MAKALAH KEPEMIMPINAN ISLAM "KEPEMIMPINAN IR. SOEKARANO DAN MUHAMMAD NATSIR- Setiap individu adalah pemimpinan dan setiap pemimpin akan diminta petanggungjawaban. jadi pemimpin sangatlah erat kaitannya dengan kepemimpinan.
Di dunia ini banyak yang bisa dijadikan contoh dalam kepemimpinan seperti yang saya bahas di bawah.
selamat membaca.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di setiap komunitas selalu ada
pemimpinnya. Peran pemimpin beraneka ragam, di antaranya adalah sebagai
penggerak, motivator, inspirator, penunjuk arah, menyatukan, pelindung,
pengayom, penolong, pembagi kasih sayang, mencukupi serta mensejahterakan, dan
lain-lain. Tugas pemimpin, dengan demikian memang banyak dan berat. Semua peran
itu akan dipertanggung-jawabkan, baik di hadapan manusia yang dipimpinnya
maupun di hadapan Tuhan kelak. Sebagai penggerak dan motivator, maka pemimpin
harus menjadikan semua orang yang dipimpinnya hidup. Jiwa, pikiran, dan
semangat dari semua orang yang dipimpin menjadi hidup dan berkembang. Untuk
menggerakkan bagi semua yang dipimpinnya, seorang pemimpin membutuhkan tipe
atau gaya yang dimiliki pemimpin untuk memimpin semua orang.
Ir. Soekarno adalah bapak
proklamator, seorang orator ulung yang bisa membangkitkan semangat nasionalisme
rakyat Indonesia. Beliau memiliki gaya kepemimpinan yang sangat popularistik
dan bertempramen meledak-ledak. Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Ir.
Soekarno berorientasi pada moral dan etika ideology yang mendasari Negara atau
partai, sehingga konsisten dan sangat fanatic, cocok diterapkan pada era
tersebut. Muhammad Natsir adalah tokoh kontemporer dunia Islam, mujahid yang
menerjuni pertarungan sengit di setiap jenjang dan politikus piawai. Memegang
jabatan-jabatan penting di negaranya, mencurahkan segenap kemampuan untuk
menjadikan Islam sebagai sistem pemerintahan Indonesia dan melawan orang-orang
yang menghalangi tegaknya Islam dari kalangan penyeri sekulerisme, komunisme
atau para kaki tangan barat maupun timur. Kedua tokoh ini memiliki peran yang
sangat besar bagi bangsa Indonesia dan telah mengabdikan diri dengan penuh
dedikasi serta perjuangan yang tinggi. Jiwa nasionalisme dan semangat
patriotisme yang mereka tampilkan dapat kita jadikan sebagai panutan dalam
mengemban tugas sebagai penerus bangsa dan pengisi kemerdekaan. Berangkat dari
sini, kami selaku pemakalah akan mencoba untuk menguraikan bagaimana
kepemimpinan Ir. Soekarno dan M. Natsir beserta perjuangan keduanya demi marwah
bangsa.
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari penyusunan
makalah ini diantaranya :
1. Sebagai
tugas kelompok mata kuliah Kepemimpinan Islam jurusan Manajemen Dakwah jenjang
semester IV.
2. Menambah
wawasan cakrawala mengenai kepemimpinan Ir. Soekarno dan M. Natsir.
3. Menggali
bagaimana perjuangan maupun sumbangsih Ir. Soekarno dan M. Natsir dalam
memperjuangkan bangsa Indonesia.
1.3. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam
pembahasan ini adalah :
1. Bagaimana
biografi Ir. Soekarno ?
2. Bagaimana
biografi M. Natsir ?
3. Bagaimana
peran dan perjuangan Ir. Soekarno ?
4. Bagaimana
peran dan perjuangan M. Natsir ?
1.4. Batasan Masalah
Dalam pembahasan ini, kami selaku
pemakalah membatasi pembahasan masalah hanya pada ruang lingkup sebagaimana
yang tercantum dalam rumusan masalah di atas. Dengan maksud sebagai
pertimbangan agar pembahasan ini nantinya tidak keluar dari ruang lingkup
materi yang telah ditetapkan atau yang akan kami bahas dan kami uraikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Biografi Ir.
Soekarno
Ir.
Soekarno (Lahir Di Blitar Pada 6 Juni 1901- Meninggal
Pada Tanggal 21 Juni 1970 Di Kota Blitar, Jawa Timur). Ayahnya Raden
Sukemi Sosrohadihardjo, Adalah Seorang Priyayi Rendahan Yang Bekerja Sebagai
Guru Sekolah Dasar. Ibunya Nyoman Rai Berdarah Biru Dari Bali Dan Beragama
Hindu. Pertemuan Mereka Terjadi Ketika Raden Sukemi, Yang Sehabis Menyelesaikan
Studi Di Sekolah Pendidikan Guru Pertama Di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur,
Ditempatkan Di Sekolah Dasar Pribumi Di Singaraja, Bali. Dalam Usia
Kanak-Kanak, Soekarno Tinggal Dan Diasuh Oleh Kakeknya. Raden Hardjokromo Di
Tulung Agung, Jawa Timur. Kakeknya Adalah Seorang Pedagang Batik, Yang Secara
Tidak Langsung Membantu Penghidupan Dari Kedua Orang Tua Soekarno Yang Pada
Waktu Itu Tidak Memiliki Penghasilan Yang Cukup Untuk Menghidupi Dirinya Dan
Kakaknya. Kecintaan Soekarno Terhadap Wayang Kulit, Mulai Tumbuh Selama Tinggal
Bersama Kakeknya. Ia Sering Kali Menonton Wayang Kulit Sampai Larut Malam.
Kesenangannya Menonton Wayang Membuatnya Terkesan Dengan Tokoh Bima
Dibandingkan Dengan Tokoh Lain.
Tokoh Bima Juga Memiliki Pengaruh
Yang Besar Dalam Sikap Dan Pandangan Politiknya Kelak. Sikap Nonkooperasi
Terhadap Musuh-Musuhnya, Kaum Imperialis Maupun Kaum Kapitalis, Serta
Kesediaannya Dalam Waktu Bersamaan Berkompromi Dengan Sesama Rekan
Perjuangannya Meskipun Berpeda Pandangan Praktis Dapat Dikatakan Berasal Dari
Bima.
Di Tulung Agung, Ia Pertama Kali
Masuk Sekolah. Tetapi Ia Kurang Mempergunakan Kesempatan Sebaik Mungkin Untuk
Belajar. Hal Ini Disebabkan Ia Lebih Sering Melamun Tentang Kisah Perang
Bharata Yudha. Namun, Sisi Keingintahuan Yang Besar Dan Minatnya Terhadap
Pengetahuan Sudah Mulai Tumbuh Pada Saat Ini. Berkat Sifat Keingintahuan Yang
Dimiliki Olehnya, Soekarno Memiliki Wawasan Yang Lebih Luas Daripada
Teman-Teman Sebayanya.
Tidak Lama Kemudian, Setelah Kedua
Orang Tuanya Pindah Ke Sidoarjo Dan Mendapat Jabatan Sebagai Kepala Eerste
Klasse School Di Mojokerto. Di Sini, Kepandaiannya Mulai Terlihat Dengan
Jelas. Mungkin Ini Disebabkan Oleh Profesi Ayahnya Yang Juga Seorang Guru
Sehingga Dapat Mengawasi Kegiatan Belajar Mengajar Anaknya Secara Langsung.
Kemudian, Raden Sukemi Memasukkan Soekarno Ke Europeesche Lagere School
(E.L.S). Sekolah Tersebut Didirikan Guna Memenuhi Kebutuhan Anak-Anak Pekerja
Di Pabrik Gula.
Selama
Bersekolah Di Sini. Soekarno Merasakan Adanya Diskriminasi Yang Diberlakukan
Kepada Kaumnya. Hanya Bumiputera Tertentu Yang Mendapatkan Kesempatan Untuk
Mendapatkan Hak Istimewa Itu. Mereka Yang Bukan Anak Pejabat Hanya Bisa Masuk
Ketika Ada Izin Khusus Dari Residen Dan Memenuhi Syarat-Syarat Tertentu.
Sebelum Ia Menginjakkan Kaki Di Tempat Tersebut, Pada Tahun 1913, Soekarno
Harus Mengorbankan Waktunya Untuk Memperdalam Bahasa Belanda Pada Juffrow M.P
De La Riviera, Guru Bahasa Belanda Di ELS. Selama Bersekolah Di ELS Soekarno
Juga Mengalami Cinta Pertama Kepada Seorang Gadis Belanda Yang Bernama,
Rikameelhuysen. Tetapi, Hubungan Mereka Berdua Ditentang Oleh Ayah Sang Gadis
Karena Melihat Kedudukan Soekarno Yang Hanya Merupakan Pribumi. Meskipun,
Akhirnya Hubungan Itu Putus Dan Soekarno Dihina. Ia Tidak Marah Karena
Menganggap Hal Itu Sudah Biasa.[1]
Pribadi Soekarno, Selain Banyak
Mendapatkan Pendidikan Di ELS. Ia Juga Mendapatkan Pendidikan Dari Ayahnya
Dengan Keras, Penuh Disiplin, Tetapi Di Sisi Lain Mengajarkan Untuk Mencintai
Makhluk Tak Berdaya. Sedangkan Dari Ibunya, Idayu, Ia Mendapatkan Pengaruh
Mistik Dari Pemikiran Hindu Dan Sifat Yang Lemah Lembut Serta Kasih Sayang.
Dari Pembantunya Sarinah, Sebagaimana Diungkapkan Oleh Soekarno Sendiri, Ia
Memperoleh Pengaruh Kemanusiaan Dan Sikap Emansipasif. Ia Amat Terkesan Dan
Mengagumi Sikap Perempuan Tersebut. Meskipun Ia Hanya Seorang Pembantu, Di Mata
Soekarno Ia Adalah Perempuan Bijaksana Dan Berbudi Luhur.
Setelah
Menyelesaikan ELS Di Mojokerto, Pada Tahun 1915, Sukarno Ingin Melanjutkan
Pelajarannya Di Hogere Burger School (HBS). Agar Soekarno Diterima Sebagai
Siswa HBS, Ayahnya Menggunakan Pengaruh Kawannya Untuk Memasukkan Ke Sekolah
Tertinggi Yang Ada Di Jawa Timur Tersebut. Melalui Jasa Baik, H.O.S
Tjokrominoto, Soekarno Akhirnya Diterima Di Sana. Bahkan Tokoh Gerakan Massa
Nasionalis Islam Itu Memberikan Pondokan Di Kediamannya, Walaupun Ia Tidak
Mendapatkan Kamar Yang Baik. Ia Menempati Sebuah Kamar Yang Gelap Tanpa Jendela
Dan Daun Pintu. Sebagai Penerangan Lampu Pijar Yang Menyala Sepanjang Hari.
Tetapi Ia Menerima Kenyataan Tersebut Tanpa Menggerutu. Karena Memang Tidak Ada
Kamar Lagi Dan Hanya Itulah Satu-Satunya Kamar Yang Belum Terisi Dan Soekarno
Menjadi Penghuninya. Tetapi Yang Penting Bagi Ayahnya Adalah Anaknya Dapat
Tinggal Satu Atap Dengan “Raja Jawa” Yang Tak Bermahkota.[2]
2.2. Kepemimpinan Ir.
Soekarno
Soekarno memulai karirnya sebagai
pemimpin organisasi pada usia 26 tahun, tepatnya pada tanggal 14 Juli 1927. Pada
saat itu beliau memimpin sebuah partai politik yaitu Partai Nasional Indonesia
(PNI) yang mempunyai arah perjuangan kemerdekaan bagi Indonesia. Hal ini mengakibatkan para pimpinan PNI
termasuk Soekarno ditangkap dan diadili oleh pemerintahan kolonial Belanda.
Tetapi pada saat di dalam proses pengadilan Soekarno malah menyampaikan
pandangan politiknya mengenai gugatannya terhadap pemerintahan yang terkenal
dengan Indonesia menggugat.
Sikap Soekarno sebagai pemimpin
bangsa pada saat itu sangat menekankan pentingnya persatuan dalam nasionalisme,
kemandirian sebagai suatu bangsa dan anti penjajahan. Hal ini tercermin di dalam
pidato-pidato beliau dalam menggelorakan semangat revolusi secara besar-besaran
untuk negeri lepas dari belenggu imperialisme. Akhirnya, Soekarno berhasil
menggeloraan semangat revolusi dan mengajak berdiri di ataskaki sendiribagi
bangsanya,walaupun belum sempat berhasil membawa rakyatnya dalamkehidupan yang
sejahtera. Konsep “berdiri di atas kaki sendiri” memang belum sampai
ketujuannya, tetapi setidaknya berhasil memberikan kebanggan pada eksistensi
bangsa. Daripada berdiri di atas hutang luar negeri yang terbukti menghadirkan
ketergantungan dan ketidakberdayaan (neokolisme). Sikap tersebut mengakibatkan
Belanda membubarkan organisasi PNI sehingga Soekarno dan teman seperjuangannya
bergabung dengan Partindo pada bulan Juni tahun 1930. Setelah melalui
perjuangan yang panjang bahkan beliau pernah dipenjara kembali oleh Belanda
namun tidak menyurutkan langkah perjuangannya. Pada akhirnya, pada tanggal 17
Agustus 1945 Soekarno sang proklamator bersama dengan Muhammad Hatta berhasil
memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia menandai berdirinya negara
yang berdaulat. Sebelumnya, ia juga berhasil merumuskan Pancasila yang
kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia
berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan ia berusaha menghimpun bangsa-bangsa
di Asia, Afrika dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika (KAA) di
Bandung pada tahun 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Setelah pemerintahan berjalan di tangan bangsa Indonesia, Soekarno memimpin
pemerintahan dan mengalami berbagai fase dalam pemerintahannya.[3]
1. Fase
Pertama
Pemerintahan Presiden Soekarno
(1945-1959) diwarnai semangat revolusioner, serta dipenuhi kemelut politik dan
keamanan. Belum genap setahun menganut sistem presidensial sebagaimana yang
diamanatkan UUD 1945, pemerintahan Soekarno tergelincir ke sistem semi
parlementer. Pemerintahan parlementer pertama dan kedua dipimpin oleh Perdana
Menteri Sutan Sjahrir. Pemerintahan Sjahrir dilanjutkan oleh PM Muhammad Hatta
yang merangkap Wakil Presiden. Kepemimpinan Soekarno terus menerus berada di bawah
tekanan militer Belanda yang ingin mengembalikan penjajahannya,
pemberontakan-pemberontakan bersenjata dan persaingan di antara partai-partai
politik. Sementara pemerintahan parlementer jatuh-bangun. Perekonomian
terbengkalai lantaran berlarut-larutnya kemelut politik. Ironisnya, meskipun
menerima sistem parlementer, Soekarno membiarkan pemerintahan berjalan tanpa
parlemen yang dihasilkan oleh pemilihan umum. Semua anggota DPR (DPRGR) dan MPR
(MPRS) diangkat oleh presiden dari partai-partai politik yang dibentuk
berdasarkan Maklumat Wakil Presiden, tahun 1945. Demi kebutuhan membentuk Badan
Konstituante untuk menyusun konstitusi bar menggantikan UUD 1945, Soekarno
menyetujui penyelenggaraan Pemilu tahun 1955,
pemilu pertama dan satu-satunya Pemilu selama pemerintahan pada saat itu.
Pemilu tersebut menghasilkan empat besar partai pemenang yakni PNI,
Masjumi, NU dan PKI. Usai pemilu, Badan Konstituante yang disusun berdasarkan
hasil pemilu, mulai bersidang untuk menyusun UUD baru. Namun, sidang-sidang
secara terus menerus selama lima tahun gagal mencapai kesepakatan untuk
menetapkan sebuah UUD yang baru. Menyadari bahwa Negara berada di ambang
perpecahan, Soekarno dengan dukungan Angkatan Darat, mengumumkan dekrit 5 Juli
1959 yang isinya “membubarkan Badan Konstituante dan kembali ke UUD 1945”.[4]
Sejak 1959-1966, Bung Karno memerintahkan dengan dekrit, membatalkan pemilu dan
mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup. Pemerintahan parlementer yang
berpegang pada UUD Sementara juga jatuh bangun oleh mosi tidak percaya yang
pada akhirnya mengakibatkan kondisi ekonomi menjadi kacau.
2. Fase
kedua
Pemerintahan presiden Soekarno pada
fase yang kedua (1959-1967) menerapkan demokrasi terpimpin. Semua anggota DPRGR
dan MPRS diangkat untuk mendukung program pemerintahannya yang lebih focus pada
bidang politik. Bung Karno berusaha keras menggiring partai-partai politik ke
dalam ideologisasi NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis). Tiga pilar utama
partai politik yang mewakili NASAKOM adalah PNI, NU dan PKI. Bung Karno menggelorakan
Manifesto Politik USDEK. Dia menggalang dukungan dari semua kekuatan NASAKOM.
Namun, di tengah tingginya persaingan politik Nasakom itu, pada tahun 1963,
bangsa ini berhasil membebaskan Irian Barat dari cengkraman Belanda. Tahun
1964-1965, Soekarno kembali menggelorakan semangat revolusioner bangsanya
kedalam peperangan (konfrontasi) melawan Federasi Malaysia yang didukung negara
Inggris. Sementara, dalam kondisi itu, tersiar kabar tentang sakitnya Soekarno.
Situasi semakin runyam tatkala PKI melancarkan Gerakan 30 September 1965.
Tragedi pembunuhan tujuh jenderal Angkatan Darat tersebut menimbulkan situasi
di seluruh negeri dan meyebabkan kondisi politik dan keamanan hampir tak
terkendali. Menyadari kondisi tersebut, presiden Soekarno mengeluarkan Surat
Perintah 11 Maret 1966 kepada Jenderal Soeharto. Ia mengangkat Jenderal
Soeharto selaku Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (kopkamtib) yang
bertugas mengembalikan keamanan dan ketertiban. Langkah penertiban pertama yang
dilakukan Soeharto, sejalan dengan tuntunan rakyat ketika itu adalah
membubarkan PKI. Soekarno, setelah tragedi berdarah tersebut, dimintai
pertanggung jawaban di dalam sidang istimewa MPRS tahun 1967. Pidato
pertanggungjawabannya ditolak. Kemudian Soeharto diangkat selaku Pejabat
Presiden dan dikukuhkan oleh MPRS menjadi Presiden RI yang kedua, Maret 1968.[5]
2.3. Gaya atau Tipe Kepemimpinan
Ir. Sekarno
Berbicara tentang proklamasi
kemerdekaan, maka secara otomatis kita akan teringat dengan sosok figur Bung
Karno sang proklamator bangsa. Mengilustrasikan sosok Bung Karno, tentu tak
sesederhana dan semudah yang kita pikirkan. Namun, tidak sulit bagi mereka yang
cinta dan mengaguminya, di samping beliau seorang presiden, beliau juga tokoh
dan guru bangsa Indonesia. Beliau adalah seorang pemimpin yang paling disegani
dan kharismatik pada masanya. Suaranya yang lantang dan tegas ketika berpidato,
membuat jiwa rakyat Indonesia berkobar untuk berjuang demi kemerdekaan, gaya
bicaranya yang senantiasa menyihir setiap orang yang mendengarkannya. Cara
berpakaianya yang modis menjadi ciri khas penampilan Bung Karno sebagai
pemimpin pada saat itu.
Bung
karno adalah sosok pemimpin pemberani dan rela memberikan segalanya bagi bangsa
Indonesia. Tak berlebihan jika kita katakan Bung Karno adalah pemimpin besar
bangsa, tokoh pemersatu rakyat yang terdiri dari berbagai suku, budaya, agama,
yang tinggal di daratan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Menyatukan rakyat
Indonesia adalah misi, mimpi dan cita-cita terbesar Soekarno. Tentunya dengan
ideologi Pancasila dan “Bhineka Tunggal Ika” sebagai pondasinya.
Bung Karno adalah pemimpin yang
jujur, kredibel dalam mengemban amanah yang diberikan rakyatnya. Kecerdasan dan
kejeniusan beliau tidak diragukan lagi oleh bangsa Indonesia, bahkan beliau
tidak hanya dikenal dalam negeri melainkan sampai ke luar negeri. Pemimpin yang
semangat memperjuangkan konsep ke-Indonesiaan atau kebangsaannya ini, juga
disegani oleh kalangan pemimpin Asia, Afrika dan Amerika. Bahkan beliau pernah
dinobatkan salah satu pemimpin paling berpengaruh di dunia. Bung Karno,
penyambung lidah rakyat Indonesia, yang tegas dan pemberani memperjuangkan
bangsa demi harumnya nama tumpah darah Indonesia.
Revolusi Indonesia dan Bung Karno
adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, karena beliau adalah orang
terdepan yang menjadi sumber inspirasi kemerdekaan bangsa Indonesia, bahkan
juga bangsa-bangsa. Terutama ketika sedang berjuang habis-habisan melawan
imperialisme dan kolonialisme pada saat itu.
Gaya kedua yang diterapkannya jelas
menunjukkan bahwa soekarno merupakan tipe pemimpin yang demokratis dengan
mengedepankan semangat persatuan di atas kepentingan golongan, kelompok, ras,
suku dan agama tertentu. Akan tetapi, ada juga yang menilainya sebagai pemimpin
yang bertipe otoriter karena terkesan memaksakan kebijakan pemerintahanya
kepada lembaga legislative pada saat itu. Bahkan idealismenya terlihat sedikit
otoriter karena memaksakan keputusannya dalam mengatasi krisis dengan dekrit
presiden dan mengangkat dirinya menjadi presiden seumur hidup. Sebagai seorang
pemimpin sejati Soekarno mampu membawa arah perjuangan tetap konsisten meskipun
banyaknya rintangan yang dihadapinya. Dapat dijadikan contoh ketika beliau berkali-kali dipenjara oleh pemerintahan
kolonial. Beliau tetap tegar bahkan semakin lantang dalam menentang penjajahan
sampai memperoleh kemerdekaannya. Dalam hal sebagai inspirator atau seorang
idealis, Soekarno dapat menunjukkan prestasinya melalui rumusan Pacasila yang
menjadi dasar negara hingga sekarang di samping pemikiran-pemikiran yang
lainnya. Sebagai pemimpin yang idealis, Soekarno tidak mudah terpengaruh dengan
keadaan bangsa ketika dihadapkan pada situasi yang sedang gawat. Beliau tetap
berada di atas prinsipnya sendiri dan menghidari campur tangan asing. Idealis
seperti ini tercermin dengan seringnya pergantian sistem pemerintahan demi
mengatasi masalah di dalam keadaan yang berbeda-beda. Pada masa perjuangan
menegakkan kedaulatan bangsa, Soekarno layak disebut sebagai simbol perjuangan
karena pada saat itu beliau mampu tampil sebagai diplomat dan orator yang mampu
mengobarkan semangat perjuangan rakyat. Keberanian beliau terlihat ketika
menyuarakan secara berapi-api tentang revolusi nasional, anti neokolonialisme
dan imperialisme. Dan juga kepercayaannya terhadap kekuatan massa serta kekuatan
rakyat. Beliau adalah seorang pemimpin yang rendah hati di samping sebagai
seorang pemberani. Sifat ini dapat dilihat dari dalam karyanya ‘Menggali Api
Pancasila’. Beliau berkata, “aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar
karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat”.
Maka pantas apabila beliau dijadikan simbol perjuangan rakyat karena ketulusan
demi dan untuk rakyatnya.[6]
2.4. Pemikiran Ir.
Soekarno
Pada tanggal 17 Mei 1956 Presiden
Soekarno mendapat kehormatan untuk menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika
Serikat dalam rangka kunjungan resminya ke negeri tersebut. Sebagaimana
dilaporkan dalam halaman pertama New York Times pada hari berikutnya. Dalam
pidato itu dengan gigih Soekarno menyerang Kolonialisme, “Perjuangan dan
pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu Kolonialisme,”
Kata Bung Karno. Lalu beliau melanjutkan “Telah berlangsung dari generasi ke
generasi. Tetapi, perjuangan itu masih belum selesai. Bagaimana perjuangan itu
bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada
di bawah dominasi Kolonial dan masih belum bisa menikmati kemerdekaan”.
Menarik untuk disimak bahwa meskipun pidato itu dengan keras menentang Kolonialisme dan Imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara Barat, beliau mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS). Namun, lebih menarik lagi karena pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno. Berikut ini dapat kita telaah bagaimana pemikiran-pemikiran Ir. Soekarno[7] :
Menarik untuk disimak bahwa meskipun pidato itu dengan keras menentang Kolonialisme dan Imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara Barat, beliau mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS). Namun, lebih menarik lagi karena pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno. Berikut ini dapat kita telaah bagaimana pemikiran-pemikiran Ir. Soekarno[7] :
1. Antikolonialisme
dan anti Imperialisme
Salah satu tulisan pokok yang
biasanya diacu untuk menunjukkan sikap dan pemikiran Soekarno dalam menentang
Kolonialisme adalah tulisannya yang terkenal dengan judul “Nasionalisme, Islam
dan Marxisme”. Dalam tulisan yang aslinya dimuat secara berseri di Jurnal
Indonesia Muda tahun 1926 itu, sikap anti Kolonialisme tersebut tampak jelas
sekali. Menurut Soekarno, yang pertama-tama perlu disadari adalah bahwa alasan
utama kenapa para Kolonialis Eropa datang ke Asia bukanlah untuk menjalankan
suatu kewajiban luhur tertentu. Mereka datang terutama “untuk mengisi perutnya
yang keroncong belaka.” Artinya, motivasi pokok dari Kolonialisme itu adalah ekonomi.
2. Anti-Elitisme
Selain Kolonialisme dan
Imperialisme, di mata Soekarno ada tantangan besar lain yang tak kalah
pentingnya untuk dilawan, yakni Elitisme. Elitisme mendorong sekelompok orang
merasa diri memiliki status sosial-politik yang lebih tinggi daripada orang
lain terutama rakyat kebanyakan. Elitisme ini tak kalah bahayanya. Menurut
Soekarno, karena melalui sistem feodal yang ada ia bisa dipraktikkan oleh
tokoh-tokoh pribumi terhadap rakyat negeri sendiri. Kalau dibiarkan, sikap ini
tidak hanya bisa memecah belah masyarakat terjajah, tetapi juga memungkinkan
Lestarinya Sistem Kolonial Maupun Sikap-Sikap Imperialis Yang Sedang Mau
Dilawan Itu. Lebih Dari Itu, Elitisme Bisa Menjadi Penghambat Sikap-Sikap
Demokratis Dalam Masyarakat Modern Yang Dicita-Citakan Bagi Indonesia Merdeka.
Soekarno Melihat Bahwa Kecenderungan
Elitisme Itu Tercermin Kuat Dalam Struktur Bahasa Jawa Yang Dengan Pola “Kromo”
Dan “Ngoko”-Nya Mendukung Adanya Stratifikasi Sosial Dalam Masyarakat. Untuk
Menunjukkan Ketidaksetujuannya Atas Stratifikasi Demikian Itu, Dalam Rapat
Tahunan Jong Java Di Surabaya Pada Bulan Februari 1921, Soekarno Berpidato
Dalam Bahasa Jawa Ngoko, Dengan Akibat Bahwa Ia Menimbulkan Keributan Dan
Ditegur Oleh Ketua Panitia. Upaya Soekarno Yang Jauh Lebih Besar Dalam Rangka
Menentang Elitisme Dan Meninggikan Harkat Rakyat Kecil Di Dalam Proses
Perjuangan Kemerdekaan Tentu Saja Adalah Pencetusan Gagasan Marhaenisme. Dalam
Kaitan Dengan Usaha Mengatasi Elitisme Itu Ditegaskan Bahwa Marhaneisme
“Menolak Tiap Tindak Borjuisme” Yang, Bagi Soekarno, Merupakan Sumber Dari
Kepincangan Yang Ada Dalam Masyarakat. Ia Berpandangan Bahwa Orang Tidak
Seharusnya Berpandangan Rendah Terhadap Rakyat. Sebagaimana Dikatakan Oleh Ruth
Mcvey, Bagi Soekarno Rakyat Merupakan “Padanan Mesianik Dari Proletariat Dalam
Pemikiran Marx,” Dalam Arti Bahwa Mereka Ini Merupakan “Kelompok Yang Sekarang
Ini Lemah Dan Terampas Hak-Haknya, Tetapi Yang Nantinya, Ketika Digerakkan
Dalam Gelora Revolusi, Akan Mampu Mengubah Dunia.”
Langkah-Langkah Apa Yang Diusulkan
Oleh Soekarno Untuk Melawan Kolonialisme, Imperialisme Serta Elitisme Itu?
Pertama-Tama Ia Mengusulkan Ditempuhnya Jalan Nonkooperasi. Bahkan Sejak Tahun
1923 Soekarno Sudah Mulai Mengambil Langkah Nonkooperasi Itu, Yakni Ketika Ia
Sama Sekali Menolak Kerja Sama Dengan Pemerintah Kolonial. Dalam Kaitan Dengan
Ini Ia Kembali Mengingatkan Bahwa Motivasi Utama Kolonialisme Oleh Orang Eropa
Adalah Motivasi Ekonomi. Oleh Karena Itu Mereka Tak Akan Dengan Sukarela
Melepaskan Koloninya.
Langkah
Lain Yang Menurut Soekarno Perlu Segera Diambil Dalam Menentang Kolonialisme
Dan Imperialisme Itu Adalah Menggalang Persatuan Di Antara Para Aktivis
Pergerakan. Dalam Serial Tulisan Nasionalisme, Islam Dan Marxisme Ia Menyatakan
Bahwa Sebagai Bagian Dari Upaya Melawan Penjajahan Itu Tiga Kelompok Utama
Dalam Perjuangan Kemerdekaan Di Indonesia-Yakni Para Pejuang Nasionalis, Islam
Dan Marxis-Hendaknya Bersatu. Dalam Persatuan Itu Nanti Mereka Akan Mampu
Bekerja Sama Demi Terciptanya Kemerdekaan Indonesia. “Bahtera Yang Akan Membawa
Kita Kepada Indonesia Merdeka,” Ingat Soekarno, “Adalah Bahtera Persatuan.”
2.5. Masa Kecil M.
Natsir dan Perjuangannya
Muhammad Natsir lahir tanggal 16
Juli 1908 di Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ia dibesarkan di keluarga agamis,
ayahnya ulama terkenal di Indonesia. Lingkungan seperti ini sangat berpengaruh
pada pertumbuhan sang putra. Ia belajar di sekolah agama dan negeri. Mendapat
Ijazah Perguruan Tinggi dari Fakultas Tarbiyah Bandung. Mendapat Gelar Doctor
Honoris Causa dari Universitas Islam Indonesia (Dulu Sekolah Tinggi
Islam), Yogyakarta. Pada masa pendudukan Belanda aktif dalam dunia pendidikan
di Bandung. Menjadi pimpinan pada Direktorat Pendidikan di ibukota Indonesia,
Jakarta.
Dari tahun 1928 sampai 1932, ia menjadi
ketua Jong Islamieten Bond (JIB) Bandung. Ia juga menjadi pengajar setelah
memperoleh pelatihan guru selama dua tahun di perguruan tinggi. Ia yang telah
mendapatkan pendidikan Islam di Sumatera Barat sebelumnya juga memperdalam ilmu
agamanya di Bandung, termasuk dalam bidang tafsir Al-Qur’an, hukum Islam dan
dialektika. Kemudian pada tahun 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hassan, yang
kelak menjadi tokoh organisasi Islam Persatuan Islam. Pada 20 Oktober 1934,
Natsir juga terlibat dalam organisasi-organisasi Islam, seperti Majelis Ta’sisi
Rabitah Alam Islami dan Majelis Ala al-Alami lil Masjid yang berpusat di
Mekkah, Pusat Studi Islam Oxford (Oxford
Centre for Islamic Studies) di Inggris dan Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) di Karachi,
Pakistan. Di era Orde Baru, ia membentuk Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia.
Selama menjalani pendidikannya di
AMS, Natsir telah terlibat dalam dunia jurnalistik. Pada tahun 1929, dua
artikel yang ditulisnya dimuat dalam majalah Algemeen Indische Dagblad, yaitu berjudul Qur’an en Evangelie (Al-Quran dan Injil) dan Muhammad als Profeet (Muhammad sebagai Nabi). Kemudian, ia bersama
tokoh Islam lainnya mendirikan surat kabar Pembela Islam yang terbit dari tahun
1929 sampai 1935. Karya terawalnya, pada umumnya berbahasa Belanda dan
Indonesia, yang banyak membahas tentang pemikiran Islam, budaya, hubungan
antara Islam dan politik serta peran perempuan dalam Islam. Karya-karya
selanjutnya banyak yang ditulis dalam bahasa Inggris, dan lebih terfokus pada
politik, pemberitaan tentang Islam serta hubungan antara umat Kristiani dengan
Muslim. Ajip Rosidi dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah menyebutkan bahwa
tulisan-tulisan Natsir telah menjadi catatan sejarah yang dapat menjadi panduan
bagi umat Islam.
Tahun 1945, Muhammad Hatta, Wakil
Presiden Republik Indonesia, setelah kemerdekaan, memintanya membantu melawan
penjajah. Kemudian menjadi anggota MPRS. Tahun 1946, mendirikan partai MASYUMI
(Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Ia juga menjabat sebagai Menteri Penerangan
selama empat tahun. Ketika Belanda hendak menjadikan Indonesia negara serikat. Muhammad
Natsir menentangnya dan mengajukan pembentukan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Usulan ini disetujui 90% anggota Masyumi. Tahun 1950, ia diminta
untuk membentuk kabinet sekaligus menjadi Perdana Menterinya. Tapi, belum genap
setahun, ia dipecat namun ia tetap memimpin Masyumi dan menjadi anggota
parlemen hingga 1957.
Muhammad Natsir adalah tokoh
kontemporer dunia Islam, mujahid yang menerjuni pertarungan sengit di setiap
jenjang dan politikus piawai. Memegang jabatan-jabatan penting di negaranya,
mencurahkan segenap kemampuan untuk menjadikan Islam sebagai sistem
pemerintahan Indonesia dan melawan orang-orang yang menghalangi tegaknya Islam
dari kalangan penyeri sekulerisme, komunisme atau para kaki tangan barat maupun
timur. Pidato berjudul “Pilihlah Satu
dari Dua Jalan : Islam atau Atheis” yang ia sampaikan di parlemen Indonesia
dan dipublikasikan majalah Al Muslimun mempunyai pengaruh besar pada anggota
parlemen dan masyarakat muslim Indonesia. Saat menerjuni bidang politik, Muhammad
Natsir merupakan politikus piawai, saat menerjuni medan perang, ia adalah
panglima yang gagah berani dan saat berdebat dengan musuh, ia adalah pakar ilmu
dan dakwah.
Muhammad Natsir menentang serangan
membabi buta yang dilancarkan misionaris Kristen, antek-antek penjajah dan para
kaki tangan barat maupun timur dengan menerbitkan majalah Pembela Islam. Ia
juga menyerukan Islam sebagai titik tolak kemerdekaan dan kedaulatan, pada saat
Soekarno dan antek-anteknya menyerukan nasionalisme Indonesia sebagai titik
tolak kemerdekaan. Saat itu Soekarno bersekutu dengan komunis yang terhimpun
dalam Partai Komunis Indonesia untuk melawan Dr. Muhammad Natsir dan Partai
Masyumi. Pertarungan ini berlangsung hingga tahun 1961, Soekarno membubarkan
Partai Masyumi dan menahan para pemimpinnya terutama Muhammad Natsir.
Perlawanan kaum muslimin di Indonesia tidak padam, terus berlanjut hingga
terjadi revolusi militer, yang berhasil menggulingkan Soekarno, tahun 1965.
2.6. Kepedulian M.
Natsir Demi Kepentingan Rakyat.
Dr.
Muhammad Natsir sangat serius memperhatikan masalah Palestina. Ia menemui tokoh,
pemimpin serta da’i di negara-negara Arab dan Islam untuk membangkitkan
semangat membela Palestina setelah kekalahan di tahun 1967. Siang dan malam Muhammad
Natsir berkunjung ke wilayah di Indonesia untuk urusan dakwah, sesuai dengan
program yang telah direncanakan, manhaj yang telah dikaji sebelumnya dan
disertai rekan-rekan yang memahami kewajibannya, menyadari tanggung jawabnya
serta mencurahkan segenap kemampuannya.
Setelah Soekarno tumbang pada
Oktober 1965, Kristenisasi semakin meningkat. Para misionaris melipatgandakan
upayanya, membangun gereja-gereja, menyebarkan Injil, mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan Kristen dan membuka sekolah-sekolah misionaris.
Mereka berharap tahun 2000 Indonesia menjadi Kristen. Meskipun para misionaris
mendapatkan banyak kemudahan dari antek-anteknya di dalam negeri, suntikan dana
sangat besar dan peralatan memadai, tapi upaya Dr. Muhammad Natsir dan rekan-rekan
menjadi konspirasi bagi mereka. Sebab keikhlasan dalam beramal, ketulusan dan
berusaha sesuai syari’at menjadi pembuka kebaikan yang terus meluas di penjuru
Indonesia. Rakyat Indonesia mulai mendekati da’i untuk mengenal agama yang
benar dan mengetahui peran manusia dalam kehidupan. Kesadaran menjadi Islam pun
merebak di kalangan mahasiswa dan pelajar, juga menyentuh para intelektual.
Yayasan dan organisasi pemuda yang membawa misi Islam, menyebarkan dakwah dan
membela agama pun didirikan. Dr. Muhammad Natsir punya peran besar dalam mengarahkan
lembaga-lembaga pemuda agar bekerja berdasarkan hikmah, kejelasan pandangan dan
pemahaman memadai. Itu semua agar lembaga-lembaga pemuda dapat melaksanakan
tanggung jawab sesuai dengan Kitab Allah, Sunnah Rasul-Nya dan konsesus para
ulama salaf yang menjadikan Islam sebagai Undang-undang, syariat, akidah, ilmu,
amal, jihad, pasukan, fikrah dan ibadah yang tulus kepada Allah SWT yang Maha
Esa serta Penguasa langit dan bumi.
Dalam tindakannya, Pak Natsir sangat
terlihat sebagai seorang pemimpin yang mengedepankan kepentingan rakyat.
Sebagai seorang ketua umum partai Masyumi, beliau memberikan arahan dan
pandangannya bagi partai ini untuk dapat berkiprah di lapangan yang strategis, yaitu:[8]
1. Lapangan
parlementer/perwakilan (legislatif)
2. Lapangan
pemerintahan (eksekutif)
3. Lapangan
pembinaan umat
Sebuah gagasan yang begitu mulia.
Jika dilihat kondisi saat ini, maka begitu sangat kontras dengan masa-masa awal
kemerdekaan dulu. Sebagian calon-calon wakil rakyat, dengan sistem yang ada
yaitu demokrasi (para calon wakil rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan
dirinya dan memperebutkan kursi), sampai pada akhirnya harus mengalami stres,
gila bahkan bunuh diri karena tidak sanggup menanggung kekalahannya. Jangankan
gagasan membina umat sebagaimana yang disampaikan oleh Pak Natsir di atas,
berebut untuk masuk di legislatif atau eksekutif pun didasari dengan ambisi
kekuasaan. Tetapi tidak demikian halnya dengan Pak Natsir dan Masyumi kala itu yang
dipimpinnya, ia berjuang adalah lillah. Dalam pidatonya tanggal 7
November 1956 pada acara peringatan lahirnya Masyumi yang ke-11 Pak Natsir
mengungkapkan:
“Adapun yang mengenai lapangan pemerintahan,
sebagaimana partai-partai politik yang lain, Masyumi juga berjuang untuk
mendapat kedudukan dalam kabinet dan aparat pemerintahan lainnya. Perjuangan
itu bukanlah untuk merebut kedudukanan sich
(semata-mata), akan tetapi justru untuk turut melaksanakan dan mengambil
tanggungjawab menjalankan eksekutif negara. Selain dengan duduknya dalam
pemerintahan ia dapat melaksanakan cita-citanya di dalam batas-batas seperti
yang diterangkan tadi, maka salah satu pedoman yang penting yang senantiasa
dipegang olehnya dalam tiap-tiap kesempatan turut memegang pemerintahan ialah
mengusahakan kepentingan umum dan rakyat secara keseluruhan dengan tidak
memandang tingkatan dan golongan. Semboyan yang dipakainya bukanlah ‘kami
berjuang untuk kami, tetapi kami berjuan untuk kita’, untuk keseluruhan rakyat
Indonesia”.[9]
Pak Natsir juga mengingatkan
terhadap nasihat Sjafruddin Prawiranegara yang ia sebut sebagai analisa
"Indonesia di Persimpangan Jalan". Pak Syaf (sapaan Sjafruddin
Prawiranegara) memperingatkan: “Apabila para pemimpin rakyat pada suatu saat
tidak sanggup lagi bekerja betul-betul untuk kepentingan rakyatnya, apabila
kedudukan atau kursi sudah menjadi tujuan dan bukan lagi menjadi alat maka yang
akan mengancam negara kita ialah bahwa demokrasi akan tenngelam dalam koalisi
dan kemudian koalisi akan dimakan oleh anarki dan anarki akan diatasi oleh
golongan-golongan yang bersenjata itu”.[10]
Masyumi dibawah kepemimpinan Pak
Natsir telah jauh-jauh hari mengajukan ide agar daerah-daerah di seluruh
wilayah Indonesia diberikan Otonomi Daerah. Hal ini diantaranya adalah agar kemauan
rakyat benar-benar dapat terpenuhi. Bagi Pak Natsir, negeri yang telah berhasil
merdeka ini haruslah diisi dan dibangun. Diisi dengan pembangunan dan
dasar-dasar keadilan sehingga dapat memberikan kebahagiaan penghidupan untuk
seluruh rakyat. Tidak menimbulkan perasaan-perasaan tidak puas bagi
daerah-daerah tertentu karena kebutuhan mereka kurang terpenuhi, padahal mereka
mampu menghasilkan sumber penghasilan negara yang cukup tinggi.[11]
Menurut Pak Natsir dengan partainya,
bahwa perasaan-perasaan kurang puas itu akan dapat disalurkan apabila
daerah-daerah diberikan hak-hak yang lebih luas untuk mengatur rumah tangganya
sendiri dalam bentuk otonomi yang luas. Diberi alat-alat yang cukup dan dijamin
oleh undang-undang. Dalam hubungan inilah partai sejak dahulu selalu mendesak
agar segera dibuat UU Perimbangan Keuangan (financieele verhouding) antara
Pusat dan Daerah. Masyumi pada pokoknya dapat menyetujui supaya ditetapkan
jumlah prosentase tertentu dar hasil-hasil utama yang terdapat di daerah
masing-masing, sehingga daerah tidak hanya menggantungkan nasibnya kepada “belas
kasihan dan dari uang kerahiman” Pemerintah Pusat saja. Apabila UU
tersebut sudah terealisasikan maka Masyumi yakin bahwa perasaan tidak puas dari
daerah-daerah dapat segera diredakan, karena ini adalah persoalan yang sangat
mendesak.[12]
Mr. Muhammad Roem (biasa disapa Pak
Rum), pernah memberikan cerita ringan sarat makna tentang kepedulian dan
kedekatan Pak Natsir dengan masyarakat. Kata pak rum, ketika Pak Natsir masih
hidup rumahnya selalu dipenuhi tamu. Sehingga pak Rum pernah ditanya oleh
banyak orang, Pak Natsir itu dokter apa, kok pasiennya banyak sekali? Dengan
ringan pula Pak rum menjawab bahwa Pak Natsir itu dokter yang bisa menyembuhkan
jiwa orang. Bahkan kata KH. Hasan Basri, jika ada pasien yang meminta uang, Pak
Natsir selalu memberinya.[13]
Demikian pula kesederhanaan Pak Natsir yang tidak mungkin dapat disembunyikan.
Beliau adalah pemimpin dan negarawan kaliber dunia, tetapi sepeninggalnya tidak
mewariskan harta dan kekayaan yang cukup berarti. Tetapi justru beliau
meninggalkan kekayaan rohaniyah dan sumber ilmu dan teladan yang begitu banyak.
Berjilid-jilid tulisan telah beliau tinggalkan untuk dapat dipelajari,
dikritisi dan diteladani oleh generasi-generasi di belakangnya yang masih
memiliki semangat juang untuk tegaknya ajaran Islam dan kemakmuran rakyat
sebagaimana yang ia cita-citakan.
Patriotisme dan nasionalisme Pak
Natsir perlu dihayati lebih baik lagi. Bukan hanya andil Pak Natsir sangat besar
untuk menyelamatkan negara kesatuan Republik Indonesia dengan mosi integralnya
yang sangat terkenal, tapi juga wawasan nasionalismenya terbukti sangat jernih
dan mendalam. Puluhan tahun yang lalu beliau telah mewanti-wanti bahwa
nasionalisme yang baik adalah patriotisme yang tidak jatuh dalam xenophobisme.
Artinya tidak picik, eksklusif dan solipsis atau menganggap bangsa
sendiri paling baik dan benar. Nasionalisme Pak Natsir adalah dalam kontek
universalisme dan ini benar-benar terbukti di era globalisasi sekarang ini.[14]
2.7. Gaya atau Tipe Kepemimpinan
M. Natsir
Tidak terlalu berbeda jauh dengan
Ir. Soekarno, M. Natsir juga menggunakan gaya kharismatik dalam prakteknya. Memang ada
karakteristiknya yang khas yaitu daya tariknya yang sangat memikat sehingga
mampu memperoleh pengikut yang jumlahnya kadang-kadang sangat besar. Tegasnya
seorang pemimpin yang kharismatik adalah seseorang yang dikagumi oleh banyak
pengikut meskipun para pengikut tersebut tidak selalu dapat menjelaskan secara
konkret mengapa orang tersebut dikagumi. Hal ini dapat dilihat dari pesatnya
perkembangan organisasi yang dipimpinnya dan jumlah pengikut yang bisa dibilang
menembus angka yang fantastis. M. Natsir dengan ketegasan dan kewibawaan yang
ditonjolkan membuat ia menjadi salah satu pemimpin yang disegani dan sangat
keras terhadap penyelewengan sekecil apapun. Beliau selalu berusaha untuk
berdiri di garis terdepan dalam menentang ketidakadilan dan penegakkan Islam
dalam mencari ridho Allah.
Beliau juga menerapkan tipe
kepemimpinan demokratis yang menjunjung tinggi kepentingan bersama. Di mata
beliau, kepentingan rakyat dan kemaslahatan umat merupakan hal yang tidak bisa
ditawar lagi. Beliau selalu mengadakan musyawarah dalam menjalani kegiatan dan
sebuah program yang dirancang. Sebab beliau yakin bediri bersama akan jauh
lebih kuat daripada berdiri dengan satu kaki. Beliau juga termasuk pemimpin
yang jauh dari otoriter dan kediktatoran.
2.8. M. Natsir Dengan
Masyumi
Partai Masyumi didirikan pada
tanggal 7-8 November 1945 dan sekaligus berpusat di Jogjakarta sampai tanggal 1
Februari 1950. Kongres ini dihadiri oleh sekitar lima ratus utusan organisasi
sosial keagamaan yang mewakili hampir semua organisasi Islam yang ada dari masa
sebelum perang serta masa pendudukan Jepang. Kongres memutuskan untuk medirikan
majelis syuro pusat bagi umat Islam Indonesia yang dianggap sebagai
satu-satunya partai politik bagi umat Islam, yang secara resmi bernama Partai
Politik Islam Indonesia “MASYUMI”. Dengan Kongres Umat Islam Indonesia ini,
pembentukan Masyumi bukan merupakan keputusan beberapa tokoh saja, tapi
merupakan keputusan “seluruh umat Islam Indonesia”.
Segera setelah berdiri, Masyumi
tersebar merata di segenap penjuru tanah air Indonesia bahkan hampir setiap
kecamatan terdapat kepengurusan anak cabang. Sampai dengan tanggal 31 Desember
1950, secara resmi tercatat ada 237 Cabang (Tingkat Kabupaten), 1.080 Anak
Cabang (tingkat Kecamatan) dan 4.982 Ranting (tingkat Desa) dengan jumlah
anggota sekitar 10 juta orang.[15]
Hal itu dapat terjadi karena dukungan yang diberikan oleh organisasi-organisasi
yang menjadi pendukung Masyumi. Ada 8 unsur organisasi pendukung Masyumi yakni
NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS), Persatuan Umat Islam, Al-Irsyad,
Mai’iyatul Wasliyah, Al-Ittihadiyah dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).
Dengan demikian Masyumi berhasil menyatukan organisasi dan umat Islam Indonesia
dalam satu wadah perjuangan. Meski pada tahun 1952 NU keluar dari Masyumi.
Sejarah bangsa Indonesia mencatat
nama besar Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai partai Islam
terbesar yang pernah ada. Masyumi pada masanya sejajar dengan Partai Jama’atul
Islam di Pakistan dan Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Banyak yang lupa akan
hal ini, dan memang dalam pendidikan politik nasional kebesaran Masyumi seolah
tertutupi oleh arus besar lain, Nasionalisme dan Developmentalisme. Padahal
dalam masa keberadaannya, Masyumi sangat identik dengan gerakan politik Islam
yang memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam konteks kenegaraan.[16]
Selain mempersatukan umat Islam
Indonesia, alasan lain yang menjadi pertimbangan didirikannya Masyumi adalah
agar Islam memiliki peranan yang signifikan ditengah arus perubahan dan
persaingan di Indonesia saat itu. Tujuan didirikannya Masyumi, sebagaimana yang
terdapat dalam anggaran Dasar Masyumi tahun 1945, memiliki dua tujuan. Pertama,
menegakkan kedaulatan negara republik Indonesia dan agama Islam. Kedua,
melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan. Partai yang berdirinya
diprakarsai oleh M. Natsir ini menyebutkan di dalam Anggaran Dasarnya bahwa
tujuan partai adalah terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan
pribadi, masyarakat dan negara Republik Indonesia menuju keridhaan Ilahi.
Setelah Masyumi membubarkan diri
karena tekanan rezim Soekarno pada tahun 1960, maka pada tanggal 26 Februari
1967, atas undangan pengurus masjid Al-Munawarah, Kampung Bali, Tanah Abang,
Jakarta Pusat, para alim ulama dan zu'ama berkumpul untuk bermusyawarah,
membahas, meneliti dan menilai beberapa masalah, terutama yang berhubungan
dengan usaha pembangunan umat, juga tentang usaha mempertahankan aqidah di
dalam kesimpangsiuran kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Musyawarah
menyimpulkan dua hal sebagai berikut[17]
:
1. Menyatakan
rasa syukur atas hasil dan kemajuan yang telah dicapai hingga kini dalam
usaha-usaha dakwah yang secara terus menerus dilakukan oleh berbagai kalangan
umat, yakni para alim ulama dan para muballigh secara pribadi, serta atas
usaha-usaha yang telah dicapai dalam rangka organisasi dakwah.
2. Memandang
perlu (urgent) lebih ditingkatkan hasil dakwah hingga taraf yang lebih tinggi
sehingga tercipta suatu keselarasan antara banyaknya tenaga lahir yang
dikerahkan dan banyaknya tenaga batin yang dicurahkan dalam rangka dakwah
tersebut.
Untuk menindaklanjuti kesimpulan
pada butir kedua di atas, musyawarah para ulama dan zu'ama mengkonstatir
terdapatnya berbagai persoalan, antara lain: Mutu dakwah yang di dalamnya
tercakup persoalan penyempurnaan sistem perlengkapan, peralatan, peningkatan
teknik komunikasi, lebih-lebih lagi sangat dirasakan perlunya dalam usaha
menghadapi tantangan (konfrontasi) dari bermacam-macam usaha yang sekarang giat
dilancarkan oleh penganut agama-agama lain dan kepercayaan-kepercayaan (antara
lain faham anti Tuhan yang masih merayap di bawah tanah), Katolik, Protestan,
Hindu, Budha dan sebagainya terhadap masyarakat Islam. Planning dan integrasi yang di dalamnya tercakup
persoalan-persoalan yang diawali oleh penelitian (research) dan disusul oleh pengintegrasian segala unsur serta
badan-badan dakwah yang telah ada dalam masyarakat ke dalam suatu kerja sama
yang baik dan berencana.
Dalam menampung masalah-masalah
tersebut, yang mengandung cakupan yang cukup luas dan sifat yang cukup
kompleks, maka musyawarah alim ulama itu memandang perlu membentuk suatu wadah
yang kemudian dijelmakan dalam sebuah Yayasan yang diberi nama Dewan Da'wah
Islamiyah Indonesia disingkat Dewan Dakwah. Pengurus Pusat yayasan ini
berkedudukan di ibu kota negara, dan dimungkinkan memiliki Perwakilan di
tiap-tiap ibukota Daerah Tingkat I serta Pembantu Perwakilan di tiap-tiap
ibukota Daerah Tingkat II seluruh Indonesia. Pada kesempatan tersebut, Pak
Natsir mengatakan: "Politik dan
dakwah itu tidak terpisah. Kalau kita berdakwah, membaca Al-Qur'an dan hadits,
itu semuanya politik. Jadi kalau dulu kita berdakwah lewat jalur politik dan
sekarang kita berpolitik melalui jalur dakwah. Ya mengaji politik begitulah.
Saya merasa bahwa DDII itu tidak lebih rendah daripada politik. Politik tanpa
dakwah itu hancur. Lebih dari itu, bagi saya untuk diam itu tidak bisa".[18]
Muhammad Natsir meninggalkan karya
tulis, baik yang terkait dengan dakwah atau pemikiran. Sebagiannya telah
diterbitkan dalam bahasa Arab, misalnya: Fiqhud Da’wah dan Ikhtaru
Ahadas Sabilain (Pilih salah Satu dari Dua Jalan). Diantara karya-karyanya
tersebut adalah :
1. Shaum
(Puasa)
2. Al
Maratul Muslimah wa Huququha (Hak-hak Wanita Muslimah)
3. Al
Hadharah Al Islamiyah (Peradaban Islam)
4. Al
Bina’ Wastahl Anqadh (Membangun di Tengah Reruntuhan)
5. At
Tarkib At Thabaqi lil Mujtama’ (Struktur Sosial Masyarakat)
6. Ats
Tsaurah Al Indonesia (Revolusi Indonesia)
7. Qadhiyatu
Falisthin (Masalah Palestina)
8. Hal
Yumkinu Fashlud Din ‘Anis Siyasah? (Mungkinkah Agama dipisahkan dari Politik?)
9. Ishlamul
Islam Fil Silmi Al ‘Alami (Sumbangsih Islam pada Perdamaian Internasional)
10. Al
Mal Was Sulthan Wal Amanatun (Harta dan Kekuasaan adalah Amanah)
11. Ibdzarul
Budzur (Taburlah Benih)
12. Al
Islam Wan Nashraniyah Fi Indonesia (Islam dan Kristen di Indonesia)
13. Thuba
lil Ghuraba (Berbahagialah Orang-orang yang Terasing)
14. Al
Yadul Lati Lam Yataqabbalaha Ahad (Tangan yang Belum Dicium oleh Seorang pun)
15. Al
Iman Mashdarul Quwwah Azh Zhahirah Wal Bathinah (Iman Sumber Kekuatan Lahir
Batin)
16. Al
Khaufu Wal Isti’mar (Ketakutan dan Penjajahan)
17. Hina
La Yustajabud Du’a (Ketika Doa Tidak Dikabulkan)
18. Ad
Dinu Wal Akhlak (Agama dan Moral)
19. Ad
Da’watu Wal Inma (Dakwah dan Perkembangan)
20. Khuthbah
Idul Fithri
21. Ma’al
Ilam Nahwa Indunisia Al Mustaqbalah (Bersama Islam menuju Indonesia Masa Depan)
22. Tahta
Zhilalir Risalah (Di Bawah Naungan Risalah)
23. Zayyinud
Dunya bi A’malikum Wa Adhiul ‘Ashra bi Imanikum (Hiasi Dunia dengan Amal Kalian
dan Sinari Masa dengan Iman Kalian)
24. Ahyu
Ruhul Mitsaliyah Wat Tadhiyah Marratan Ukhra (Hidupkan Kembali Semangat
Keteladanan dan Pengorbanan)
25. Al
Islam Wa Hurriyatul Fikr (Islam dan Kebebasan Berfikir)
26. Dan
lain-lain
Kepada Saudaraku M. Natsir
Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu ......
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Ir. soekarno adalah seorang pemimpin
yang paling disegani dan kharismatik pada masanya. Suaranya yang lantang dan
tegas ketika berpidato, membuat jiwa rakyat Indonesia berkobar untuk berjuang
demi kemerdekaan, gaya bicaranya yang senantiasa menyihir setiap orang yang
mendengarkannya. Cara berpakaianya yang modis menjadi ciri khas penampilan Bung
Karno sebagai pemimpin pada saat itu.
Muhammad Natsir adalah tokoh
kontemporer dunia Islam, mujahid yang menerjuni pertarungan sengit di setiap
jenjang dan politikus piawai. Memegang jabatan-jabatan penting di negaranya,
mencurahkan segenap kemampuan untuk menjadikan Islam sebagai sistem
pemerintahan Indonesia dan melawan orang-orang yang menghalangi tegaknya Islam
dari kalangan penyeri sekulerisme, komunisme atau para kaki tangan barat maupun
timur. Pidato berjudul “Pilihlah Satu
dari Dua Jalan : Islam atau Atheis” yang ia sampaikan di parlemen Indonesia
dan dipublikasikan majalah Al Muslimun mempunyai pengaruh besar pada anggota
parlemen dan masyarakat muslim Indonesia.
3.2. Pesan dan Saran
Dalam kesempatan ini kami ingin
menyampaikan beberapa pesan dan saran untuk kami pribadi khususnya dan untuk
pembaca sekalian umumnya, diantaranya :
1. Jangan
menjadikan makalah ini sebagai satu-satunya bahan rujukan mengenai kepemimpinan
Ir. Soekarno dan M. Natsir, tetapi perbanyaklah khazanah bacaan untuk
memperluar wawasan keilmuan.
2. Pelajarilah
bagaimana karakter pemimpin-pemimpin yang sangat kharismatik dan berpengaruh
khususnya Ir. Soekarno dan M. Natsir sebagai salah satu contoh untuk menjadi
generasi penerus yang memiliki kepedulian terhadap nasib dan kondisi bangsa.
[17]http://www.republika.co.id. Diakses pada
tanggal 26 Mei 2014, pukul 21.40 WIB.
DAFTAR
PUSTAKA
Keraf, Gorys. 1982. Argumentasi dan Narasi Komposisi Lanjutan
III. Jakarta: Gramedia.
L.
Wallace, Walter. 1994. Metode Logika Ilmu
Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.
Mundiri.
2011. Logika. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Nur Al-Ibrahimi,
Muhammad. 1960. Ulumul Mantiq. Surabaya:
Maktab Sa'ad bin Nasir Nabhan.
Poespoprodjo,
W. 1999. Logika Scientifikas. Bandung:
Pustaka Grafika.
Surajiyo,
dkk. 2005. Dasar-dasar Logika. Jakarta:
Bumi Aksara.
Susanto,
A. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi
Aksara.
semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar