Minggu, 25 Januari 2015

MAKALAH FILSAFAT DAKWAH SECARA AKSIOLOGI

MAKALAH FILSAFAT DAKWAH SECARA AKSIOLOGI- Ketika seseorang melakukan dakwah maka kita akan melihat dakwah akan bermanfaat bagi orang yang didakwah. pada kesempatan ini saya akan berbagi sebuah pembahasan mengenai pandang dakwah dari sudut panadang aksiologi.
pemabahasan ini terlaksana karena ada campur tangan dari rekan-rekan dan dosen pembimbing. saya berharap dengan berbagi pembahasan ini mudah-mudahan pemabaca yang budiaman dapat termotivasi untuk melakukan dakwah. selamat membaca.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
            Para pakar filsafat pendidikan Islam seperti Syed Naquib al-Attas menyatakan bahwa ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai, ia netral sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan dan filsafat. Oleh karena itu, umat Islam perlu mengislamisasikan ilmu.[1] Pernyataan al-Attas tersebut bahwa ilmu bebas nilai mengindikasikan adanya aksiologi, yakni pertimbangan nilai dalam ilmu pengetahuan. Ilmu apapun namanya, jika ia diletakkan dalam wadah yang Islami, maka ilmu tersebut adalah “ilmu Islam” dan di luar itu tidak Islami.
            Ilmu pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir manusia yang merupakan wahana untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya, termasuk di dalamnya adalah ilmu dakwah. Proses penerapan itulah yang menghasilkan peralatan-peralatan dan berbagai sarana hidup seperti kapak dan batu di zaman dahulu hingga peralatan komputer di zaman sekarang ini, serta alat-alat yang lebih canggih (mutakhir) lagi untuk masa-masa mendatang. Meskipun demikian, pada hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan tetap didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni; apa yang ingin diketahui, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan, dan bagaimana nilai pengetahuan itu.[2] Masalah yang terakhir ini, yaitu nilai ilmu pengetahuan yang pada bagian ini adalah ilmu dakwahberkenaan dengan aksiologi. Karena itu menarik untuk dikaji apa yang dikandung dalam ilmu dakwah dan kaitannya dengan aksiologi, pertimbangan nilai serta hal lain yang terkait dengannya.
1.2. Maksud dan Tujuan
            Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini diantaranya :
  1. Sebagai tugas kelompokmata kuliah Filsafat Dakwah jurusan Manajemen Dakwah jenjang semester IV.
  2. Menelusuri nilai yang terkandung dalam dakwah untuk kemudian mampu diimplementasikan pada koridor dakwah sebenarnya.
  3. Menambah wawasan cakrawala mengenai etika seorang da’i yang harusnya menjadi panduan dan diaplikasikan dalam melaksanakan tugas dakwahnya.
1.3. Rumusan Masalah
            Rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah :
  1. Apa pengertian aksiologi ?
  2. Apa pengertian dakwah ?
  3. Apa nilai yang terkandung dalam dakwah berkenaan dengan aksiologi ?
  4. Bagaimana etika seorang da’i dalam melaksanakan peranannya ?
1.4. Batasan Masalah
            Dalam pembahasan ini, kami selaku pemakalah membatasi pembahasan masalah hanya pada ruang lingkup sebagaimana yang tercantum dalam rumusan masalah di atas. Dengan maksud sebagai pertimbangan agar pembahasan ini nantinya tidak keluar dari ruang lingkup materi yang telah ditetapkan atau yang akan kami bahas dan kami uraikan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Aksiologi
            Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu “axios” yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan “logos” yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Burhanuddin Salam juga sepakat menyatakan bahwa aksiologi adalah teori tentang nilai. [3]Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, social dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.
Menurut Richard Bender : Suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang memberikan suatu pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian dengan pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian, atau yang menyummbangkan pada pemuasan yang demikian. Dengan demikian kehidupan yang bermanfaat ialah pencapaian dan sejumlah pengalaman nilai yang senantiasa bertambah.[4]
            Jujun S. Suriasumantri berpendapat bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.[5] Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di Dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.[6] Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari Bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios” yang berarti nilai dan kata “logos” yang berarti teori. Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai.[7] Aksiologi adalah abang filsafat yang mempelajari cara-cara yang berbeda dimana sesuatu hal dapat baik atau buruk  (baca: mempunyai akibat positif atau negatif) dan hubungan nilai dengan menilai di satu pihak dan dengan fakta-fakta eksistensi obyektif di pihak lain. Aksiologi adalah teori tentang nilai dalam berbagai makna yang dikandungnya.
            Aksiologi meliputi nilai-nilai yang bersifat normative dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan seperti kawasan social, kawasan simbolik ataupun fisik-materiil. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu condition sine quanon yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.
            Aksiologi memuat pemikiran tentang maslaah nilai-nilai termasuk nilai-nilai tinggi dari Tuhan. Misalnya, nilai moral, nilai agama dan nilai keindahan. Aksiologi ini juga mengandung pengertian lebih luas daripada etika atau higher values of life (nilai-nilai kehidupan yang bertaraf tinggi). Dilihat dari jenisnya, paling tidak terdapat dua bagian umum dari aksiolgi, yaitu[8] :
  1. Etika.
            Etika adalah kajian tentang mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk, serta apa ukuran yang digunakan di dalam menentukan baik dan buruk.[9] Semiawan menerangkan bahwa etika sebagai prinsip atau standar berprilaku manusia, yang kadang-kadang disebut dengan “moral”. Kegiatanmenilai (act of judgement) telah dibangun berdasarkan toleransi atau ketidakpastian, bahwa tidak ada kejadian yang dapat dijelaskan secara pasti dengan zero tolerance. Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia baik dan buruknya. Sementara dari kalangan nonfilsafat, etika sering digunakan sebagai pola bertindak praktis (etika profesi), misalnya bagaimana menjalankan bisnis yang bermoral dalam etika bisnis.[10]
  1. Estetika.
            Mengenai estetika, Semiawan menjelskan bahwa estetika adalah mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni. Estetika merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat indah dan buruk. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu pengetahuan ilmiah agar ia dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas. Estetika juga berkaitan dengan kualitas dan pembentukan mode-mode yang estetis dari suatu pengetahuan ilmiah itu.
            Tujuan dasar ilmu menurut beberapa ahli tidak selalu sama. Seperti dikutip Muslim A Kadir, Fred Kerlinger berpendapat bahwa tujuan dasar ilmu hanyalah menjelaskan realitas (gejala yang ada), bagin bronowsky, tujuan ilmu adalah menemukan yang benar sedangkan menurut Mario Bunge, tujuan ilmu lebih dari sekadar menemukan kebenaran. Kemudian, jika kita hubungkan dengan dakwah Islam atau lebih khususnya kepada ilmu dakwah, akan dapat ditemui arah dakwah sebenarnya. Sebab, berdasarkan sejarah tradisi Islam, ilmu tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali, tapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan selalu mendesak kemanusiaan, tetapi kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Sang Pencipta.[11]

2.2. Pengertian Dakwah.
            Dakwah menurut etimologi (bahasa) berasal dari kata bahasa Arab : da’a-yad’u-da’watan yang berarti mengajak, menyeru, dan memanggil.[12] Di antara makna dakwah secara bahasa adalah An-Nida artinya memanggil; da’a filanun Ika fulanah, artinya si fulan mengundang fulanah. Selanjtnya menyeru, ad-du’a ila syai’i, artinya menyeru dan mendorong pada sesuatu.[13]
            Dalam dunia dakwah, orang yang berdakwah biasa disebut Da’i dan orang yang menerima dakwah atau orang yang didakwahi disebut dengan Mad’u.[14] Dalam pengertian istilah dakwah diartikan sebagai berikut :
  1. Prof. Toha Yaahya Oemar menyatakan bahwa dakwah Islam sebagai upaya mengajak umat dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan di dunia dan akhirat.
  2. Syaikh Ali Makhfudz, dalam kitabnya Hidayatul Mursyidin memberikan definisi dakwah sebagai berikut: dakwah Islam yaitu; mendorong manusia agar berbuat kebaikan dan mengikuti petunjuk (hidayah), menyeru mereka berbuat kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.
  3. Hamzah Ya’qub mengatakan bahwa dakwah adalah mengajak umat manusia dengan hikmah (kebijaksanaan) untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
  4. Menurut Prof Dr. Hamka dakwah adalah seruan  panggilan untuk menganut suatu pendirian yang ada dasarnya berkonotasi positif dengan substansi terletak pada aktivitas yang memerintahkan amar ma’ruf nahi mungkar.
  5. Syaikh Muhammad Abduh mengatakan bahwa dakwah adalah menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran adalah fardlu yang diwajibkan kepada setiap muslim.[15]
            Dari beberapa definisi di atas secara singkat dapat disimpulkan bahwa dakwah merupakan suatu aktivitas yang dilakukan oleh informan (da’i) untuk menyampaikan informasi kepada pendengar (mad’u) mengenai kebaikan dan mencegah keburukan. Aktivitas tersebut dapat dilakukan dengan menyeru, mengajak atau kegiatan persuasif lainnya. Esensi dakwah merupakan aktivitas dan upaya untuk menguba manusia, baik individu maupun masyarakat dari situasi yang tidak baik kepada situasi yang lebih baik.[16]
Dakwah sebagai usaha membangun sistem Islam pada dasarnya merupakan suatu proses perjuangan yang amat panjang.[17] Dakwah menjadikan perilaku Muslim dalam menjalankan Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin yang harus didakwahkan kepada seluruh manusia, yang dalam prosesnya melibatkan unsur: da’i (subyek), maaddah (materi), thoriqoh (metode), wasilah (media) dan mad’u (objek) dalam mencapai maqashid (tujuan) dakwah yang melekat dengan tujuan Islam yaitu mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[18] Islam sebagai agama merupakan penerus dari risalah-risalah yang dibawa nabi terdahulu, terutama agama-agama samawi seperti Yahudi dan Nasrani. Islam diturunkan karena terjadinya distorsi ajaran agama, baik karena hilangnya sumber ajaran agama sebelumnya ataupun pengubahan yang dilakukan pengikutnya. Dalam agama Nasrani misalnya, hingga saat ini belum ditemukan kitab suci yang asli. Karena dakwah merupakan aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar, dakwah tidak selalu berkisar pada permasalahan agama seperti pengajian atau kegiatan yang dianggap sebagai kegiatan keagamaan lainnya.

2.3. Aksiologi Dalam Pandangan Aliran-aliran Filsafat
            Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat, yakni :
  1. Pandangan Aksiologi Progresivisme
            Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah William James (1842-1910), Hans Vahinger, Ferdinant Sciller,  Georger Santayana, dan Jhon Dewey.[19] Menurut progressivisme, nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa. dengan demikian, adanya pergaulan dalam masyarakat dapat menimbulkan nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, dan kecerdasan dan individu-individu. Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan antara manusia dan lingkungannya, baik yang terwujud sebagai lingkungan fisik maupun kebudayaan atau manusia.
  1. Pandangan Aksiologi Essensialisme
            Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini   adalah  Desiderius Erasmus, John Amos Comenius (1592- 1670), John Locke (1632-1704), John Hendrick Pestalalozzi (1746-1827),  John Frederich Frobel (1782-1852), Johann Fiedirich Herbanrth (1776-1841) dan William T. Horris (1835-1909).[20] Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal dari pandangan-pandangan idealisme dan realisme karena aliran essensialisme terbina dari dua pandangan tersebut, pandangan tersebut adalah[21] :
a.       Teori nilai menurut idealisme. Idealisme berpandangan bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos karena itu seseorang dikatakan baik, jika banyak berinteraksi dalam pelaksanaan hukum-hukum itu. Menurut idealisme, sikap, tingkah laku, dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk itu, ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan dapat menunjukkan keindahan pakaian dan suasana kesungguhan tersebut.
b.      Teori nilai menurut realisme. Menurut realisme, sumber semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Realisme memandang bahwa baik dan buruknya keadaan manusia tergantung pada keturunan dan lingkungannya. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan antara pembawa-pembawa fisiologis dan pengaruh-pengaruh lingkungannya. George Santayana memadukan pandangan idealisme dan realisme dalam suatu sintesa dengan menyatakan bahwa “nilai” itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian, dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung tinggi asas otoriter atau nilai-nilai, namun tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri.
  1. Pandangan Aksiologi Perenialisme
            Tokoh utama aliran  ini diantaranya  Aristoteles (394 SM) St. Thomas Aquinas. Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial dan kultural yang lain.[22] Sedangkan menyangkut nilai aliran ini memandangnya berdasarkan asas-asas ‘supernatular‘, yakni menerima universal yang abadi. Dengan asas seperti itu, tidak hanya ontologi, dan epistemolagi yang didasarkan pada teologi dan supernatural, tetapi juga aksiologi. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh potensi kebaikan dan keburukan yang ada pada dirinya. Masalah nilai merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada asas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia terletak pada jiwanya. Oleh karena itulah hakikat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya.
  1. Pandangan Aksiologi Rekonslruksionisme
            Aliran rekonstruksionalisme adalah aliran yang berusaha merombak kebudayaan modern. Sejalan dengan pandangan perenialisme yang memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan,dan kesimpangsiuran. Aliran rekonstruksionalisme dalam memecahkan masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia yang memerlukan kerja sama.



2.4. Hakikat Nilai dan Penelusuran Nilai Dakwah (Aksiologi Dakwah)
            Aksiologis adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai dari sudut pandang filsafat. Sesuatu yang dikatakan bernilai jika ia memiliki unsur baik atau manfaat dalam kehidupan, misalnya nilai sebuah pisau, nilai sehat, nilai sebuah barang dan sebagainya. Menurut Kenneth Anderson yang dikutip oleh Onong Uchjana Effendy menyatakan bahwa nilai merupakan komponen sentral yang membimbing dan memandu tindakan atau kegiatan seseorang. Sebagai contoh, seseorang yang menginginkan kekuatan, akan menghubungkan sikap dan kegiatannya dengan nilai sentral, umpamanya dzikir-dzikir khusus yang berkaitan dengan keyakinan pada Tuhan. Nilai sentral itulah yang menjadimotivasi untuk mendapatkan kekuatan tersebut. Jika pengertian nilai tersebut dikaitkan dengan dakwah, maka akan dikenal dengan nilai dakwah, yakni nilai-nili Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Hadits. Nilai-nilai dakwah bukanlah suatu “barang yang mati”, melainkan nilai dinamis yang disesuaikan dengan semangat zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada di masyarakat. Menurut Muhammad Sulthon, tata nilai Islami yang terdapat di dalam Al-Qur’an bersifat historis, dinamis, dialektis dan transformatif.[23]
            Kattsoff menjelaskan bahwa hakikat nilai itu ada beberapa kemungkinan, diantaranya :
  1. Nilai adalah kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan
  2. Nilai sebagai objek suatu kepentingan
  3. Nilai pragmatis
  4. Nilai sebagai esensi
            Pada bagian lain, Kattsoff menjelaskan bagaimana mendekati nilai (pendekatan aksiologis) yang dibedakan menjadi :
  1. Nilai seluruhnya berhakikat subjektif, artinya nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan manusia sebagai pemberi nilai.Kaitannya dengan hal ini, maka sangat tergantung pada pengalaman, penetahuan dan kemampuan pemberi nilai tersebut.
  2. Nilai-nilai merupakan kenyataan ontologis, artinya nilai merupakan esensi logis yang dapat diketahui melalui akal, yang dikenal dengan objektivitasme logis.
  3. Nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan, artinya nilai merupakan hasil dari pengenalan, penambahan dan pembuktian dari suatu yang dinilai (objektivitas).
            Berangkat dari penyataan nilai di atas, dapat kita jadikan batu loncatan untuk melakukan penelusuran terhadap nilai dakwah. Upaya dalam menelusuri nilai dakwah diantaranya :
  1. Jika dilihat dari sudut ilmunya, maka yang muncul adalah nilai kebenaran dari pengetahuan dakwah tentunya harus ada tolok ukur yang baku, yaitu :
a.       Koherensi antarkonsep dalam pengetahuan
b.      Korespondensi, sesuatu itu bernilai jika sesuai dengan kenyataan
c.       Empiris, sesuatu dikatakan bernilai jika dapat dibuktikan dengan cara empirik/didapat dari penelitian
d.      Unsur pragmatis, bernilai jika ada manfaatnya
  1. Sudut empirik keberadaan dakwah (dakwah sbagai proses). Nilai dakwah dilihat dalam kenyataan hidup masyarakat, yakni adanya interaksi antara da’I, ajaran, umat manusia dan segala hal yang mendukung proses dakwah. Ada dua hal penting yang sebaiknya diyakini dalam nilai dakwah, yaitu: Pertama, Nilai kerisalahan, dakwah dilihat sebagai penerus,penyambung dan menjalankan fungsi dan tugas Rasul. Kedua, Nilai rahmat dalam dakwah, ajaran Islam harus memberikan manfaat bagi kehidupan umat. Sehubungan dengan hal ini maka dakwah harus mampu menterjemahkan ajran Islam, mengimplementasikan konsep ajaran dalam kehidupan sehari-hari. Dakwah dalam hal ini lebih menitikberatkan pada tujuan dakwah secara oprasional entah itu output ataupun input dari kegiatan dakwah yang dilaksanakan.
            Dakwah dari aspek keilmuan dapat ditelusuri dari sejauh mana konsep-konsep dan teori ilmu dakwah memberikan kontribusi bagi kehidupan manusia, baik sebagai individu, kelompok sosial maupun bangsa.
            Menurut Sambas, aksiologi ilmu dakwah adalah:
  1. Mentransformasikan dan menjadi manhaj (kaifiyah) mewujudkan ajaran islam menjadi tatanan Khoirul-Ummah
  2. Mentransformasikan iman menjadi amal sholeh jamaah
  3. Membangun dan mengembalikan tujaun hidup manusia, meneguhkan fungsi khilafah manusia menurut Al-quran dan sunnah, oleh karena itu, ilmu dakwah dapat dipandang sebagai perjuangan bagi ummat islam dan ilmu rekayasa masa depan umat dan peradaban islam.[24]
            Dalam dimensi aksiologis dakwah ada tiga hal yang harus dicermati dan ketiganya akan mengandung konsekuensi yang berbeda, yitu :
  1. Perlu dijernihkan terlebih dahulu pemahaman dakwah sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai objek kajian atau bahkan sebuah ativitas konkrit.
  2. Kesadaran akan pluralitas sebagai keniscayaan, yang meliputi:
a.       Perbedaan kebudayaan antara wilayah tertentu dengan yang lain, kurun waktu tertentu dan kurun waktu yang lain. Kondisi sosial-ekonomi tertentu dan kondisi yang lain. Histories tertentu dan histories yang lain.
b.      Adanya realitas bahwa diluar Islam ada komunitas lain seperti ahli kitab, orang musyrik dan orang kafir. Yang dapat dilindungi (Dzimmi) atau diperangi tergantung kondisi yang ada.
  1. Dakwah sebagai panggilan, ajakan dan komunikasi harus merupakan dialog bukan monolog. Keterbukaan mejadi syarat mutlak, kesediaan untuk selalu diuji dan beradu argumen adalah syarat aksiologis yang harus ada dalam setiap upaya menyampaikan nilai kebenaran.
2.5. Nilai Dakwah dan Institusionalisasinya.
            Nilai dan orientasi nilai mengacu kepada konsepsi tentang hal-hal atau karakteristik manusia yang dikehendaki dan terpuji. Tindakan yang dilakukan oleh seseorang dibangun dari pemahaman yang mendalam tentang arti kehidupan bagi dirinya. Jika seseorang mengartikan kehidupan sesuai dengan ajaran Islam bahwa hidup ini memiliki makna dan tujuan yang jelas, maka mereka akan melakukan tindakan sesuai dengan ajaran Islam dan akan mempersiapkan untuk menghadapi kehidupan akhirat yang abadi. Di dalamnya seseorang berupaya untuk mengenal tentang dirinya sebagai manusia yang sempurna, tugasnya di alam sebagai hamba Allah SWT dan khalifatullah, serta hubungannya dengan Sang Khalik dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan adanya pemahaman tersebut akan lahir persepsi yang positif terhadap kehidupan dan dinamikanya. Dari persepsi yang positif akan lahirlah kesadaran untuk bertanggung jawab dalam mengembangkan kehidupan yang berguna dan pada akhirnya akan melakukan aktivitas-aktivitas yang memberikan manfaat bagi dirinya dan orang lain. Berikut ini gambaran tentang proses tersebut[25] :

            Tindakan yang dilakukan umat Islam mestinya dibangun dari pemahaman yang komprehensif tentang ajaran Islam yang di dalamnya terdapat nilai-nilai dakwah yang bersifat universal. Beberapa nilai-nilai dakwah universal yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan umat, diantaranya sebagai berikut[26] :
  1. Kedisiplinan
            Disiplin bukan hanya milik tentara atau polisi saja, tetapi menjadi milik semua orang yang ingin sukses. Kedidiplinan tidak diartikan dengan kehidupan yang kaku dan susah tersenyum. Kedisiplinan terkait erat dengan manajemen waktu. Bagaimana waktu yang diberikan oleh Tuhan selama 24 jam dalam sehari semalam dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk meraih kesuksesan di dunia dan akhirat. Al-Qur’an sangat banyak bercerita dan menyebutkan tentang pentingnya waktu, seperti demi masa (wal’ashr), demi waktu dhuha (wadduha), demi waktu malam (wallaili), demi waktu fajar (walfajr) dan lain sebagainya. Waktu tidak bisa diputar ulang, karenanya amat rugi manakala waktu yang kita jalani hanya dilewatkan begitu saja tanpa memberi makna yang berarti. Pepatah Arab mengatakan “al-waqtu ka al-shaif” (waktu bagaikan pedang), artinya jika kita tidak mampu memanfaatkan waktu, bagaikan kita ditebang oleh pedang, yakni mengalami kerugian dan bahkan kematian.
            Dalam ajaran ibadah shalat dan puasa, kita dilatih betul bagaimana menjadi orang yang disiplin dalam memanfaatkan waktu. Tidak bisa kita melaksanakan shalat di luar waktu yang telah ditentukan, begitu juga dengan puasa, ada aturan main yang sudah jelas waktunya. Pembelajaran dan pembiasaan yang diajarkan oleh Tuhan untuk memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya mestinya dapat berpengaruh terhadap kedisiplinan seseorang dalam menjalani hidupnya.

  1. Kejujuran
            Rasulullah SAW merupakan teladan utama dalam kejujuran dan bahkanbeliau memiliki sifat sidiq (jujur). Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk berlaku jujur, sesuai dengan sabda beliau :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى اللّه عليه وسلم : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَاِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا (اخرجه مسلم)
Artinya :
Hendaklah kamu semua bersikap jujur karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke syurga, seseorang yang selalu jujur dan mencari kejujuran akan ditulis oleh Allah SWT sebagai orang yang jujur, dan jauhilah sifat bohong karena kebohongan membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa ke neraka. Orang yang selalu berbohong dan mencari kebohongan akan ditulis oleh Allah SWT sebagai pembohong” (HR. Muslim)
            Kita bisa belajar dari umat yang dibinasakan oleh Allah SWT akibat tidak jujur dan kejahatan lain yang dilakukannya, yaitu pada bangsa Madyan sebagaimana yang difirmankan Allah SWT sebagai berikut :
Artinya :
“Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)." Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan” (Q.S. Huud: 84-85)
            Dari ayat di atas, ada tiga hal penting yang bisa diterapkan dalam kehidupan kita untuk memberantas ketidakjujuran dankejahatan lainnya, yaitu: Pertama, pelurusanakidah dengan meyakini dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah SWT semata. Kedua, berprilaku jujur dan jangan menyakiti orang lain. Ketiga, jangan merusak bumi, maksudnya bisa diperluas bukan hanya arti sempitnya tetapi juga bisa dimaksudkan jangan merusak sistem yang sudah dibangun dengan baik, akibat dari prilaku individu yang tidak jujur.
  1. Kerja keras
            Siapa yang sungguh-sungguhmaka dialah yang pasti dapat (man jadda wajada). Pepatah Arab tersebut merupakan hukum sosial yang berlaku universal bagi masyarakat, tidak mengenal etnis, agama maupun bahasa. Orang yang rajin dan bekerja keras, pasti akan mendapatkan hasil dari kerja kerasnya. Sebaliknya, orang yang malas akan menerima hasil yang sedikit karena kemalasannya. Allah SWT dalam beberapa ayat mendorong umat-Nya untuk bekerja keras, seperti:
Artinya :
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain” (Q.S. Al-Insyiroh: 7)
            Sebagian ahli tafsir menafsirkan apabila kamu (Muhammad) telah selesai berda'wah maka beribadahlah kepada Allah SWT, dan apabila kamu telah selesai mengerjakan urusan dunia maka kerjakanlah urusan akhirat, dan ada lagi yang mengatakan: “Apabila telah selesai mengerjakan shalat maka berdo’alah”.
            Allah SWT juga berfirman :
Artinya :
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (Q.S. Al-Jumu’ah: 10)
            Begitupun Rasulullah SAW yang telah mencontohkan sejak kecil telah bekerja keras, seperti mengembala kambing, berdagang dan berupaya sekuat tenaga untuk membebaskan umat (kaum dhuafa) dari kemiskinan, kebebasan, perbudakan, eksploitasi kaum aghniya dan sebagainya. Rasulullah SAW mengingatkan kita “yang paling aku khawatirkan dan takuti terhadap umatku adalah suka membusungkan dada, banyak tidur dan malas bekerja”.
  1. Kebersihan
            Umat Islam sangat hafal sekali dengan hadist Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa “kebersihan adalah sebagian dari iman” (HR. Muslim). Sayangnya, hafalan tersebut kurang diimbangi dengan praktikdi lapangan. Realitas tempat-tempat umum milik umat Islam menunjukkan kurang terjaganya kebersihan, seperti masjid, mushalla, pondok pesantren, asrama haji, majelis ta’lim dan sebagainya. Padahal, umat Islam sering kali diperkenalkan dan dianjurkan untuk menjaga kebersihan. Setiap bahasan pertama tentang fiqih Islam diawali dengan pembahasan tentang kebersihan seperti menghilangkan hadas besar dan kecil, menggunakan air yang bersih lagi mensucikan, berwudhu dan lain sebagainya. Allah SWT mengingatkan umat Islam untuk menjaga kebersihan (kesucian) jiwa dan juga kebersihan yang bersifat fisik, dengan simbol untuk membersikan pakaian. Allah SWT berfirman :
Artinya :
Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan, dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah” (Q.S. Al-Muddatssir: 1-4)
            Dengan demikian, menjaga kebersihan merupakan nilai dakwah universal yang dapat dilakukan oleh siapa saja, apalagi umat Islam jelas-jelas memiliki dasar kuat untuk menjaga kebersihan.
  1. Kompetisi
            Islam tidak melarang umatnya untuk berkompetisi, karena kompetisi merupakan salah satu motivasi psikologis yang sangat umum dimiliki oleh setiap manusia. Setiap mahasiswa akan memiliki motivasi untuk berkompetisi diantara teman-temannya. Meskipun masing-masing individu berbeda dalam tingkatan motivasinya. Al-Qur’an telah menganjurkan umat Islam untuk berkompetisi dalam peningkatan kualitas takwa, sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya :
Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam keni'matan yang besar (syurga), mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh keni'matan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya). laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba” (Q.S. Al-Muthaffifin: 22-26)
            Kebanyakan manusia biasanya melakukan kompetisi dalam urusan materi dan dunia yang fana. Oleh karena itu, Rasulullah SAW mengingatkan agar umat Islam tidak berkompetisi secara berlebihan dalam urusan dunia. Hal ini dapat menimbulkan konflik, dengki, rasa iri dan menjauhkan dari ingat kepada Allah SWT. Sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya :
Demi Allah, bukan kekafiran yang aku khawatirkan atas kalian, tetapi aku khawatir kalau dunia disodorkan kepada kalian sebagaimana telah disodorkan kepada orang-orang sebelum kalian. Lantas kalian berlomba-lomba (berkompetisi) sebagaimana mereka telah melaukannya juga. Akhirnya dunia akan menghancurkan kalian, sebagaimana telah membinasakan mereka semua” (HR. Bukhari)
            Masih banyak lagi nilai-nilai dakwah yang bisa dikembangkan atau diturunkan dari sumber ajaran Islam yakni Al-Qur’an dan al-Hadist, kami hanya mencontohkan sebagian kecil dari nilai-nilai dakwah yang ada. Nilai-nilai dakwah yang berlaku universal tersebut senantiasa disosialisasikan kepada masyarakat sehingga nilai-nilai tersebut menjadi kebiasaan, tradisi atau norma yang berlaku dimasyarakat. Jika nilai-nilai dakwah universal telah berkembang dan menjadi norma di masyarakat, maka nilai-nilai dakwah telah memasuki tahap institusionalisasi atau pelembagaan. Dalam melaksankan proses pelembagaan nilai-nilai dakwah, titik berangkatnya berasal dari pemahaman tentang konsepsi dakwah menurut ajaran Islam. Di dalam konsepsi dakwah terkandung nilai-nilai yang akan disosialisasikan dan ditanamkan kepada para pelaku dakwah. Nilai-nilai yang telah menginternal dalam diri para pelaku dakwah akan terus dibawa dan dikembangkan melalui interaksi sosial yang terjadi di organisasi dakwah dan terbentuk menjadi nilai-nilai dakwah. Nilai-nilai dakwah tersebut akan terus-menerus dipraktikkan oleh para pelaku dakwah menjadi kebiasaan dan tata aturan yang pada akhirnya melahirkan institusi.

2.6. Etika Berdakwah
            Dalam pergaulan hidup bermasyrakat, berbangsa dan bernegara diperlukan suatu sistem yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. Dengan sistem pergaulan tersebut menjadikan kita saling menghormati dan menghargai. Sitem pergaulan tersebut bisa dikenal dengan sopan santun, tata krama, protokoler atau etika. Contohnya, seorang muslim ketika bertemu dengan muslim lainnya mengucapkan salam dan saling berjabatan tangan merupakan etika yang diajarkan oleh Islam. Etika juga berlaku bagi setiap profesi tertentu, seperti profesi guru, dokter, da’i dan sebagainya. Oleh karena itu, setiap profesi mempunyai kode etik masing-masing dan menjadi pedoman dalam berprilaku bagi setiap anggotanya. Kode etik dibangun dari paradigma keilmuan yang membangun profesi tersebut.
            Kode etik merupakan ketentuan atau aturan yang berkenaan dengan tata susila dan akhlak. Menurut Abudin Nata yang dikutip oleh Haris Hermawan, menyatakan bahwa kode etik memiliki ciri-ciri, yaitu: Pertama, suatu kebutuhan yang telah mendarah daging dan menyatu menjadi kepribadian serta membentuk karakteristik orang tersebut. Kedua, tindakan atau tingkah laku tersebut dilakukan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran yang panjang. Ketiga, perbuatan yang dilakukan akibat dari perbuatan orang lain. Keempat, tindakan atau perbuatan tersebut dilakukan atas dorongan hati nurani dan bukan karena terpaksa atau berpura-pura. Kelima, perbuatan atau tindakan tersebut dilakukan karena Allah SWT, sehingga perbuatan atau tindakan tersebut bernilai ibadah.[27]
            Dalam UU No. 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok Kepegawaian dinyatakan bahwa kode etik merupakan pedoman sikap tingkah laku perbuatan di dalam dan di luar kedinasan. Dari pengertian dan ciri-ciri kode etik tersebut di atasberarti kode etik berkaitan erat dengan pelaku yang menjalankan profesi tersebut. Jika pengertian tersebut dikaitkan dengan dakwah, maka akan timbul kode etik bagi profesi dakwah. Bagaimana seorang da’i bersikap dan berprilaku dalam melakukan aktivitas dakwah terkait erat dengan sifat dan kompetensi yang dimiliki oleh seorang da’i. Untuk menambah pengetahuan dan praktik dakwah yang lebih baik, kita telaah etika dalam berdakwah sebagai berikut[28] :
  1. Dakwah hendaknya dilakukan dengan menafikan unsur-unsur kebencian. Esensi dakwah mestilah melibatkan dialog bermakna yang penuh kebijaksanaan, perhatian, kesabaran dan kasih sayang. Allah SWT berfirman :
Artinya :
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (Q.S. Ali-Imran: 159)
  1. Dakwah hendaknya dilakukan secara persuasif, jauh dari sikap memaksa karena sikap yang demikian di samping kurang arif juga akan berakibat pada keengganan orang mengikuti seruan da’i yang pada akhirnya akan membuat misi dakwah gagal. Allah SWT berfirman :
Artinya :
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al-Baqarah: 256)
  1. Menghindari pikiran dan sikap menghina serta menjelek-jelekkan agama atau menghujat Tuhan yang menjadi keyakinan agama lain. Kita dapati sebagian da’i sekarang ini lebih suka untuk memvonis dan menghakimi masyarakat dengan menyebut mereka kafir, musyrik, fasiq, ahli bid’ah dankalimat-kalimat sejenisnya, yang barangkali sebagian perbuatan yang dilakukan oleh masyarakatnya itu masih dalam bingkai khilafiyah. Padahal seorang da’i seharusnya lebih dekat dengan masyarakatnya. Dengan demikian, dia akan dapat memperlakukan objek dakwahnya itu secara baik, santun, lemah lembut, penuh kasih sayang, arif dan bijaksana. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa sikap keras dan tegas juga dibutuhkan, namun harus sesuai dengan kondisi dan situasi. Allah SWT berfirman :
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (Q.S. Al-Hujurat: 11-12)
  1. Mengapresiasi peredaan dan menjauhi sikap ekstremisme dalam beragama. Jangan terlalu fanatik dengan paham dan ideologi yang dianut oleh seorang da’i, tetapi perlu memperhatikan paham dan ideologi yang dianut oleh orang lain. Perbedaan muncul bukan hanya karena sunatullah saja, tetapi bisa disebabkan karena adanya perbedaan secara personal, kultural dan ultima dalam keberagamaan seseorang.[29] Mengingat masyarakat tumbuh dalam sebuah kultur yang beragam, maka ekspresi sebuah agama secara kultural dan simbolik bisa juga beragam, sekalipun pesannya sama. Demikian pula secara ultimat, kesadaran individu dalam mengekspresikan hal-hal yang absolut bisa berbeda-beda, karena pemahaman maupun pengalaman keberagamaan masing-masing individu. Oleh karena itu, prinsip Islam dalam beragama adalah sikap jalan tengah atau moderat (umatan wasathon), sebgaimana firman Allah SWT:
Artinya :
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan [95] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia” (Q.S. Al-Baqarah: 143)
  1. Dakwah hendaknya dilakukan dengan jujur dan proporsinal. Dalam mengemukakan dalil-dalil dan pembuktian hendaknya dilakukan secara baik. Kemahiran da’i menggunakan kata-kata mungkin dapat memutarbalikkan persoalan yang sebenarnya. Ada sebagian jama’ah atau umat yang mengikuti aliran atau paham sesat, tidak terlepas dari kepandaian pemberi pesan yang mampu menghipnosis pendengarnya sehingga paham atau aliran tersebut menjadi ideologi yang siap untuk dibela mati. Kasus yang pernah menimpa para pemuda yang terlibat dalam aliran sesat yang dibawa oleh Ahmad Musaddeq dan paham Negara Islam Indonesia (NII) merupakan sebagian dari contoh betapa dakwah dilakukan secara tidak proporsional. Al-Qur’an mengajarkan kita untuk selalu berhati-hati setiap menerima berita dan perlu menyikapi secara kritis, sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (Q.S. Al-Hujurat: 6)

2.7. Analisa Kelompok
            Aksiologi dakwah (berbicara mengenai nilai dakwah) tidak bisa kita lepaskan dari panduan pokok yaitu Al-Qur’an dan al-Hadist yang memuat segala berita, sejarah dan pengajaran. Memahami nilai dakwah merupakan hal yang harus benar-benar dicermati oleh para pelaku dakwah terlebih lagi di masa kontemporer ini. Semakin berkembangnya zaman membuat semakin kompleksnya problematika dakwah dan itu merupakan hal yang harus mendapatkan perhatian khusus guna mencapai kesuksesan dalam berdakwah. Seorang da’i harus paham tentang hakikat atau makna dakwah sesungguhnya (ontologi dakwah), teknik penerapan atau metodenya (epistemologi) dan nilai serta tujuan dari dakwah tersebut. Kami berusaha menelaah dan menganalisa apa seseungguhnya nilai dan tujuan dakwah tersebut. Pemaparan yang kami uraikan pada makalah ini dapat membuat kita menyimpulkan gambaran umum dari nilai maupun manfaat dakwah tersebut.
            Seiring perkembangan zaman, ilmu dakwah mulai dikembangkan untuk membingkai dakwah tersebut agar lebih terarah dan dapat tercapai sesuai dengan konteks zaman. Selanjutnya kami sedikit menganalisa mengenai tujuan ilmu dakwah yang merujuk kepada Al-Qur’an. Tujuan dasar ilmu dakwah, dengan merujuk pada beberapa ayat Al-Qur’an yang relevan, adalah untuk :
  1. Menjelaskan realitas dakwah sebagai suatu kebenaran. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
Artinya :
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu”. (Q.S. Fushshilat: 53)
  1. Mendekatkan diri kepada Allah sebagai kebenaran. Allah SWT berfirman:
Artinya :
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku”. (Q.S. Adz-Zaariyat: 56)
  1. Merealisasikan kesejahteraan untuk seluruh alam (Rahmat li al-Alamin). Allah SWT berfirman:
Artinya :
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (Q.S. Al-Anbiya’: 107)
            Pada akhirnya, kami menemukan relevansi yang kuat antara agama dan filsafat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Kindi bahwa keselarasan agama dan filsafat didasarkan pada tiga alasan, yaitu: ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, kebenaran wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat sling bersesuaian dan menuntut ilmu secara logika dianjurkan oleh agama.[30] Dengan demikian, orang yang menolak filsafat sama dengan menolak kebenaran, dan yang menolak kebenaran sama dengan kekafiran. Sebagaimana pernyataan Al-Kindi yang dikutip oleh Hasan Bakti bahwa Al-Kindi mengibaratkan orang yang menolak kebenaran dengan orang yang memperdagangkan agama dan sekaligus tidak lagi beragama, sehingga berhak disebut kafir.[31]
            Jika ada orang yang mengatakan bahwa filsafat dapat menghancurkan iman bahkan telah ada beberapa kasus dimana seseorang yang mendalami filsafat malah menjauh dari Allah SWT, hal itu memang bisa saja terjadi. Akan tetapi, titik kesalahan bukan kepada filsafat yang ia pelajari, melainkan penelusuran atau pembelajarannya kepada filsafat yang setengah-setengah (tidak menyeluruh). Sejatinya filsafat mengajarkan kita untuk dapat melihat sesuatu yang berkategori benar dengan pembuktian rasional. Dan saat rasio berdamping dengan hati (kalbu), maka dari sini seseorang yang bahkan nonmuslim sekalipun tidak menutup kemungkinan akan bisa sampai kepada Sang Khalik. Bagi para pengemban tugas dakwah, filsafat membantu untuk mampu mendesain dakwah tersebut sesuai dengan warna zaman dan tuntutan kebutuhan. Pada hasil akhirnya dakwah akan dapat menjadi sebuah kegiatan yang kian tersebar ke seluruh penjuru alam.



BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
            Aksiologi dakwah secara sederhana adalah menelusuri nilai-nilai yang terkandung dalam kegiatan dakwah. Nilai-nilai dakwah universal yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan umat diantaranya, kedisiplinan, kejujuran, kerja keras, kebersiha dan kompetisi. Selain itu, masih banyak lagi nilai-nilai dakwah universal yang terkandung di dalam dakwah itu sendiri.
            Selain itu, bagi para da’i yang menjadi pelaku dakwah, aksilogi dakwah juga mengajarkan bagaimana etika seorang da’i yang seharusnya dalam menjalankan peranannya, diantaranya: Dakwah hendaknya dilakukan dengan menafikan unsur-unsur kebencian, dakwah hendaknya dilakukan secara persuasif dan jauh dari sikap memaksa, menghindari pikiran dan sikap menghina serta menjelek-jelekkan agama atau menghujat Tuhan yang menjadi keyakinan agama lain, mengapresiasi peredaan dan menjauhi sikap ekstremisme dalam beragama dan dakwah hendaknya dilakukan dengan jujur dan proporsinal. Dalam mengemukakan dalil-dalil dan pembuktian hendaknya dilakukan secara baik.

3.2. Pesan dan Saran
            Dalam kesempatan ini kami ingin menyampaikan pesan dan saran untuk kami pribadi khususnya dan untuk pembaca sekalian umumnya. Pesan dan saran pokok yang ingin kami sampaikan adalah pahamilah hakikat, metode dan nilai-nilai yang terkandung dalam dakwah tersebut agar segala bentuk kegiatan dakwah yang kita lakukan dapat sukses guna tetap tegaknya marwah Islam dalam kancah peradaban dunia.




                [1]Wan Mohd. Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmi, et. all dengan judul Filsafat dan Praktik Pendidi-kan Islam Syed M. Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, Cet, I, 2003), hlm. 317.
                [2]Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Cet, IX, 1991), hlm. 2.
                [3]Burhanuddin Salam, Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Reneka Cipta, Cet, 1, 1997), hlm. 168.
                [4]Ali Abri, (Sewaktu Menjadi Dosen Fak. Syari’ah IAIN SUSQA), Filsafat Umum Suatu Pengantar, Untuk Kalangan Sendiri, hlm. 33.
                [5]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar harapan, Cet, XIII, 2000), hlm. 234.
                [6]Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa oleh Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm. 327.
                [7]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2007), hlm. 36.
                [8]A. Susanto, Filsafat Ilmu; Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, Cet ke-2, 2011), hlm. 117-118.
                [9]Hasan Bakti Nasution, Filsafat Umum, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011), hlm. 75.
                [10]Asmoro Achmadi, Filsafat Umum; Edisi revisi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 16.
                [11]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet ke-11, 2012), hlm. 173.
                [12]Samsul Munir Amin, M.A, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Islam, (Jakarta: Reneka Cipta, 2008), hlm. 3.
                [13]Jum’ah Amin Abdul Aziz, Fiqih Dakwah; studi atas berbagai prinsip dan kaidah yang harus dijadikan acuan dalam dakwah islamiah, (Solo: Cipta Media, 2011), hlm. 43.
                [14]Wahidin Saputra, M.A, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 1.
                [15]Ibid, hlm. 2.
                [16]M. Munir dan Wahyu Ilaihi, Manajemen Dakwah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), hlm. 21.
                [17]A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah; Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hlm. 121.
                [18]Wahidin Saputra, M.A, loc.cit.
                [19]Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Baya Madya Pratama, 1997), hlm. 70-71.
                        20Djuberansyah Indar, Filsafat Pendidikan, (Surabaya: Karya Abdi Tama, 1994), hlm. 136.
                        21Jalaluddin dan Abdullah Idi, op. cit, hlm. 87.
                [22]Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Pengantar Mengenai Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Andi Offset, 1990), hlm. 15.
                [23]Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar dan Walisongo Press, 2003), hlm. 144.
                [24]Sukriyadi Sambas, Sembilan Pasal Pokok-pokok Filsafat Dakwah, (Bandung: KP Hadid, 1999), hlm. 41.
                [25]Abdul Basit, Filsafat Dakwah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 201-202.
[26]Ibid, hlm. 203-207.
                [27]A. Haris Hermawan, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Direktorat Pendis Departemen Agama RI, 2009), hlm. 146.
                [28]Abdul Basit, op.cit, hlm. 215-219.
                [29]Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi, (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. 3.
                [30]Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 11.
                [31]Hasan Bakti Nasution, op.cit, hlm. 137.

demikianlah yang dapat saya paparkan dalam pembahasan di atas semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian.

1 komentar:

  1. Mantap sekali tulisannya.
    Sangat bermanfaat buat dijadikan referensi.
    Mohon kunjungi blog saya juga ya.
    FAJRIN MAULANA

    BalasHapus