulisnya dimuat dalam majalah Algemeen Indische Dagblad, yaitu berjudul Qur’an en Evangelie (Al-Quran dan Injil) dan Muhammad als Profeet (Muhammad sebagai Nabi). Kemudian, ia bersama tokoh Islam lainnya mendirikan surat kabar Pembela Islam yang terbit dari tahun 1929 sampai 1935. Karya terawalnya, pada umumnya berbahasa Belanda dan Indonesia, yang banyak membahas tentang pemikiran Islam, budaya, hubungan antara Islam dan politik serta peran perempuan dalam Islam. Karya-karya selanjutnya banyak yang ditulis dalam bahasa Inggris, dan lebih terfokus pada politik, pemberitaan tentang Islam serta hubungan antara umat Kristiani dengan Muslim. Ajip Rosidi dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah menyebutkan bahwa tulisan-tulisan Natsir telah menjadi catatan sejarah yang dapat menjadi panduan bagi umat Islam.
            Tahun 1945, Muhammad Hatta, Wakil Presiden Republik Indonesia, setelah kemerdekaan, memintanya membantu melawan penjajah. Kemudian menjadi anggota MPRS. Tahun 1946, mendirikan partai MASYUMI (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Ia juga menjabat sebagai Menteri Penerangan selama empat tahun. Ketika Belanda hendak menjadikan Indonesia negara serikat. Muhammad Natsir menentangnya dan mengajukan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usulan ini disetujui 90% anggota Masyumi. Tahun 1950, ia diminta untuk membentuk kabinet sekaligus menjadi Perdana Menterinya. Tapi, belum genap setahun, ia dipecat namun ia tetap memimpin Masyumi dan menjadi anggota parlemen hingga 1957.
            Muhammad Natsir adalah tokoh kontemporer dunia Islam, mujahid yang menerjuni pertarungan sengit di setiap jenjang dan politikus piawai. Memegang jabatan-jabatan penting di negaranya, mencurahkan segenap kemampuan untuk menjadikan Islam sebagai sistem pemerintahan Indonesia dan melawan orang-orang yang menghalangi tegaknya Islam dari kalangan penyeri sekulerisme, komunisme atau para kaki tangan barat maupun timur. Pidato berjudul “Pilihlah Satu dari Dua Jalan : Islam atau Atheis” yang ia sampaikan di parlemen Indonesia dan dipublikasikan majalah Al Muslimun mempunyai pengaruh besar pada anggota parlemen dan masyarakat muslim Indonesia. Saat menerjuni bidang politik, Muhammad Natsir merupakan politikus piawai, saat menerjuni medan perang, ia adalah panglima yang gagah berani dan saat berdebat dengan musuh, ia adalah pakar ilmu dan dakwah.
            Muhammad Natsir menentang serangan membabi buta yang dilancarkan misionaris Kristen, antek-antek penjajah dan para kaki tangan barat maupun timur dengan menerbitkan majalah Pembela Islam. Ia juga menyerukan Islam sebagai titik tolak kemerdekaan dan kedaulatan, pada saat Soekarno dan antek-anteknya menyerukan nasionalisme Indonesia sebagai titik tolak kemerdekaan. Saat itu Soekarno bersekutu dengan komunis yang terhimpun dalam Partai Komunis Indonesia untuk melawan Dr. Muhammad Natsir dan Partai Masyumi. Pertarungan ini berlangsung hingga tahun 1961, Soekarno membubarkan Partai Masyumi dan menahan para pemimpinnya terutama Muhammad Natsir. Perlawanan kaum muslimin di Indonesia tidak padam, terus berlanjut hingga terjadi revolusi militer, yang berhasil menggulingkan Soekarno, tahun 1965.

