MAKALAH FILSAFAT DAKWAH SECARA AKSIOLOGI- Ketika seseorang melakukan dakwah maka kita akan melihat dakwah akan bermanfaat bagi orang yang didakwah. pada kesempatan ini saya akan berbagi sebuah pembahasan mengenai pandang dakwah dari sudut panadang aksiologi.
pemabahasan ini terlaksana karena ada campur tangan dari rekan-rekan dan dosen pembimbing. saya berharap dengan berbagi pembahasan ini mudah-mudahan pemabaca yang budiaman dapat termotivasi untuk melakukan dakwah. selamat membaca.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Para pakar filsafat pendidikan Islam
seperti Syed Naquib al-Attas menyatakan bahwa ilmu pengetahuan modern tidak
bebas nilai, ia netral sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan,
kebudayaan dan filsafat. Oleh karena itu, umat Islam perlu mengislamisasikan
ilmu.[1]
Pernyataan al-Attas tersebut bahwa ilmu bebas nilai mengindikasikan adanya
aksiologi, yakni pertimbangan nilai dalam ilmu pengetahuan. Ilmu apapun
namanya, jika ia diletakkan dalam wadah yang Islami, maka ilmu tersebut adalah
“ilmu Islam” dan di luar itu tidak Islami.
Ilmu pengetahuan yang merupakan
produk kegiatan berpikir manusia yang merupakan wahana untuk meningkatkan
kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya, termasuk
di dalamnya adalah ilmu dakwah. Proses penerapan itulah yang menghasilkan
peralatan-peralatan dan berbagai sarana hidup seperti kapak dan batu di zaman
dahulu hingga peralatan komputer di zaman sekarang ini, serta alat-alat yang
lebih canggih (mutakhir) lagi untuk masa-masa mendatang. Meskipun
demikian, pada hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan tetap
didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni; apa yang ingin diketahui, bagaimana
cara memperoleh ilmu pengetahuan, dan bagaimana nilai pengetahuan itu.[2]
Masalah yang terakhir ini, yaitu nilai ilmu pengetahuan yang pada bagian ini
adalah ilmu dakwahberkenaan dengan aksiologi. Karena itu menarik untuk dikaji
apa yang dikandung dalam ilmu dakwah dan kaitannya dengan aksiologi,
pertimbangan nilai serta hal lain yang terkait dengannya.
1.2. Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari
penyusunan makalah ini diantaranya :
- Sebagai
tugas kelompokmata kuliah Filsafat Dakwah jurusan Manajemen Dakwah jenjang
semester IV.
- Menelusuri
nilai yang terkandung dalam dakwah untuk kemudian mampu diimplementasikan
pada koridor dakwah sebenarnya.
- Menambah
wawasan cakrawala mengenai etika seorang da’i yang harusnya menjadi
panduan dan diaplikasikan dalam melaksanakan tugas dakwahnya.
1.3. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam pembahasan ini
adalah :
- Apa
pengertian aksiologi ?
- Apa
pengertian dakwah ?
- Apa
nilai yang terkandung dalam dakwah berkenaan dengan aksiologi ?
- Bagaimana
etika seorang da’i dalam melaksanakan peranannya ?
1.4. Batasan Masalah
Dalam pembahasan ini, kami selaku
pemakalah membatasi pembahasan masalah hanya pada ruang lingkup sebagaimana
yang tercantum dalam rumusan masalah di atas. Dengan maksud sebagai
pertimbangan agar pembahasan ini nantinya tidak keluar dari ruang lingkup
materi yang telah ditetapkan atau yang akan kami bahas dan kami uraikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Aksiologi
Aksiologi adalah istilah yang berasal
dari kata Yunani yaitu “axios” yang
berarti sesuai atau wajar. Sedangkan “logos”
yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Burhanuddin Salam
juga sepakat menyatakan bahwa aksiologi adalah teori tentang nilai. [3]Menurut
John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau
suatu sistem seperti politik, social dan agama. Sistem mempunyai rancangan
bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian
terhadap satu institusi dapat terwujud.
Menurut Richard Bender : Suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang memberikan suatu pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian dengan pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian, atau yang menyummbangkan pada pemuasan yang demikian. Dengan demikian kehidupan yang bermanfaat ialah pencapaian dan sejumlah pengalaman nilai yang senantiasa bertambah.[4]
Menurut Richard Bender : Suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang memberikan suatu pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian dengan pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian, atau yang menyummbangkan pada pemuasan yang demikian. Dengan demikian kehidupan yang bermanfaat ialah pencapaian dan sejumlah pengalaman nilai yang senantiasa bertambah.[4]
Jujun S. Suriasumantri berpendapat
bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan
dari pengetahuan yang diperoleh.[5]
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya
ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di Dunia ini terdapat banyak cabang
pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti
epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah
kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan
dengan masalah keindahan.[6]
Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari Bahasa Yunani Kuno, terdiri
dari kata “aksios” yang berarti nilai
dan kata “logos” yang berarti teori.
Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai.[7]
Aksiologi adalah abang filsafat yang mempelajari cara-cara yang berbeda dimana
sesuatu hal dapat baik atau buruk (baca: mempunyai akibat positif atau
negatif) dan hubungan nilai dengan menilai di satu pihak dan dengan fakta-fakta
eksistensi obyektif di pihak lain. Aksiologi adalah teori tentang nilai dalam
berbagai makna yang dikandungnya.
Aksiologi meliputi nilai-nilai yang
bersifat normative dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan
sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan
seperti kawasan social, kawasan simbolik ataupun fisik-materiil. Lebih dari itu
nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu condition sine quanon yang wajib
dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan
ilmu.
Aksiologi memuat pemikiran tentang
maslaah nilai-nilai termasuk nilai-nilai tinggi dari Tuhan. Misalnya, nilai
moral, nilai agama dan nilai keindahan. Aksiologi ini juga mengandung
pengertian lebih luas daripada etika atau higher
values of life (nilai-nilai kehidupan yang bertaraf tinggi). Dilihat dari
jenisnya, paling tidak terdapat dua bagian umum dari aksiolgi, yaitu[8]
:
- Etika.
Etika adalah kajian tentang mana
perbuatan baik dan mana perbuatan buruk, serta apa ukuran yang digunakan di dalam
menentukan baik dan buruk.[9]
Semiawan menerangkan bahwa etika sebagai prinsip atau standar berprilaku
manusia, yang kadang-kadang disebut dengan “moral”. Kegiatanmenilai (act of judgement) telah dibangun
berdasarkan toleransi atau ketidakpastian, bahwa tidak ada kejadian yang dapat
dijelaskan secara pasti dengan zero
tolerance. Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika
merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap
perbuatan-perbuatan manusia. Kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk
membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia lain. Objek formal
etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah laku
manusia baik dan buruknya. Sementara dari kalangan nonfilsafat, etika sering
digunakan sebagai pola bertindak praktis (etika profesi), misalnya bagaimana
menjalankan bisnis yang bermoral dalam etika bisnis.[10]
- Estetika.
Mengenai estetika, Semiawan
menjelskan bahwa estetika adalah mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam
seni. Estetika merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat indah dan buruk.
Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari
suatu pengetahuan ilmiah agar ia dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak
luas. Estetika juga berkaitan dengan kualitas dan pembentukan mode-mode yang
estetis dari suatu pengetahuan ilmiah itu.
Tujuan dasar ilmu menurut beberapa
ahli tidak selalu sama. Seperti dikutip Muslim A Kadir, Fred Kerlinger
berpendapat bahwa tujuan dasar ilmu hanyalah menjelaskan realitas (gejala yang
ada), bagin bronowsky, tujuan ilmu adalah menemukan yang benar sedangkan
menurut Mario Bunge, tujuan ilmu lebih dari sekadar menemukan kebenaran. Kemudian,
jika kita hubungkan dengan dakwah Islam atau lebih khususnya kepada ilmu dakwah,
akan dapat ditemui arah dakwah sebenarnya. Sebab, berdasarkan sejarah tradisi
Islam, ilmu tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali, tapi ia harus
bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan
manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu
pengetahuan bukan selalu mendesak kemanusiaan, tetapi kemanusiaanlah yang
menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan
diri kepada Sang Pencipta.[11]
2.2. Pengertian Dakwah.
Dakwah menurut etimologi (bahasa)
berasal dari kata bahasa Arab : da’a-yad’u-da’watan yang berarti
mengajak, menyeru, dan memanggil.[12]
Di antara makna dakwah secara bahasa adalah An-Nida artinya memanggil; da’a
filanun Ika fulanah, artinya si fulan mengundang fulanah. Selanjtnya menyeru,
ad-du’a ila syai’i, artinya menyeru dan mendorong pada sesuatu.[13]
Dalam dunia dakwah, orang yang
berdakwah biasa disebut Da’i dan orang yang menerima dakwah atau orang
yang didakwahi disebut dengan Mad’u.[14]
Dalam pengertian istilah dakwah diartikan sebagai berikut :
- Prof. Toha Yaahya Oemar
menyatakan bahwa dakwah Islam sebagai upaya mengajak umat dengan cara
bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk
kemaslahatan di dunia dan akhirat.
- Syaikh Ali Makhfudz, dalam
kitabnya Hidayatul Mursyidin memberikan definisi dakwah sebagai
berikut: dakwah Islam yaitu; mendorong manusia agar berbuat kebaikan dan
mengikuti petunjuk (hidayah), menyeru mereka berbuat kebaikan dan mencegah
dari kemungkaran, agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.
- Hamzah Ya’qub mengatakan bahwa
dakwah adalah mengajak umat manusia dengan hikmah (kebijaksanaan) untuk
mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
- Menurut Prof Dr. Hamka dakwah
adalah seruan panggilan untuk menganut suatu pendirian yang ada
dasarnya berkonotasi positif dengan substansi terletak pada aktivitas yang
memerintahkan amar ma’ruf nahi mungkar.
- Syaikh Muhammad Abduh
mengatakan bahwa dakwah adalah menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari
kemungkaran adalah fardlu yang diwajibkan kepada setiap muslim.[15]
Dari
beberapa definisi di atas secara singkat dapat disimpulkan bahwa dakwah
merupakan suatu aktivitas yang dilakukan oleh informan (da’i) untuk
menyampaikan informasi kepada pendengar (mad’u) mengenai kebaikan dan
mencegah keburukan. Aktivitas tersebut dapat dilakukan dengan menyeru, mengajak
atau kegiatan persuasif lainnya. Esensi dakwah merupakan aktivitas dan upaya
untuk menguba manusia, baik individu maupun masyarakat dari situasi yang tidak
baik kepada situasi yang lebih baik.[16]
Dakwah sebagai usaha membangun
sistem Islam pada dasarnya merupakan suatu proses perjuangan yang amat panjang.[17]
Dakwah menjadikan perilaku Muslim dalam menjalankan Islam sebagai agama rahmatan
lil’alamin yang harus didakwahkan kepada seluruh manusia, yang dalam
prosesnya melibatkan unsur: da’i (subyek), maaddah (materi), thoriqoh
(metode), wasilah (media) dan mad’u (objek) dalam mencapai maqashid
(tujuan) dakwah yang melekat dengan tujuan Islam yaitu mencapai kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat.[18]
Islam sebagai agama merupakan penerus dari risalah-risalah yang dibawa nabi
terdahulu, terutama agama-agama samawi seperti Yahudi dan Nasrani. Islam
diturunkan karena terjadinya distorsi ajaran agama, baik karena hilangnya
sumber ajaran agama sebelumnya ataupun pengubahan yang dilakukan pengikutnya.
Dalam agama Nasrani misalnya, hingga saat ini belum ditemukan kitab suci yang
asli. Karena dakwah merupakan aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar, dakwah tidak
selalu berkisar pada permasalahan agama seperti pengajian atau kegiatan yang
dianggap sebagai kegiatan keagamaan lainnya.
2.3. Aksiologi Dalam
Pandangan Aliran-aliran Filsafat
Aksiologi dalam pandangan aliran
filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran filsafat yang dianut oleh
masing-masing aliran filsafat, yakni :
- Pandangan
Aksiologi Progresivisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran
ini adalah William James (1842-1910), Hans Vahinger, Ferdinant Sciller,
Georger Santayana, dan Jhon Dewey.[19]
Menurut progressivisme, nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa. dengan
demikian, adanya pergaulan dalam masyarakat dapat menimbulkan nilai-nilai.
Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan,
dan kecerdasan dan individu-individu. Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan
faktor utama yang mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah faktor yang
dapat mempertahankan adanya hubungan antara manusia dan lingkungannya, baik
yang terwujud sebagai lingkungan fisik maupun kebudayaan atau manusia.
- Pandangan
Aksiologi Essensialisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran
ini adalah Desiderius Erasmus, John Amos Comenius (1592-
1670), John Locke (1632-1704), John Hendrick Pestalalozzi (1746-1827),
John Frederich Frobel (1782-1852), Johann Fiedirich Herbanrth (1776-1841) dan
William T. Horris (1835-1909).[20]
Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal dari pandangan-pandangan idealisme dan
realisme karena aliran essensialisme terbina dari dua pandangan tersebut,
pandangan tersebut adalah[21]
:
a. Teori
nilai menurut idealisme. Idealisme berpandangan bahwa hukum-hukum etika adalah
hukum kosmos karena itu seseorang dikatakan baik, jika banyak berinteraksi
dalam pelaksanaan hukum-hukum itu. Menurut idealisme, sikap, tingkah laku, dan
ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang
yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang
membutuhkan suasana tenang haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk itu,
ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan dan kesenangan
terhadap pakaian resmi yang dikenakan dapat menunjukkan keindahan pakaian dan
suasana kesungguhan tersebut.
b. Teori
nilai menurut realisme. Menurut realisme, sumber semua pengetahuan manusia
terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Realisme memandang bahwa baik
dan buruknya keadaan manusia tergantung pada keturunan dan lingkungannya.
Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan antara pembawa-pembawa fisiologis
dan pengaruh-pengaruh lingkungannya. George Santayana memadukan pandangan
idealisme dan realisme dalam suatu sintesa dengan menyatakan bahwa “nilai” itu
tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian, dan
pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun
idealisme menjunjung tinggi asas otoriter atau nilai-nilai, namun tetap
mengakui bahwa pribadi secara aktif menentukan nilai-nilai itu atas dirinya
sendiri.
- Pandangan
Aksiologi Perenialisme
Tokoh utama aliran ini
diantaranya Aristoteles (394 SM) St. Thomas Aquinas. Perenialisme
memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan
yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung
dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan
lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial dan kultural yang lain.[22]
Sedangkan menyangkut nilai aliran ini memandangnya berdasarkan asas-asas ‘supernatular‘,
yakni menerima universal yang abadi. Dengan asas seperti itu, tidak hanya
ontologi, dan epistemolagi yang didasarkan pada teologi dan supernatural,
tetapi juga aksiologi. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh potensi kebaikan
dan keburukan yang ada pada dirinya. Masalah nilai merupakan hal yang utama
dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada asas supernatural yaitu menerima
universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia
terletak pada jiwanya. Oleh karena itulah hakikat manusia itu juga menentukan
hakikat perbuatan-perbuatannya.
- Pandangan
Aksiologi Rekonslruksionisme
Aliran rekonstruksionalisme adalah
aliran yang berusaha merombak kebudayaan modern. Sejalan dengan pandangan
perenialisme yang memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman kebudayaan
yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan,dan kesimpangsiuran. Aliran
rekonstruksionalisme dalam memecahkan masalah, mengembalikan kebudayaan yang
serasi dalam kehidupan manusia yang memerlukan kerja sama.
2.4. Hakikat Nilai dan Penelusuran
Nilai Dakwah (Aksiologi Dakwah)
Aksiologis
adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai dari sudut pandang filsafat. Sesuatu yang dikatakan bernilai jika ia memiliki unsur baik
atau manfaat dalam kehidupan, misalnya nilai sebuah pisau, nilai sehat, nilai
sebuah barang dan sebagainya. Menurut Kenneth Anderson yang dikutip oleh Onong
Uchjana Effendy menyatakan bahwa nilai merupakan komponen sentral yang
membimbing dan memandu tindakan atau kegiatan seseorang. Sebagai contoh,
seseorang yang menginginkan kekuatan, akan menghubungkan sikap dan kegiatannya
dengan nilai sentral, umpamanya dzikir-dzikir khusus yang berkaitan dengan
keyakinan pada Tuhan. Nilai sentral itulah yang menjadimotivasi untuk
mendapatkan kekuatan tersebut. Jika pengertian nilai tersebut dikaitkan dengan
dakwah, maka akan dikenal dengan nilai dakwah, yakni nilai-nili Islam yang
bersumber dari Al-Qur’an dan al-Hadits. Nilai-nilai dakwah bukanlah suatu
“barang yang mati”, melainkan nilai dinamis yang disesuaikan dengan semangat
zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada di masyarakat. Menurut
Muhammad Sulthon, tata nilai Islami yang terdapat di dalam Al-Qur’an bersifat
historis, dinamis, dialektis dan transformatif.[23]
Kattsoff
menjelaskan bahwa hakikat nilai itu ada beberapa kemungkinan, diantaranya :
- Nilai
adalah kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan
- Nilai
sebagai objek suatu kepentingan
- Nilai
pragmatis
- Nilai
sebagai esensi
Pada bagian
lain, Kattsoff menjelaskan bagaimana mendekati nilai (pendekatan aksiologis)
yang dibedakan menjadi :
- Nilai
seluruhnya berhakikat subjektif, artinya nilai merupakan reaksi-reaksi
yang diberikan manusia sebagai pemberi nilai.Kaitannya dengan hal ini,
maka sangat tergantung pada pengalaman, penetahuan dan kemampuan pemberi
nilai tersebut.
- Nilai-nilai
merupakan kenyataan ontologis, artinya nilai merupakan esensi logis yang
dapat diketahui melalui akal, yang dikenal dengan objektivitasme logis.
- Nilai
merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan, artinya nilai
merupakan hasil dari pengenalan, penambahan dan pembuktian dari suatu yang
dinilai (objektivitas).
Berangkat dari penyataan nilai di
atas, dapat kita jadikan batu loncatan untuk melakukan penelusuran terhadap
nilai dakwah. Upaya dalam
menelusuri nilai dakwah diantaranya :
- Jika dilihat dari sudut ilmunya, maka yang muncul
adalah nilai kebenaran dari pengetahuan dakwah tentunya harus ada tolok
ukur yang baku, yaitu :
a.
Koherensi
antarkonsep dalam pengetahuan
b.
Korespondensi,
sesuatu itu bernilai jika sesuai dengan kenyataan
c.
Empiris,
sesuatu dikatakan bernilai jika dapat dibuktikan dengan cara empirik/didapat
dari penelitian
d.
Unsur
pragmatis, bernilai jika
ada manfaatnya
- Sudut
empirik
keberadaan dakwah (dakwah sbagai proses). Nilai
dakwah dilihat dalam kenyataan hidup masyarakat, yakni adanya interaksi
antara da’I, ajaran, umat manusia dan segala hal yang mendukung proses
dakwah.
Ada dua hal penting yang sebaiknya
diyakini dalam nilai dakwah, yaitu: Pertama, Nilai kerisalahan,
dakwah dilihat sebagai penerus,penyambung dan menjalankan fungsi dan tugas
Rasul. Kedua, Nilai
rahmat dalam dakwah, ajaran Islam harus memberikan manfaat bagi kehidupan
umat.
Sehubungan dengan hal ini maka dakwah harus mampu
menterjemahkan ajran Islam, mengimplementasikan konsep ajaran dalam
kehidupan sehari-hari. Dakwah
dalam hal ini lebih menitikberatkan pada tujuan dakwah secara oprasional
entah itu output ataupun input dari kegiatan dakwah yang dilaksanakan.
Dakwah dari aspek keilmuan dapat
ditelusuri dari sejauh mana konsep-konsep dan teori ilmu dakwah memberikan
kontribusi bagi kehidupan manusia, baik sebagai individu, kelompok sosial
maupun bangsa.
Menurut
Sambas, aksiologi ilmu dakwah adalah:
- Mentransformasikan
dan menjadi manhaj (kaifiyah) mewujudkan ajaran islam menjadi tatanan
Khoirul-Ummah
- Mentransformasikan
iman menjadi amal sholeh jamaah
- Membangun
dan mengembalikan tujaun hidup manusia, meneguhkan fungsi khilafah manusia
menurut Al-quran dan sunnah, oleh karena itu, ilmu dakwah dapat dipandang
sebagai perjuangan bagi ummat islam dan ilmu rekayasa masa depan umat dan
peradaban islam.[24]
Dalam
dimensi aksiologis dakwah ada tiga hal yang harus dicermati dan ketiganya akan
mengandung konsekuensi yang berbeda, yitu :
- Perlu
dijernihkan terlebih dahulu pemahaman dakwah sebagai ilmu pengetahuan atau
sebagai objek kajian atau bahkan sebuah ativitas konkrit.
- Kesadaran
akan pluralitas sebagai keniscayaan, yang meliputi:
a. Perbedaan
kebudayaan antara wilayah tertentu dengan yang lain, kurun waktu tertentu dan
kurun waktu yang lain. Kondisi sosial-ekonomi tertentu dan kondisi yang lain.
Histories tertentu dan histories yang lain.
b. Adanya
realitas bahwa diluar Islam ada komunitas lain seperti ahli kitab, orang
musyrik dan orang kafir. Yang dapat dilindungi (Dzimmi) atau diperangi tergantung
kondisi yang ada.
- Dakwah sebagai panggilan, ajakan dan komunikasi harus merupakan dialog bukan monolog. Keterbukaan mejadi syarat mutlak, kesediaan untuk selalu diuji dan beradu argumen adalah syarat aksiologis yang harus ada dalam setiap upaya menyampaikan nilai kebenaran.
2.5. Nilai Dakwah dan
Institusionalisasinya.
Nilai dan orientasi nilai mengacu
kepada konsepsi tentang hal-hal atau karakteristik manusia yang dikehendaki dan
terpuji. Tindakan yang dilakukan oleh seseorang dibangun dari pemahaman yang
mendalam tentang arti kehidupan bagi dirinya. Jika seseorang mengartikan
kehidupan sesuai dengan ajaran Islam bahwa hidup ini memiliki makna dan tujuan yang
jelas, maka mereka akan melakukan tindakan sesuai dengan ajaran Islam dan akan
mempersiapkan untuk menghadapi kehidupan akhirat yang abadi. Di dalamnya
seseorang berupaya untuk mengenal tentang dirinya sebagai manusia yang sempurna,
tugasnya di alam sebagai hamba Allah SWT dan khalifatullah, serta hubungannya
dengan Sang Khalik dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya. Dengan adanya pemahaman tersebut akan lahir persepsi yang positif
terhadap kehidupan dan dinamikanya. Dari persepsi yang positif akan lahirlah
kesadaran untuk bertanggung jawab dalam mengembangkan kehidupan yang berguna
dan pada akhirnya akan melakukan aktivitas-aktivitas yang memberikan manfaat
bagi dirinya dan orang lain. Berikut ini gambaran tentang proses tersebut[25]
:
Tindakan yang dilakukan umat Islam
mestinya dibangun dari pemahaman yang komprehensif tentang ajaran Islam yang di
dalamnya terdapat nilai-nilai dakwah yang bersifat universal. Beberapa
nilai-nilai dakwah universal yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan umat,
diantaranya sebagai berikut[26]
:
- Kedisiplinan
Disiplin bukan hanya milik tentara
atau polisi saja, tetapi menjadi milik semua orang yang ingin sukses.
Kedidiplinan tidak diartikan dengan kehidupan yang kaku dan susah tersenyum.
Kedisiplinan terkait erat dengan manajemen waktu. Bagaimana waktu yang
diberikan oleh Tuhan selama 24 jam dalam sehari semalam dapat dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya untuk meraih kesuksesan di dunia dan akhirat. Al-Qur’an
sangat banyak bercerita dan menyebutkan tentang pentingnya waktu, seperti demi
masa (wal’ashr), demi waktu dhuha (wadduha), demi waktu malam (wallaili), demi waktu fajar (walfajr) dan lain sebagainya. Waktu
tidak bisa diputar ulang, karenanya amat rugi manakala waktu yang kita jalani
hanya dilewatkan begitu saja tanpa memberi makna yang berarti. Pepatah Arab
mengatakan “al-waqtu ka al-shaif”
(waktu bagaikan pedang), artinya jika kita tidak mampu memanfaatkan waktu,
bagaikan kita ditebang oleh pedang, yakni mengalami kerugian dan bahkan
kematian.
Dalam ajaran ibadah shalat dan
puasa, kita dilatih betul bagaimana menjadi orang yang disiplin dalam
memanfaatkan waktu. Tidak bisa kita melaksanakan shalat di luar waktu yang
telah ditentukan, begitu juga dengan puasa, ada aturan main yang sudah jelas
waktunya. Pembelajaran dan pembiasaan yang diajarkan oleh Tuhan untuk
memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya mestinya dapat berpengaruh terhadap
kedisiplinan seseorang dalam menjalani hidupnya.
- Kejujuran
Rasulullah SAW merupakan teladan
utama dalam kejujuran dan bahkanbeliau memiliki sifat sidiq (jujur). Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk berlaku
jujur, sesuai dengan sabda beliau :
عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى اللّه عليه وسلم : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ
فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى
الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى
يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَاِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ
يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ
الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ
كَذَّابًا (اخرجه مسلم)
Artinya
:
“Hendaklah kamu semua bersikap jujur karena kejujuran membawa kepada
kebaikan, dan kebaikan membawa ke syurga, seseorang yang selalu jujur dan
mencari kejujuran akan ditulis oleh Allah SWT sebagai orang yang jujur, dan
jauhilah sifat bohong karena kebohongan membawa kepada kejahatan dan kejahatan
membawa ke neraka. Orang yang selalu berbohong dan mencari kebohongan akan
ditulis oleh Allah SWT sebagai pembohong” (HR. Muslim)
Kita bisa belajar dari umat yang
dibinasakan oleh Allah SWT akibat tidak jujur dan kejahatan lain yang
dilakukannya, yaitu pada bangsa Madyan sebagaimana yang difirmankan Allah SWT sebagai
berikut :
Artinya
:
“Dan
kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata:
"Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia.
Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu
dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan
azab hari yang membinasakan (kiamat)." Dan Syu'aib berkata: "Hai
kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu
merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan
di muka bumi dengan membuat kerusakan” (Q.S. Huud: 84-85)
Dari ayat di atas, ada tiga hal
penting yang bisa diterapkan dalam kehidupan kita untuk memberantas
ketidakjujuran dankejahatan lainnya, yaitu: Pertama, pelurusanakidah dengan
meyakini dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah SWT semata. Kedua,
berprilaku jujur dan jangan menyakiti orang lain. Ketiga, jangan merusak bumi,
maksudnya bisa diperluas bukan hanya arti sempitnya tetapi juga bisa
dimaksudkan jangan merusak sistem yang sudah dibangun dengan baik, akibat dari
prilaku individu yang tidak jujur.
- Kerja
keras
Siapa yang sungguh-sungguhmaka
dialah yang pasti dapat (man jadda wajada). Pepatah Arab tersebut merupakan
hukum sosial yang berlaku universal bagi masyarakat, tidak mengenal etnis,
agama maupun bahasa. Orang yang rajin dan bekerja keras, pasti akan mendapatkan
hasil dari kerja kerasnya. Sebaliknya, orang yang malas akan menerima hasil
yang sedikit karena kemalasannya. Allah SWT dalam beberapa ayat mendorong
umat-Nya untuk bekerja keras, seperti:
Artinya
:
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain” (Q.S. Al-Insyiroh: 7)
Sebagian ahli tafsir menafsirkan
apabila kamu (Muhammad) telah selesai berda'wah maka beribadahlah kepada Allah
SWT, dan apabila kamu telah selesai mengerjakan urusan dunia maka kerjakanlah
urusan akhirat, dan ada lagi yang mengatakan: “Apabila telah selesai
mengerjakan shalat maka berdo’alah”.
Allah SWT juga berfirman :
Artinya
:
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung” (Q.S. Al-Jumu’ah: 10)
Begitupun Rasulullah SAW yang telah
mencontohkan sejak kecil telah bekerja keras, seperti mengembala kambing,
berdagang dan berupaya sekuat tenaga untuk membebaskan umat (kaum dhuafa) dari
kemiskinan, kebebasan, perbudakan, eksploitasi kaum aghniya dan sebagainya. Rasulullah SAW mengingatkan kita “yang
paling aku khawatirkan dan takuti terhadap umatku adalah suka membusungkan
dada, banyak tidur dan malas bekerja”.
- Kebersihan
Umat Islam sangat hafal sekali
dengan hadist Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa “kebersihan adalah sebagian dari iman” (HR. Muslim). Sayangnya,
hafalan tersebut kurang diimbangi dengan praktikdi lapangan. Realitas
tempat-tempat umum milik umat Islam menunjukkan kurang terjaganya kebersihan,
seperti masjid, mushalla, pondok pesantren, asrama haji, majelis ta’lim dan
sebagainya. Padahal, umat Islam sering kali diperkenalkan dan dianjurkan untuk
menjaga kebersihan. Setiap bahasan pertama tentang fiqih Islam diawali dengan
pembahasan tentang kebersihan seperti menghilangkan hadas besar dan kecil,
menggunakan air yang bersih lagi mensucikan, berwudhu dan lain sebagainya.
Allah SWT mengingatkan umat Islam untuk menjaga kebersihan (kesucian) jiwa dan
juga kebersihan yang bersifat fisik, dengan simbol untuk membersikan pakaian.
Allah SWT berfirman :
Artinya
:
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah
peringatan, dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah” (Q.S.
Al-Muddatssir: 1-4)
Dengan demikian, menjaga kebersihan
merupakan nilai dakwah universal yang dapat dilakukan oleh siapa saja, apalagi
umat Islam jelas-jelas memiliki dasar kuat untuk menjaga kebersihan.
- Kompetisi
Islam tidak melarang umatnya untuk
berkompetisi, karena kompetisi merupakan salah satu motivasi psikologis yang
sangat umum dimiliki oleh setiap manusia. Setiap mahasiswa akan memiliki
motivasi untuk berkompetisi diantara teman-temannya. Meskipun masing-masing
individu berbeda dalam tingkatan motivasinya. Al-Qur’an telah menganjurkan umat
Islam untuk berkompetisi dalam peningkatan kualitas takwa, sebagaimana firman
Allah SWT :
Artinya
:
“Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam
keni'matan yang besar (syurga), mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil
memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh
keni'matan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya).
laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang
berlomba-lomba” (Q.S. Al-Muthaffifin: 22-26)
Kebanyakan manusia biasanya
melakukan kompetisi dalam urusan materi dan dunia yang fana. Oleh karena itu,
Rasulullah SAW mengingatkan agar umat Islam tidak berkompetisi secara
berlebihan dalam urusan dunia. Hal ini dapat menimbulkan konflik, dengki, rasa
iri dan menjauhkan dari ingat kepada Allah SWT. Sabda Nabi Muhammad SAW yang
artinya :
“Demi Allah, bukan kekafiran yang aku khawatirkan atas kalian, tetapi
aku khawatir kalau dunia disodorkan kepada kalian sebagaimana telah disodorkan
kepada orang-orang sebelum kalian. Lantas kalian berlomba-lomba (berkompetisi)
sebagaimana mereka telah melaukannya juga. Akhirnya dunia akan menghancurkan
kalian, sebagaimana telah membinasakan mereka semua” (HR. Bukhari)
Masih banyak lagi nilai-nilai dakwah
yang bisa dikembangkan atau diturunkan dari sumber ajaran Islam yakni Al-Qur’an
dan al-Hadist, kami hanya mencontohkan sebagian kecil dari nilai-nilai dakwah
yang ada. Nilai-nilai dakwah yang berlaku universal tersebut senantiasa
disosialisasikan kepada masyarakat sehingga nilai-nilai tersebut menjadi
kebiasaan, tradisi atau norma yang berlaku dimasyarakat. Jika nilai-nilai
dakwah universal telah berkembang dan menjadi norma di masyarakat, maka
nilai-nilai dakwah telah memasuki tahap institusionalisasi atau pelembagaan.
Dalam melaksankan proses pelembagaan nilai-nilai dakwah, titik berangkatnya
berasal dari pemahaman tentang konsepsi dakwah menurut ajaran Islam. Di dalam
konsepsi dakwah terkandung nilai-nilai yang akan disosialisasikan dan
ditanamkan kepada para pelaku dakwah. Nilai-nilai yang telah menginternal dalam
diri para pelaku dakwah akan terus dibawa dan dikembangkan melalui interaksi
sosial yang terjadi di organisasi dakwah dan terbentuk menjadi nilai-nilai
dakwah. Nilai-nilai dakwah tersebut akan terus-menerus dipraktikkan oleh para
pelaku dakwah menjadi kebiasaan dan tata aturan yang pada akhirnya melahirkan
institusi.
2.6. Etika Berdakwah
Dalam pergaulan hidup bermasyrakat,
berbangsa dan bernegara diperlukan suatu sistem yang mengatur bagaimana
seharusnya manusia bergaul. Dengan sistem pergaulan tersebut menjadikan kita
saling menghormati dan menghargai. Sitem pergaulan tersebut bisa dikenal dengan
sopan santun, tata krama, protokoler atau etika. Contohnya, seorang muslim
ketika bertemu dengan muslim lainnya mengucapkan salam dan saling berjabatan
tangan merupakan etika yang diajarkan oleh Islam. Etika juga berlaku bagi
setiap profesi tertentu, seperti profesi guru, dokter, da’i dan sebagainya.
Oleh karena itu, setiap profesi mempunyai kode etik masing-masing dan menjadi
pedoman dalam berprilaku bagi setiap anggotanya. Kode etik dibangun dari
paradigma keilmuan yang membangun profesi tersebut.
Kode etik merupakan ketentuan atau
aturan yang berkenaan dengan tata susila dan akhlak. Menurut Abudin Nata yang
dikutip oleh Haris Hermawan, menyatakan bahwa kode etik memiliki ciri-ciri,
yaitu: Pertama, suatu kebutuhan yang telah mendarah daging dan menyatu menjadi
kepribadian serta membentuk karakteristik orang tersebut. Kedua, tindakan atau
tingkah laku tersebut dilakukan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran yang
panjang. Ketiga, perbuatan yang dilakukan akibat dari perbuatan orang lain.
Keempat, tindakan atau perbuatan tersebut dilakukan atas dorongan hati nurani
dan bukan karena terpaksa atau berpura-pura. Kelima, perbuatan atau tindakan
tersebut dilakukan karena Allah SWT, sehingga perbuatan atau tindakan tersebut
bernilai ibadah.[27]
Dalam UU No. 8 tahun 1974 tentang
pokok-pokok Kepegawaian dinyatakan bahwa kode etik merupakan pedoman sikap
tingkah laku perbuatan di dalam dan di luar kedinasan. Dari pengertian dan
ciri-ciri kode etik tersebut di atasberarti kode etik berkaitan erat dengan
pelaku yang menjalankan profesi tersebut. Jika pengertian tersebut dikaitkan
dengan dakwah, maka akan timbul kode etik bagi profesi dakwah. Bagaimana
seorang da’i bersikap dan berprilaku dalam melakukan aktivitas dakwah terkait
erat dengan sifat dan kompetensi yang dimiliki oleh seorang da’i. Untuk
menambah pengetahuan dan praktik dakwah yang lebih baik, kita telaah etika
dalam berdakwah sebagai berikut[28]
:
- Dakwah
hendaknya dilakukan dengan menafikan unsur-unsur kebencian. Esensi dakwah
mestilah melibatkan dialog bermakna yang penuh kebijaksanaan, perhatian,
kesabaran dan kasih sayang. Allah SWT berfirman :
Artinya
:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan
itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”
(Q.S. Ali-Imran: 159)
- Dakwah
hendaknya dilakukan secara persuasif, jauh dari sikap memaksa karena sikap
yang demikian di samping kurang arif juga akan berakibat pada keengganan
orang mengikuti seruan da’i yang pada akhirnya akan membuat misi dakwah
gagal. Allah SWT berfirman :
Artinya
:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al-Baqarah: 256)
- Menghindari
pikiran dan sikap menghina serta menjelek-jelekkan agama atau menghujat
Tuhan yang menjadi keyakinan agama lain. Kita dapati sebagian da’i
sekarang ini lebih suka untuk memvonis dan menghakimi masyarakat dengan
menyebut mereka kafir, musyrik, fasiq, ahli bid’ah dankalimat-kalimat
sejenisnya, yang barangkali sebagian perbuatan yang dilakukan oleh
masyarakatnya itu masih dalam bingkai khilafiyah. Padahal seorang da’i
seharusnya lebih dekat dengan masyarakatnya. Dengan demikian, dia akan
dapat memperlakukan objek dakwahnya itu secara baik, santun, lemah lembut,
penuh kasih sayang, arif dan bijaksana. Walaupun tidak bisa dipungkiri
bahwa sikap keras dan tegas juga dibutuhkan, namun harus sesuai dengan
kondisi dan situasi. Allah SWT berfirman :
Artinya
:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik
dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya,
boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu
sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.
Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan
barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena
sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang
dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
Taubat lagi Maha Penyayang” (Q.S. Al-Hujurat: 11-12)
- Mengapresiasi
peredaan dan menjauhi sikap ekstremisme dalam beragama. Jangan terlalu
fanatik dengan paham dan ideologi yang dianut oleh seorang da’i, tetapi
perlu memperhatikan paham dan ideologi yang dianut oleh orang lain.
Perbedaan muncul bukan hanya karena sunatullah
saja, tetapi bisa disebabkan karena adanya perbedaan secara personal,
kultural dan ultima dalam keberagamaan seseorang.[29]
Mengingat masyarakat tumbuh dalam sebuah kultur yang beragam, maka
ekspresi sebuah agama secara kultural dan simbolik bisa juga beragam,
sekalipun pesannya sama. Demikian pula secara ultimat, kesadaran individu
dalam mengekspresikan hal-hal yang absolut bisa berbeda-beda, karena
pemahaman maupun pengalaman keberagamaan masing-masing individu. Oleh
karena itu, prinsip Islam dalam beragama adalah sikap jalan tengah atau
moderat (umatan wasathon),
sebgaimana firman Allah SWT:
Artinya
:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang
adil dan pilihan [95] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan
kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya
nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh
(pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia” (Q.S.
Al-Baqarah: 143)
- Dakwah
hendaknya dilakukan dengan jujur dan proporsinal. Dalam mengemukakan dalil-dalil
dan pembuktian hendaknya dilakukan secara baik. Kemahiran da’i menggunakan
kata-kata mungkin dapat memutarbalikkan persoalan yang sebenarnya. Ada
sebagian jama’ah atau umat yang mengikuti aliran atau paham sesat, tidak
terlepas dari kepandaian pemberi pesan yang mampu menghipnosis
pendengarnya sehingga paham atau aliran tersebut menjadi ideologi yang
siap untuk dibela mati. Kasus yang pernah menimpa para pemuda yang
terlibat dalam aliran sesat yang dibawa oleh Ahmad Musaddeq dan paham
Negara Islam Indonesia (NII) merupakan sebagian dari contoh betapa dakwah
dilakukan secara tidak proporsional. Al-Qur’an mengajarkan kita untuk
selalu berhati-hati setiap menerima berita dan perlu menyikapi secara
kritis, sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya
:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu” (Q.S. Al-Hujurat: 6)
2.7. Analisa Kelompok
Aksiologi dakwah (berbicara mengenai
nilai dakwah) tidak bisa kita lepaskan dari panduan pokok yaitu Al-Qur’an dan al-Hadist
yang memuat segala berita, sejarah dan pengajaran. Memahami nilai dakwah
merupakan hal yang harus benar-benar dicermati oleh para pelaku dakwah terlebih
lagi di masa kontemporer ini. Semakin berkembangnya zaman membuat semakin
kompleksnya problematika dakwah dan itu merupakan hal yang harus mendapatkan
perhatian khusus guna mencapai kesuksesan dalam berdakwah. Seorang da’i harus
paham tentang hakikat atau makna dakwah sesungguhnya (ontologi dakwah), teknik
penerapan atau metodenya (epistemologi) dan nilai serta tujuan dari dakwah
tersebut. Kami berusaha menelaah dan menganalisa apa seseungguhnya nilai dan
tujuan dakwah tersebut. Pemaparan yang kami uraikan pada makalah ini dapat
membuat kita menyimpulkan gambaran umum dari nilai maupun manfaat dakwah
tersebut.
Seiring perkembangan zaman, ilmu
dakwah mulai dikembangkan untuk membingkai dakwah tersebut agar lebih terarah
dan dapat tercapai sesuai dengan konteks zaman. Selanjutnya kami sedikit
menganalisa mengenai tujuan ilmu dakwah yang merujuk kepada Al-Qur’an. Tujuan
dasar ilmu dakwah, dengan merujuk pada beberapa ayat Al-Qur’an yang relevan,
adalah untuk :
- Menjelaskan
realitas dakwah sebagai suatu kebenaran. Allah SWT berfirman dalam
Al-Qur’an:
Artinya
:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa
Al-Qur’an itu benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa
sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu”. (Q.S. Fushshilat: 53)
- Mendekatkan
diri kepada Allah sebagai kebenaran. Allah SWT berfirman:
Artinya
:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembahku”. (Q.S. Adz-Zaariyat: 56)
- Merealisasikan
kesejahteraan untuk seluruh alam (Rahmat li al-Alamin). Allah SWT
berfirman:
Artinya
:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam”. (Q.S. Al-Anbiya’: 107)
Pada akhirnya, kami menemukan
relevansi yang kuat antara agama dan filsafat. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Al-Kindi bahwa keselarasan agama dan filsafat didasarkan pada tiga alasan,
yaitu: ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, kebenaran wahyu yang
diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat sling bersesuaian dan menuntut
ilmu secara logika dianjurkan oleh agama.[30]
Dengan demikian, orang yang menolak filsafat sama dengan menolak kebenaran, dan
yang menolak kebenaran sama dengan kekafiran. Sebagaimana pernyataan Al-Kindi
yang dikutip oleh Hasan Bakti bahwa Al-Kindi mengibaratkan orang yang menolak
kebenaran dengan orang yang memperdagangkan agama dan sekaligus tidak lagi
beragama, sehingga berhak disebut kafir.[31]
Jika ada orang yang mengatakan bahwa
filsafat dapat menghancurkan iman bahkan telah ada beberapa kasus dimana
seseorang yang mendalami filsafat malah menjauh dari Allah SWT, hal itu memang
bisa saja terjadi. Akan tetapi, titik kesalahan bukan kepada filsafat yang ia
pelajari, melainkan penelusuran atau pembelajarannya kepada filsafat yang
setengah-setengah (tidak menyeluruh). Sejatinya filsafat mengajarkan kita untuk
dapat melihat sesuatu yang berkategori benar dengan pembuktian rasional. Dan
saat rasio berdamping dengan hati (kalbu), maka dari sini seseorang yang bahkan
nonmuslim sekalipun tidak menutup kemungkinan akan bisa sampai kepada Sang
Khalik. Bagi para pengemban tugas dakwah, filsafat membantu untuk mampu
mendesain dakwah tersebut sesuai dengan warna zaman dan tuntutan kebutuhan.
Pada hasil akhirnya dakwah akan dapat menjadi sebuah kegiatan yang kian
tersebar ke seluruh penjuru alam.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Aksiologi dakwah secara sederhana
adalah menelusuri nilai-nilai yang terkandung dalam kegiatan dakwah.
Nilai-nilai dakwah universal yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan umat
diantaranya, kedisiplinan, kejujuran, kerja keras, kebersiha dan kompetisi.
Selain itu, masih banyak lagi nilai-nilai dakwah universal yang terkandung di
dalam dakwah itu sendiri.
Selain itu, bagi para da’i yang
menjadi pelaku dakwah, aksilogi dakwah juga mengajarkan bagaimana etika seorang
da’i yang seharusnya dalam menjalankan peranannya, diantaranya: Dakwah
hendaknya dilakukan dengan menafikan unsur-unsur kebencian, dakwah hendaknya
dilakukan secara persuasif dan jauh dari sikap memaksa, menghindari
pikiran dan sikap menghina serta menjelek-jelekkan agama atau menghujat Tuhan
yang menjadi keyakinan agama lain, mengapresiasi peredaan
dan menjauhi sikap ekstremisme dalam beragama dan dakwah hendaknya dilakukan
dengan jujur dan proporsinal. Dalam mengemukakan dalil-dalil dan pembuktian
hendaknya dilakukan secara baik.
3.2. Pesan dan Saran
Dalam kesempatan ini kami ingin
menyampaikan pesan dan saran untuk kami pribadi khususnya dan untuk pembaca
sekalian umumnya. Pesan dan saran pokok yang ingin kami sampaikan adalah
pahamilah hakikat, metode dan nilai-nilai yang terkandung dalam dakwah tersebut
agar segala bentuk kegiatan dakwah yang kita lakukan dapat sukses guna tetap
tegaknya marwah Islam dalam kancah peradaban dunia.
Mantap sekali tulisannya.
BalasHapusSangat bermanfaat buat dijadikan referensi.
Mohon kunjungi blog saya juga ya.
FAJRIN MAULANA