2.6. Kepedulian M. Natsir Demi Kepentingan Rakyat.
                Dr. Muhammad Natsir sangat serius memperhatikan masalah Palestina. Ia menemui tokoh, pemimpin serta da’i di negara-negara Arab dan Islam untuk membangkitkan semangat membela Palestina setelah kekalahan di tahun 1967. Siang dan malam Muhammad Natsir berkunjung ke wilayah di Indonesia untuk urusan dakwah, sesuai dengan program yang telah direncanakan, manhaj yang telah dikaji sebelumnya dan disertai rekan-rekan yang memahami kewajibannya, menyadari tanggung jawabnya serta mencurahkan segenap kemampuannya.
            Setelah Soekarno tumbang pada Oktober 1965, Kristenisasi semakin meningkat. Para misionaris melipatgandakan upayanya, membangun gereja-gereja, menyebarkan Injil, mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Kristen dan membuka sekolah-sekolah misionaris. Mereka berharap tahun 2000 Indonesia menjadi Kristen. Meskipun para misionaris mendapatkan banyak kemudahan dari antek-anteknya di dalam negeri, suntikan dana sangat besar dan peralatan memadai, tapi upaya Dr. Muhammad Natsir dan rekan-rekan menjadi konspirasi bagi mereka. Sebab keikhlasan dalam beramal, ketulusan dan berusaha sesuai syari’at menjadi pembuka kebaikan yang terus meluas di penjuru Indonesia. Rakyat Indonesia mulai mendekati da’i untuk mengenal agama yang benar dan mengetahui peran manusia dalam kehidupan. Kesadaran menjadi Islam pun merebak di kalangan mahasiswa dan pelajar, juga menyentuh para intelektual. Yayasan dan organisasi pemuda yang membawa misi Islam, menyebarkan dakwah dan membela agama pun didirikan. Dr. Muhammad Natsir punya peran besar dalam mengarahkan lembaga-lembaga pemuda agar bekerja berdasarkan hikmah, kejelasan pandangan dan pemahaman memadai. Itu semua agar lembaga-lembaga pemuda dapat melaksanakan tanggung jawab sesuai dengan Kitab Allah, Sunnah Rasul-Nya dan konsesus para ulama salaf yang menjadikan Islam sebagai Undang-undang, syariat, akidah, ilmu, amal, jihad, pasukan, fikrah dan ibadah yang tulus kepada Allah SWT yang Maha Esa serta Penguasa langit dan bumi.
            Dalam tindakannya, Pak Natsir sangat terlihat sebagai seorang pemimpin yang mengedepankan kepentingan rakyat. Sebagai seorang ketua umum partai Masyumi, beliau memberikan arahan dan pandangannya bagi partai ini untuk dapat berkiprah di lapangan yang strategis, yaitu:[8]
1.      Lapangan parlementer/perwakilan (legislatif)
2.      Lapangan pemerintahan (eksekutif)
3.      Lapangan pembinaan umat
            Sebuah gagasan yang begitu mulia. Jika dilihat kondisi saat ini, maka begitu sangat kontras dengan masa-masa awal kemerdekaan dulu. Sebagian calon-calon wakil rakyat, dengan sistem yang ada yaitu demokrasi (para calon wakil rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan dirinya dan memperebutkan kursi), sampai pada akhirnya harus mengalami stres, gila bahkan bunuh diri karena tidak sanggup menanggung kekalahannya. Jangankan gagasan membina umat sebagaimana yang disampaikan oleh Pak Natsir di atas, berebut untuk masuk di legislatif atau eksekutif pun didasari dengan ambisi kekuasaan. Tetapi tidak demikian halnya dengan Pak Natsir dan Masyumi kala itu yang dipimpinnya, ia berjuang adalah lillah. Dalam pidatonya tanggal 7 November 1956 pada acara peringatan lahirnya Masyumi yang ke-11 Pak Natsir mengungkapkan:
Adapun yang mengenai lapangan pemerintahan, sebagaimana partai-partai politik yang lain, Masyumi juga berjuang untuk mendapat kedudukan dalam kabinet dan aparat pemerintahan lainnya. Perjuangan itu bukanlah untuk merebut kedudukanan sich (semata-mata), akan tetapi justru untuk turut melaksanakan dan mengambil tanggungjawab menjalankan eksekutif negara. Selain dengan duduknya dalam pemerintahan ia dapat melaksanakan cita-citanya di dalam batas-batas seperti yang diterangkan tadi, maka salah satu pedoman yang penting yang senantiasa dipegang olehnya dalam tiap-tiap kesempatan turut memegang pemerintahan ialah mengusahakan kepentingan umum dan rakyat secara keseluruhan dengan tidak memandang tingkatan dan golongan. Semboyan yang dipakainya bukanlah ‘kami berjuang untuk kami, tetapi kami berjuan untuk kita’, untuk keseluruhan rakyat Indonesia”.[9]
            Pak Natsir juga mengingatkan terhadap nasihat Sjafruddin Prawiranegara yang ia sebut sebagai analisa "Indonesia di Persimpangan Jalan". Pak Syaf (sapaan Sjafruddin Prawiranegara) memperingatkan: “Apabila para pemimpin rakyat pada suatu saat tidak sanggup lagi bekerja betul-betul untuk kepentingan rakyatnya, apabila kedudukan atau kursi sudah menjadi tujuan dan bukan lagi menjadi alat maka yang akan mengancam negara kita ialah bahwa demokrasi akan tenngelam dalam koalisi dan kemudian koalisi akan dimakan oleh anarki dan anarki akan diatasi oleh golongan-golongan yang bersenjata itu”.[10]
            Masyumi dibawah kepemimpinan Pak Natsir telah jauh-jauh hari mengajukan ide agar daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia diberikan Otonomi Daerah. Hal ini diantaranya adalah agar kemauan rakyat benar-benar dapat terpenuhi. Bagi Pak Natsir, negeri yang telah berhasil merdeka ini haruslah diisi dan dibangun. Diisi dengan pembangunan dan dasar-dasar keadilan sehingga dapat memberikan kebahagiaan penghidupan untuk seluruh rakyat. Tidak menimbulkan perasaan-perasaan tidak puas bagi daerah-daerah tertentu karena kebutuhan mereka kurang terpenuhi, padahal mereka mampu menghasilkan sumber penghasilan negara yang cukup tinggi.[11]
            Menurut Pak Natsir dengan partainya, bahwa perasaan-perasaan kurang puas itu akan dapat disalurkan apabila daerah-daerah diberikan hak-hak yang lebih luas untuk mengatur rumah tangganya sendiri dalam bentuk otonomi yang luas. Diberi alat-alat yang cukup dan dijamin oleh undang-undang. Dalam hubungan inilah partai sejak dahulu selalu mendesak agar segera dibuat UU Perimbangan Keuangan (financieele verhouding) antara Pusat dan Daerah. Masyumi pada pokoknya dapat menyetujui supaya ditetapkan jumlah prosentase tertentu dar hasil-hasil utama yang terdapat di daerah masing-masing, sehingga daerah tidak hanya menggantungkan nasibnya kepada “belas kasihan dan dari uang kerahiman” Pemerintah Pusat saja. Apabila UU tersebut sudah terealisasikan maka Masyumi yakin bahwa perasaan tidak puas dari daerah-daerah dapat segera diredakan, karena ini adalah persoalan yang sangat mendesak.[12]
            Mr. Muhammad Roem (biasa disapa Pak Rum), pernah memberikan cerita ringan sarat makna tentang kepedulian dan kedekatan Pak Natsir dengan masyarakat. Kata pak rum, ketika Pak Natsir masih hidup rumahnya selalu dipenuhi tamu. Sehingga pak Rum pernah ditanya oleh banyak orang, Pak Natsir itu dokter apa, kok pasiennya banyak sekali? Dengan ringan pula Pak rum menjawab bahwa Pak Natsir itu dokter yang bisa menyembuhkan jiwa orang. Bahkan kata KH. Hasan Basri, jika ada pasien yang meminta uang, Pak Natsir selalu memberinya.[13] Demikian pula kesederhanaan Pak Natsir yang tidak mungkin dapat disembunyikan. Beliau adalah pemimpin dan negarawan kaliber dunia, tetapi sepeninggalnya tidak mewariskan harta dan kekayaan yang cukup berarti. Tetapi justru beliau meninggalkan kekayaan rohaniyah dan sumber ilmu dan teladan yang begitu banyak. Berjilid-jilid tulisan telah beliau tinggalkan untuk dapat dipelajari, dikritisi dan diteladani oleh generasi-generasi di belakangnya yang masih memiliki semangat juang untuk tegaknya ajaran Islam dan kemakmuran rakyat sebagaimana yang ia cita-citakan.
            Patriotisme dan nasionalisme Pak Natsir perlu dihayati lebih baik lagi. Bukan hanya andil Pak Natsir sangat besar untuk menyelamatkan negara kesatuan Republik Indonesia dengan mosi integralnya yang sangat terkenal, tapi juga wawasan nasionalismenya terbukti sangat jernih dan mendalam. Puluhan tahun yang lalu beliau telah mewanti-wanti bahwa nasionalisme yang baik adalah patriotisme yang tidak jatuh dalam xenophobisme. Artinya tidak picik, eksklusif dan solipsis atau menganggap bangsa sendiri paling baik dan benar. Nasionalisme Pak Natsir adalah dalam kontek universalisme dan ini benar-benar terbukti di era globalisasi sekarang ini.[14]

2.7. Gaya atau Tipe Kepemimpinan M. Natsir
            Tidak terlalu berbeda jauh dengan Ir. Soekarno, M. Natsir juga menggunakan gaya kharismatik dalam prakteknya. Memang ada karakteristiknya yang khas yaitu daya tariknya yang sangat memikat sehingga mampu memperoleh pengikut yang jumlahnya kadang-kadang sangat besar. Tegasnya seorang pemimpin yang kharismatik adalah seseorang yang dikagumi oleh banyak pengikut meskipun para pengikut tersebut tidak selalu dapat menjelaskan secara konkret mengapa orang tersebut dikagumi. Hal ini dapat dilihat dari pesatnya perkembangan organisasi yang dipimpinnya dan jumlah pengikut yang bisa dibilang menembus angka yang fantastis. M. Natsir dengan ketegasan dan kewibawaan yang ditonjolkan membuat ia menjadi salah satu pemimpin yang disegani dan sangat keras terhadap penyelewengan sekecil apapun. Beliau selalu berusaha untuk berdiri di garis terdepan dalam menentang ketidakadilan dan penegakkan Islam dalam mencari ridho Allah.
            Beliau juga menerapkan tipe kepemimpinan demokratis yang menjunjung tinggi kepentingan bersama. Di mata beliau, kepentingan rakyat dan kemaslahatan umat merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi. Beliau selalu mengadakan musyawarah dalam menjalani kegiatan dan sebuah program yang dirancang. Sebab beliau yakin bediri bersama akan jauh lebih kuat daripada berdiri dengan satu kaki. Beliau juga termasuk pemimpin yang jauh dari otoriter dan kediktatoran.

2.8. M. Natsir Dengan Masyumi
            Partai Masyumi didirikan pada tanggal 7-8 November 1945 dan sekaligus berpusat di Jogjakarta sampai tanggal 1 Februari 1950. Kongres ini dihadiri oleh sekitar lima ratus utusan organisasi sosial keagamaan yang mewakili hampir semua organisasi Islam yang ada dari masa sebelum perang serta masa pendudukan Jepang. Kongres memutuskan untuk medirikan majelis syuro pusat bagi umat Islam Indonesia yang dianggap sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam, yang secara resmi bernama Partai Politik Islam Indonesia “MASYUMI”. Dengan Kongres Umat Islam Indonesia ini, pembentukan Masyumi bukan merupakan keputusan beberapa tokoh saja, tapi merupakan keputusan “seluruh umat Islam Indonesia”.
            Segera setelah berdiri, Masyumi tersebar merata di segenap penjuru tanah air Indonesia bahkan hampir setiap kecamatan terdapat kepengurusan anak cabang. Sampai dengan tanggal 31 Desember 1950, secara resmi tercatat ada 237 Cabang (Tingkat Kabupaten), 1.080 Anak Cabang (tingkat Kecamatan) dan 4.982 Ranting (tingkat Desa) dengan jumlah anggota sekitar 10 juta orang.[15] Hal itu dapat terjadi karena dukungan yang diberikan oleh organisasi-organisasi yang menjadi pendukung Masyumi. Ada 8 unsur organisasi pendukung Masyumi yakni NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS), Persatuan Umat Islam, Al-Irsyad, Mai’iyatul Wasliyah, Al-Ittihadiyah dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Dengan demikian Masyumi berhasil menyatukan organisasi dan umat Islam Indonesia dalam satu wadah perjuangan. Meski pada tahun 1952 NU keluar dari Masyumi.
            Sejarah bangsa Indonesia mencatat nama besar Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai partai Islam terbesar yang pernah ada. Masyumi pada masanya sejajar dengan Partai Jama’atul Islam di Pakistan dan Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Banyak yang lupa akan hal ini, dan memang dalam pendidikan politik nasional kebesaran Masyumi seolah tertutupi oleh arus besar lain, Nasionalisme dan Developmentalisme. Padahal dalam masa keberadaannya, Masyumi sangat identik dengan gerakan politik Islam yang memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam konteks kenegaraan.[16]
            Selain mempersatukan umat Islam Indonesia, alasan lain yang menjadi pertimbangan didirikannya Masyumi adalah agar Islam memiliki peranan yang signifikan ditengah arus perubahan dan persaingan di Indonesia saat itu. Tujuan didirikannya Masyumi, sebagaimana yang terdapat dalam anggaran Dasar Masyumi tahun 1945, memiliki dua tujuan. Pertama, menegakkan kedaulatan negara republik Indonesia dan agama Islam. Kedua, melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan. Partai yang berdirinya diprakarsai oleh M. Natsir ini menyebutkan di dalam Anggaran Dasarnya bahwa tujuan partai adalah terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara Republik Indonesia menuju keridhaan Ilahi.
            Setelah Masyumi membubarkan diri karena tekanan rezim Soekarno pada tahun 1960, maka pada tanggal 26 Februari 1967, atas undangan pengurus masjid Al-Munawarah, Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat, para alim ulama dan zu'ama berkumpul untuk bermusyawarah, membahas, meneliti dan menilai beberapa masalah, terutama yang berhubungan dengan usaha pembangunan umat, juga tentang usaha mempertahankan aqidah di dalam kesimpangsiuran kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Musyawarah menyimpulkan dua hal sebagai berikut[17] :
1.      Menyatakan rasa syukur atas hasil dan kemajuan yang telah dicapai hingga kini dalam usaha-usaha dakwah yang secara terus menerus dilakukan oleh berbagai kalangan umat, yakni para alim ulama dan para muballigh secara pribadi, serta atas usaha-usaha yang telah dicapai dalam rangka organisasi dakwah.
2.      Memandang perlu (urgent) lebih ditingkatkan hasil dakwah hingga taraf yang lebih tinggi sehingga tercipta suatu keselarasan antara banyaknya tenaga lahir yang dikerahkan dan banyaknya tenaga batin yang dicurahkan dalam rangka dakwah tersebut.
            Untuk menindaklanjuti kesimpulan pada butir kedua di atas, musyawarah para ulama dan zu'ama mengkonstatir terdapatnya berbagai persoalan, antara lain: Mutu dakwah yang di dalamnya tercakup persoalan penyempurnaan sistem perlengkapan, peralatan, peningkatan teknik komunikasi, lebih-lebih lagi sangat dirasakan perlunya dalam usaha menghadapi tantangan (konfrontasi) dari bermacam-macam usaha yang sekarang giat dilancarkan oleh penganut agama-agama lain dan kepercayaan-kepercayaan (antara lain faham anti Tuhan yang masih merayap di bawah tanah), Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan sebagainya terhadap masyarakat Islam. Planning dan integrasi yang di dalamnya tercakup persoalan-persoalan yang diawali oleh penelitian (research) dan disusul oleh pengintegrasian segala unsur serta badan-badan dakwah yang telah ada dalam masyarakat ke dalam suatu kerja sama yang baik dan berencana.
            Dalam menampung masalah-masalah tersebut, yang mengandung cakupan yang cukup luas dan sifat yang cukup kompleks, maka musyawarah alim ulama itu memandang perlu membentuk suatu wadah yang kemudian dijelmakan dalam sebuah Yayasan yang diberi nama Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia disingkat Dewan Dakwah. Pengurus Pusat yayasan ini berkedudukan di ibu kota negara, dan dimungkinkan memiliki Perwakilan di tiap-tiap ibukota Daerah Tingkat I serta Pembantu Perwakilan di tiap-tiap ibukota Daerah Tingkat II seluruh Indonesia. Pada kesempatan tersebut, Pak Natsir mengatakan: "Politik dan dakwah itu tidak terpisah. Kalau kita berdakwah, membaca Al-Qur'an dan hadits, itu semuanya politik. Jadi kalau dulu kita berdakwah lewat jalur politik dan sekarang kita berpolitik melalui jalur dakwah. Ya mengaji politik begitulah. Saya merasa bahwa DDII itu tidak lebih rendah daripada politik. Politik tanpa dakwah itu hancur. Lebih dari itu, bagi saya untuk diam itu tidak bisa".[18]
            Muhammad Natsir meninggalkan karya tulis, baik yang terkait dengan dakwah atau pemikiran. Sebagiannya telah diterbitkan dalam bahasa Arab, misalnya: Fiqhud Da’wah dan Ikhtaru Ahadas Sabilain (Pilih salah Satu dari Dua Jalan). Diantara karya-karyanya tersebut adalah :
1.      Shaum (Puasa)
2.      Al Maratul Muslimah wa Huququha (Hak-hak Wanita Muslimah)
3.      Al Hadharah Al Islamiyah (Peradaban Islam)
4.      Al Bina’ Wastahl Anqadh (Membangun di Tengah Reruntuhan)
5.      At Tarkib At Thabaqi lil Mujtama’ (Struktur Sosial Masyarakat)
6.      Ats Tsaurah Al Indonesia (Revolusi Indonesia)
7.      Qadhiyatu Falisthin (Masalah Palestina)
8.      Hal Yumkinu Fashlud Din ‘Anis Siyasah? (Mungkinkah Agama dipisahkan dari Politik?)
9.      Ishlamul Islam Fil Silmi Al ‘Alami (Sumbangsih Islam pada Perdamaian Internasional)
10.  Al Mal Was Sulthan Wal  Amanatun (Harta dan Kekuasaan adalah Amanah)
11.  Ibdzarul Budzur (Taburlah Benih)
12.  Al Islam Wan Nashraniyah Fi Indonesia (Islam dan Kristen di Indonesia)
13.  Thuba lil Ghuraba (Berbahagialah Orang-orang yang Terasing)
14.  Al Yadul Lati Lam Yataqabbalaha Ahad (Tangan yang Belum Dicium oleh Seorang pun)
15.  Al Iman Mashdarul Quwwah Azh Zhahirah Wal Bathinah (Iman Sumber Kekuatan Lahir Batin)
16.  Al Khaufu Wal Isti’mar (Ketakutan dan Penjajahan)
17.  Hina La Yustajabud Du’a (Ketika Doa Tidak Dikabulkan)
18.  Ad Dinu Wal Akhlak (Agama dan Moral)
19.  Ad Da’watu Wal Inma (Dakwah dan Perkembangan)
20.  Khuthbah Idul Fithri
21.  Ma’al Ilam Nahwa Indunisia Al Mustaqbalah (Bersama Islam menuju Indonesia Masa Depan)
22.  Tahta Zhilalir Risalah (Di Bawah Naungan Risalah)
23.  Zayyinud Dunya bi A’malikum Wa Adhiul ‘Ashra bi Imanikum (Hiasi Dunia dengan Amal Kalian dan Sinari Masa dengan Iman Kalian)
24.  Ahyu Ruhul Mitsaliyah Wat Tadhiyah Marratan Ukhra (Hidupkan Kembali Semangat Keteladanan dan Pengorbanan)
25.  Al Islam Wa Hurriyatul Fikr (Islam dan Kebebasan Berfikir)
26.  Dan lain-lain

 Puisi HAMKA untuk Pak Natsir
Kepada Saudaraku M. Natsir

Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa

Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi

Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi

Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu ......


BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
            Ir. soekarno adalah seorang pemimpin yang paling disegani dan kharismatik pada masanya. Suaranya yang lantang dan tegas ketika berpidato, membuat jiwa rakyat Indonesia berkobar untuk berjuang demi kemerdekaan, gaya bicaranya yang senantiasa menyihir setiap orang yang mendengarkannya. Cara berpakaianya yang modis menjadi ciri khas penampilan Bung Karno sebagai pemimpin pada saat itu.
            Muhammad Natsir adalah tokoh kontemporer dunia Islam, mujahid yang menerjuni pertarungan sengit di setiap jenjang dan politikus piawai. Memegang jabatan-jabatan penting di negaranya, mencurahkan segenap kemampuan untuk menjadikan Islam sebagai sistem pemerintahan Indonesia dan melawan orang-orang yang menghalangi tegaknya Islam dari kalangan penyeri sekulerisme, komunisme atau para kaki tangan barat maupun timur. Pidato berjudul “Pilihlah Satu dari Dua Jalan : Islam atau Atheis” yang ia sampaikan di parlemen Indonesia dan dipublikasikan majalah Al Muslimun mempunyai pengaruh besar pada anggota parlemen dan masyarakat muslim Indonesia.

3.2. Pesan dan Saran
            Dalam kesempatan ini kami ingin menyampaikan beberapa pesan dan saran untuk kami pribadi khususnya dan untuk pembaca sekalian umumnya, diantaranya :
1.      Jangan menjadikan makalah ini sebagai satu-satunya bahan rujukan mengenai kepemimpinan Ir. Soekarno dan M. Natsir, tetapi perbanyaklah khazanah bacaan untuk memperluar wawasan keilmuan.
2.      Pelajarilah bagaimana karakter pemimpin-pemimpin yang sangat kharismatik dan berpengaruh khususnya Ir. Soekarno dan M. Natsir sebagai salah satu contoh untuk menjadi generasi penerus yang memiliki kepedulian terhadap nasib dan kondisi bangsa.


                [1]Farabi Faqih, Membayangkan Ibu Kota Jakarta dibawah Seokarno, (Yogyakarta: Ombak, 2005), hlm. 12-14.
                [2]Ibid, hlm. 15.
                [3]Aristides Katoppo, 80 Tahun Bung Karno, (Jakarta: Kintamani Offset, 1982), hlm. 43.
                [4]Farabi Faqih, op.cit, hlm. 35-37.
                [5]Marshall green, Dari Soekarno ke Soeharto, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hlm. 100.
                [6]Farabi Faqih, op.cit, hlm. 42-44..
                [7]Peter Kasenda, Soekarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), hlm. 13-16.
                [8]Panitia Buku Peringatan M. Natsir/M. Roem 70 Tahun, Muhammad Pak Natsir; 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, (Jakarta: Pustaka Antara, cet. 1, 1978), hlm. 168.
                [9]Panitia Buku Peringatan M. Natsir/M. Roem 70 Tahun, op.cit, hlm. 169.
                [10]M. Natsir, Capita Selecta 3, (Jakarta: PT Abadi kerjasama dengan Panitia Peringatan Refleksi Seabad M. Natsir pemikiran dan Perjuanganya serta Yayasan Capita Selecta, cet. 1, 2008), hlm. 16.
                [11] Panitia Buku Peringatan M. Natsir/M. Roem 70 Tahun, op.cit, hlm. 170.
                [12]Ibid.
                [13] Lukman Hakim, Pemimpin Pulang: Rekaman Peristiwa Wafatnya M. Natsir, (Jakarta: Yayasan Piranti Ilmu, cet. 1, 1993), hlm. 71.
                [14]Lukman Hakim, op.cit, hlm. 89-90.
                [15]Kementrian Penerangan RI, Kepartaian Di Indonesia, (Jakarta: Kementrian Penerangan RI, 2006), hlm. 14.
                [16]Majalah SAKSI, edisi bulan Oktober 2005
                [17]http://www.republika.co.id. Diakses pada tanggal 26 Mei 2014, pukul 21.40 WIB.
                [18]Muhammad Natsir, Politik Melalui Jalur Dakwah, (Jakarta: PT. Abadi, cet. 2, 1998), hlm. 22.


DAFTAR PUSTAKA

Keraf, Gorys. 1982. Argumentasi dan Narasi Komposisi Lanjutan III. Jakarta: Gramedia.
L. Wallace, Walter. 1994. Metode Logika Ilmu Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.
Mundiri. 2011. Logika. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nur Al-Ibrahimi, Muhammad. 1960. Ulumul Mantiq. Surabaya: Maktab Sa'ad bin Nasir Nabhan.
Poespoprodjo, W. 1999. Logika Scientifikas. Bandung: Pustaka Grafika.
Surajiyo, dkk. 2005. Dasar-dasar Logika. Jakarta: Bumi Aksara.
Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara.
 

hanya yang tertera di atas yang dapat saya jelaskan. di dalam tulisan di atas sangatlah jauh dari kata sempurna. namun saya tetap berharap apa yang telah saya tuliskan bermanfaat bagi pembaca sekalian.
semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar