BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar
Belakang
Manusia adalah makhluk individu yang tidak dapat
melepaskan diri dari hubungan dengan manusia lain. Sebagai akibat dari hubungan
yang terjadi di antara individu-individu (manusia) kemudian lahirlah
kelompok-kelompok sosial (social group) yang dilandasi oleh kesamaan-kesamaan
kepentingan bersama. Namun bukan berarti semua himpunan manusia dapat dikatakan
kelompok sosial. Untuk dikatakan kelompok sosial terdapat
persyaratan-persyaratan tertentu. Dalam kelompok social yang telah tersusun
susunan masyarakatnya akan terjadinya sebuah perubahan dalam susunan tersebut
merupakan sebuah keniscayaan. Karena perubahan merupakan hal yang mutlak
terjadi dimanapun tempatnya.
Perubahan sosial adalah perubahan dalam hubungan
interaksi antar orang, organisasi atau komunitas, ia dapat menyangkut “struktur
sosial” atau “pola nilai dan norma” serta “pran”. Dengan demikina, istilah yang
lebih lengkap mestinya adalah “perubahan sosial-kebudayaan” karena memang
antara manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan
itu sendiri.
Cara yang paling sederhana untuk mengerti perubahan
sosial (masyarakat) dan kebudayaan itu, adalah dengan membuat rekapitulasi dari
semua perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri, bahkan jika ingin
mendapatkan gambaran yang lebih jelas lagi mengenai perubahan mayarakat dan
kebudayaan itu, maka suatu hal yang paling baik dilakukan adalah mencoba
mengungkap semua kejadian yang sedang berlangsung di tengah-tengah masyarakat
itu sendiri.
Kenyataan mengenai perubahan-perubahan dalam
masyarakat dapat dianalisa dari berbagai segi diantaranya: ke “arah” mana
perubahan dalam masyarakat itu “bergerak” (direction of change)”, yang jelas
adalah bahwa perubahan itu bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Akan
tetapi setelah meninggalkan faktor itu mungkin perubahan itu bergerak kepada
sesuatu bentuk yang baru sama sekali, akan tetapi boleh pula bergerak kepada
suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang lampau.[1]
Kebanyakan definisi membicarakan perubahan dalam arti
yang sangat luas. Wilbert Moore misalnya, mendefinisikan perubahan sosial
sebagai “perubahan penting dari stuktur sosial” dan yang dimaksud dengan
struktur sosial adalah “pola-pola perilaku dan interaksi sosial”. Dengan
demikian dapat diartikan bahwa perubahan social dalam suatu kajian untuk
melihat dan mempelajari tingkah laku masyarakat dalam kaitannya dengan
perubahan.
II.
Perumusan Masalah
Beberapa rumusan masalah yang dapat dikaji dari uraian-uraian di atas
antara lain:
1.
Apa definisi dari perubahan sosial dalam masyarakat dan bagaimana pendapat
para ahli tentang perubahan sosial?
2.
Sebutkan tipe-tipe dari perubahan sosial?
III.
Tujuan Penelitian
Makalah ini bertujuan untuk:
1.
Untuk mengetahui macam-macam definisi dari perubahan sosial dari
masyarakat.
2.
Untuk mengetahui tipe-tipe deri perubahan sosial dari masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Perubahan Sosial
Perubahan sosial adalah proses di mana terjadi
perubahan struktur dan fungsi suatu sistem sosial. Perubahan tersebut terjadi
sebagai akibat masuknya ide-ide pembaruan yang diadopsi oleh para anggota
sistem sosial yang bersangkutan.[2]
Proses perubahan sosial biasa tediri dari tiga tahap:
- Invensi, yakni proses di mana ide-ide baru
diciptakan dan dikembangkan
- Difusi, yakni proses di mana ide-ide baru itu
dikomunikasikan ke dalam sistem sosial.
- Konsekuensi, yakni perubahan-perubahan yang
terjadi dalam sistem sosial sebagai akibat pengadopsian atau penolakan
inovasi. Perubahan terjadi jika penggunaan atau penolakan ide baru itu
mempunyai akibat.
Dalam menghadapi perubahan sosial budaya tentu masalah
utama yang perlu diselesaikan ialah pembatasan pengertian atau definisi
perubahan sosial (dan Wilbert E. Maore, Order and Change, Essay in
Comparative Sosiology, New York, John Wiley & Sons, 1967 : 3. perubahan
kebudayaan) itu sendiri. Ahli-ahli sosiologi dan antropologi telah banyak
membicarakannya.
Menurut Max Weber dalam Berger (2004), bahwa, tindakan
sosial atau aksi sosial (social
action) tidak bisa dipisahkan dari proses berpikir rasional dan tujuan
yang akan dicapai oleh pelaku. Tindakan sosial dapat dipisahkan menjadi empat
macam tindakan menurut motifnya: (1) tindakan untuk mencapai satu tujuan
tertentu, (2) tindakan berdasar atas adanya satu nilai tertentu, (3) tindakan
emosional, serta (4) tindakan yang didasarkan pada adat kebiasaan (tradisi).
Aksi sosial adalah aksi yang langsung menyangkut
kepentingan sosial dan langsung datangnya dari masyarakat atau suatu
organisasi, seperti aksi menuntut kenaikan upah atau gaji, menuntut perbaikan
gizi dan kesehatan, dan lain-lain. Aksi sosial adalah aksi yang ringan
syarat-syarat yang diperlukannya dibandingkan dengan aksi politik, maka aksi
sosial lebih mudah digerakkan daripada aksi politik. Aksi sosial sangat penting
bagi permulaan dan persiapan aksi politik. Dari aksi sosial, massa/demonstran
bisa dibawa dan ditingkatkan ke aksi politik. Aksi sosial adalah alat untuk
mendidik dan melatih keberanian rakyat. Keberanian itu dapat digunakan untuk:
mengembangkan kekuatan aksi, menguji barisan aksi, mengukur kekuatan aksi dan
kekuatan lawan serta untuk meningkatkan menjadi aksi politik. Selanjutnya
Netting, Ketther dan McMurtry (2004) berpendapat bahwa, aksi sosial merupakan
bagian dari pekerjaan sosial yang memiliki komitmen untuk menjadi agen atau
sumber bagi mereka yang berjuang menghadapi beragam masalah untuk memerlukan
berbagai kebutuhan hidup.
Perubahan sosial dalam masyarakat bukan merupakan
sebuah hasil atau produk tetapi merupakan sebuah proses. Perubahan sosial
merupakan sebuah keputusan bersama yang diambil oleh anggota masyarakat. Konsep
dinamika kelompok menjadi sebuah bahasan yang menarik untuk memahami perubahan
sosial. Kurt Lewin dikenal sebagai bapak manajemen perubahan, karena ia
dianggap sebagai orang pertama dalam ilmu sosial yang secara khusus melakukan
studi tentang perubahan secara ilmiah. Konsepnya dikenal dengan model force-field yang diklasifikasi sebagai
model power-based karena
menekankan kekuatan-kekuatan penekanan. Menurutnya, perubahan terjadi karena
munculnya tekanan-tekanan terhadap kelompok, individu, atau organisasi. Ia
berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (driving
forces) akan berhadapan dengan
penolakan (resistences) untuk
berubah. Perubahan dapat terjadi dengan memperkuat driving forces dan melemahkan resistences to change.
Langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengelola
perubahan,[3]
yaitu: (1) Unfreezing,
merupakan suatu proses penyadaran tentang perlunya, atau adanya kebutuhan untuk
berubah, (2) Changing,
merupakan langkah tindakan, baik memperkuat driving forces maupun memperlemah resistences, dan (3) Refreesing,
membawa kembali kelompok kepada keseimbangan yang baru (a new dynamic equilibrium). Pada
dasarnya perilaku manusia lebih banyak dapat dipahami dengan melihat struktur
tempat perilaku tersebut terjadi daripada melihat kepribadian individu yang
melakukannya. Sifat struktural seperti sentralisasi, formalisasi dan
stratifikasi jauh lebih erat hubungannya dengan perubahan dibandingkan
kombinasi kepribadian tertentu di dalam organisasi.
Lippit (1958) mencoba mengembangkan
teori yang disampaikan oleh Lewin dan menjabarkannya dalam tahap-tahap yang
harus dilalui dalam perubahan berencana. Terdapat lima tahap perubahan yang
disampaikan olehnya, tiga tahap merupakan ide dasar dari Lewin. Walaupun
menyampaikan lima tahapan Tahap-tahap perubahan adalah sebagai berikut: (1)
tahap inisiasi keinginan untuk berubah, (2) penyusunan perubahan pola relasi
yang ada, (3) melaksanakan perubahan, (4) perumusan dan stabilisasi perubahan,
dan (5) pencapaian kondisi akhir yang dicita-citakan.
Konsep pokok yang disampaikan oleh Lippit diturunkan
dari Lewin tentang perubahan sosial dalam mekanisme interaksional.
Perubahan terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap kelompok, individu,
atau organisasi. Ia berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (driving forces) akan berhadapan dengan penolakan (resistences) untuk berubah. Perubahan
dapat terjadi dengan memperkuat driving
forces dan melemahkan resistences
to change. Peran agen perubahan menjadi sangat penting dalam
memberikan kekuatan driving force.
Atkinson (1987) dan Brooten (1978), menyatakan
definisi perubahan merupakan kegiatan atau proses yang membuat sesuatu atau
seseorang berbeda dengan keadaan sebelumnya dan merupakan proses yang
menyebabkan perubahan pola perilaku individu atau institusi. Ada empat tingkat
perubahan yang perlu diketahui yaitu pengetahuan, sikap, perilaku, individual,
dan perilaku kelompok. Setelah suatu masalah dianalisa, tentang kekuatannya,
maka pemahaman tentang tingkat-tingkat perubahan dan siklus perubahan akan
dapat berguna.
Etzioni (1973) mengungkapkan bahwa, perkembangan
masyarakat seringkali dianalogikan seperti halnya proses evolusi. suatu proses
perubahan yang berlangsung sangat lambat. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh
hasil-hasil penemuan ilmu biologi, yang memang telah berkembang dengan
pesatnya. Peletak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk
“evolusi” antara lain Herbert Spencer dan August Comte. Keduanya memiliki
pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk
perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut
pandangan mereka berjalan lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan”
masyarakat.
Menurut Spencer, suatu organisme akan bertambah
sempurna apabila bertambah kompleks dan terjadi diferensiasi antar
organ-organnya. Kesempurnaan organisme dicirikan oleh kompleksitas,
differensiasi dan integrasi. Perkembangan masyarakat pada dasarnya berarti
pertambahan diferensiasi dan integrasi, pembagian kerja dan perubahan dari
keadaan homogen menjadi heterogen. Spencer berusaha meyakinkan bahwa masyarakat
tanpa diferensiasi pada tahap pra industri secara intern justru tidak stabil
yang disebabkan oleh pertentangan di antara mereka sendiri. Pada masyarakat
industri yang telah terdiferensiasi dengan mantap akan terjadi suatu stabilitas
menuju kehidupan yang damai. Masyarakat industri ditandai dengan meningkatnya
perlindungan atas hak individu, berkurangnya kekuasaan pemerintah, berakhirnya
peperangan antar negara, terhapusnya batas-batas negara dan terwujudnya
masyarakat global.
Seperti halnya Spencer, pemikiran Comte sangat dipengaruhi
oleh pemikiran ilmu alam. Pemikiran Comte yang dikenal dengan aliran
positivisme, memandang bahwa masyarakat harus menjalani berbagai tahap evolusi
yang pada masing-masing tahap tersebut dihubungkan dengan pola pemikiran
tertentu. Selanjutnya Comte menjelaskan bahwa setiap kemunculan tahap baru akan
diawali dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang
berdifat progresif. Sebagaimana Spencer yang menggunakan analogi perkembangan
mahkluk hidup, Comte menyatakan bahwa dengan adanya pembagian kerja, masyarakat
akan menjadi semakin kompleks, terdeferiansi dan terspesialisasi.
Membahas tentang perubahan sosial, Comte membaginya
dalam dua konsep yaitu social statics
(bangunan struktural) dan social
dynamics (dinamika struktural). Bangunan struktural merupakan struktur
yang berlaku pada suatu masa tertentu. Bahasan utamanya mengenai struktur
sosial yang ada di masyarakat yang melandasi dan menunjang kestabilan
masyarakat. Sedangkan dinamika struktural merupakan hal-hal yang berubah dari
satu waktu ke waktu yang lain. Perubahan pada bangunan struktural maupun
dinamika struktural merupakan bagian yang saling terkait dan tidak dapat
dipisahkan.
Kornblum (1988), berusaha memberikan suatu pengertian
tentang perubahan sosial. Ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur
kebudayaan baik yang material maupun immaterial. Penekannya adalah pada
pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial.
Perubahan sosial diartikan sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam
struktur dan fungsi masyarakat.
Definisi lain dari perubahan sosial adalah segala
perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat,
yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada definisi tersebut adalah pada
lembaga masyarakat sebagai himpunan kelompok manusia dimana perubahan
mempengaruhi struktur masyarakat lainnya (Soekanto, 1990). Perubahan sosial
terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan
keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam unsur geografis,
biologis, ekonomis dan kebudayaan.
Moore (2000), perubahan sosial merupakan bagian dari
perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang
meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan
tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya.
Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial.
Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan
tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990). Aksi sosial dapat
berpengaruh terhadap perubahan sosial masyarakat, karena perubahan sosial
merupakan bentuk intervensi sosial yang memberi pengaruh kepada klien atau
sistem klien yang tidak terlepas dari upaya melakukan perubahan berencana.
Pemberian pengaruh sebagai bentuk intervensi berupaya menciptakan suatu kondisi
atau perkembangan yang ditujukan kepada seorang klien atau sistem agar
termotivasi untuk bersedia berpartisipasi dalam usaha perubahan sosial.
Akhirnya dikutip definisi Selo Soemardjan yang akan
dijadikan pegangan dalam pembicaraan selanjutnya. “Perubahan –perubahan sosial
adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu
masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuka didalamnya
nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola per-kelakukan diantara kelompok-kelompok
dalam masyarakat”. Definisi ini menekankan perubahan lembaga sosial, yang
selanjutnya mempengaruhi segi-segi lain struktur masyarakat. Lembaga social
ialah unsur yang mengatur pergaulan hidup untuk mencapai tata tertib melalui
norma.[4]
Definisi lain dari perubahan sosial adalah segala
perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat,
yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada definisi tersebut adalah pada
lembaga masyarakat sebagai himpunan kelompok manusia dimana perubahan
mempengaruhi struktur masyarakat lainnya (Soekanto, 1990). Perubahan sosial
terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan
keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam unsur geografis,
biologis, ekonomis dan kebudayaan. Sorokin (1957), berpendapat bahwa segenap
usaha untuk mengemukakan suatu kecenderungan yang tertentu dan tetap dalam
perubahan sosial tidak akan berhasil baik.
Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan
budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi
kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi
perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang
lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun
demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut
sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990).
B. Tipe-Tipe
Perubahan
Dalam pandangan awam setiap perubahan yang terjadi pada masyarakat disebut
dengan perubahan sosial. Apakah perubahan itu mengenai pakaian, alat
transportasi, pertambahan penduduk, ataupun tingkah laku anak muda. Pada
beberapa pemikir terdapat tiga tipe perubahan yaitu: perubahan sosial, agama
dan budaya.
1.
Perubahan sosial.
perubahan sosial terbatas pada aspek-aspek hubuingan
sosial dan keseimbangannya. Meskipun begitu perlu disadari bahwa sesuatu
perubahan di masyarakat selamanya memiliki mata rantai diantaranya elemen yang
satu dan eleman yang lain dipengaruhi oleh elemen yang lainnya. Perubahan
sosial dapat dilihat dari empat teori, yaitu teori kemunculan diktator dan
demokrasi, teori perilaku kolektif, teori inkonsistensi status dan analisis
organisasi sebagai subsistem social.[5]
1.a. Teori Barrington Moore.
Teori yang
disampaikan oleh Barrington Moore berusaha menjelaskan pentingnya faktor
struktural dibalik sejarah perubahan yang terjadi pada negara-negara maju.
Negara-negara maju yang dianalisis oleh Moore adalah negara yang telah
berhasil melakukan transformasi dari negara berbasis pertanian menuju negara
industri modern. Secara garis besar proses transformasi pada negara-negara maju
ini melalui tiga pola, yaitu demokrasi, fasisme dan komunisme.
Demokrasi
merupakan suatu bentuk tatanan politik yang dihasilkan oleh revolusi oleh kaum
borjuis. Pembangunan ekonomi pada negara dengan tatanan politik demokrasi hanya
dilakukan oleh kaum borjuis yang terdiri dari kelas atas dan kaum tuan tanah.
Masyarakat petani atau kelas bawah hanya dipandang sebagai kelompok pendukung
saja, bahkan seringkali kelompok bawah ini menjadi korban dari pembangunan
ekonomi yang dilakukan oleh negara tersebut. Terdapat pula gejala penhancuran
kelompok masyarakat bawah melalui revolusi atau perang sipil. Negara yang
mengambil jalan demokrasi dalam proses transformasinya adalah Inggris, Perancis
dan Amerika Serikat.
Berbeda
halnya demokrasi, fasisme dapat berjalan melalui revolusi konserfatif yang
dilakukan oleh elit konservatif dan kelas menengah. Koalisi antara kedua kelas
ini yang memimpin masyarakat kelas bawah baik di perkotaan maupun perdesaan.
Negara yang memilih jalan fasisme menganggap demokrasi atau revolusi oleh
kelompok borjuis sebagai gerakan yang rapuh dan mudah dikalahkan. Jepang dan
Jerman merupakan contoh dari negara yang mengambil jalan fasisme.
Komunisme
lahir melalui revolusi kaun proletar sebagai akibat ketidakpuasan atas usaha
eksploitatif yang dilakukan oleh kaum feodal dan borjuis. Perjuangan kelas yang
digambarkan oleh Marx merupakan suatu bentuk perkembangan yang akan berakhir
pada kemenangan kelas proletar yang selanjutnya akan mwujudkan masyarakat tanpa
kelas. Perkembangan masyarakat oleh Marx digambarkan sebagai bentuk linear yang
mengacu kepada hubungan moda produksi. Berawal dari bentuk masyarakat primitif
(primitive communism) kemudian
berakhir pada masyarakat modern tanpa kelas (scientific communism). Tahap yang harus dilewati antara lain,
tahap masyarakat feodal dan tahap masyarakat borjuis. Marx menggambarkan bahwa
dunia masih pada tahap masyarakat borjuis sehingga untuk mencapai tahap
“kesempurnaan” perkembangan perlu dilakukan revolusi oleh kaum proletar.
Revolusi ini akan mampu merebut semua faktor produksi dan pada akhirnya mampu
menumbangkan kaum borjuis sehingga akan terwujud masyarakat tanpa kelas. Negara
yang menggunakan komunisme dalam proses transformasinya adalah Cina dan
Rusia
1.b. Teori Perilaku Kolektif
Teori perilaku kolektif mencoba menjelaskan
tentang kemunculan aksi sosial. Aksi sosial merupakan sebuah gejala aksi
bersama yang ditujukan untuk merubah norma dan nilai dalam jangka waktu yang
panjang. Pada sistem sosial seringkali dijumpai ketegangan baik dari dalam
sistem atau luar sistem. Ketegangan ini dapat berwujud konflik status sebagai
hasil dari diferensiasi struktur sosial yang ada. Teori ini melihat ketegangan
sebagai variabel antara yang menghubungkan antara hubungan antar individu
seperti peran dan struktur organisasi dengan perubahan sosial.
Perubahan pola hubungan antar
individu menyebabkan adanya ketegangan sosial yang dapat berupa kompetisi atau
konflik bahkan konflik terbuka atau kekerasan. Kompetisi atau konflik inilah
yang mengakibatkan adanya perubahan melalui aksi sosial bersama untuk merubah
norma dan nilai.
1.c. Teori Inkonsistensi Status
Stratifikasi sosial pada masyarakat
pra-industrial belum terlalu terlihat dengan jelas dibandingkan pada masyarakat
modern. Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya derajat perbedaan yang timbul
oleh adanya pembagian kerja dan kompleksitas organisasi. Status sosial masih
terbatas pada bentuk ascribed status,
yaitu suatu bentuk status yang diperoleh sejak dia lahir. Mobilitas sosial
sangat terbatas dan cenderung tidak ada. Krisis status mulai muncul seiring
perubahan moda produksi agraris menuju moda produksi kapitalis yang ditandai
dengan pembagian kerja dan kemunculan organisasi kompleks.
Perubahan moda produksi menimbulkan maslaah
yang pelik berupa kemunculan status-status sosial yang baru dengan segala
keterbukaan dalam stratifikasinya. Pembangunan ekonomi seiring perkembangan
kapitalis membuat adanya pembagian status berdasarkan pendidikan, pendapatan,
pekerjaan dan lain sebagainya. Hal inilah yang menimbulkan inkonsistensi status
pada individu.
2.
Perubahan sosial agama
2.a Agama
adalah bagian dari kebudayaan manusia.
Demi
pemahaman baiknya masalah mengenai hal ini lebih baik kita ingat kembali:
pengertian agama dan pengertian kebudayaan. Tanpa mengulang kembali definisi
agama seluruhnya, cukuplah kiranya bahwa agama dipandang oleh sosiologi sebagai
suatu jenis system sosial tertentu, yang dibuat oleh penganunya. Sedangkan
pengertian kebudayaan menurut pandangan sosiologi ialah keseluruhan pola
kelakuan ahir dan batin yang memungkinkan hubungan sosial antara angota-angota
suatu masyarakat. Pola kelakuan lhiriyah ialah cara bertindak yang ditiru oleh
banyak orang berulang-ulang. Pola kelakuan batin ialah cara berfikir,
berkemauan dan merasa yang diikuti orang banyak berulangkali.[6]
Agama
sebagai suatu system sosial didalam kandungannya merangkum suatu kompleks pola
kelakuan lahir dan batin yang ditaati penganut-penganutnya. Dengan cara itu
pemeluk-pemeluk agama baik secara pribadi mauapun bersama-sama berkontak dengan
“yang suci”dan dengan saudara-saudara seiman. Mereka mengngkapkan fikirannya,
isis hatinya dan perasaannya kepada tuhan menurut pola-pola tertentu dan
lambing-lambang tertentu. Agama terkena proses sosial dan institusionalisasi
dan menggunakan mekanisme kerja yang berlaku.[7]
2.b. Agama sebagai institusi sosial.
Persoalan
apakah agama itu seyogyanya tidak berbentuk institusi atau sebaliknya yaitu
harus berbentuk institusi bukanlah masalah utama dari sosiologi. Masalah itu
mungkin primer untuk teologi atau falsafat. Namun karena sosiologi agama
menghadapi kenyataan kongkrit agama sebagai intitusi sosial, maka ia wajib
memberikan penerangan yag msauk akal dengan caranya sendiri mengapa hal yang
demikian itu terjadi. [8].
Jawaban
atas soal diatas dalam garis besarnya sama dengan jawaban atas soal: mengapa
hidup bersama berbentuk sekian banya institusi?, misalnya, prokreasi dalam
bentuk perkawinan, pendidikan anak menjelma dalam departemen P dan K, lembaga
yudisial dan seterusnya. Kenyataan yang ada dapat dikatakan, seluruh kegiatan
dimulai daru kelahiran sampai dengan kematian tidak lolos dari
peraturan-peraturan yang dilembagakan. Demikian pula kehidupan beragama sebagai
fakta sosial ternyata juga tidak luput dari mekanisme institusional. Namun
pertanyaan belum terjawab: mengapa agama de fakto adalah suatu lembaga.
Untuk
menjwab hal itu maka kita harus memahami hal yang berkaitan mengenai institusi
religious, fakta-fakta proses institusi religious dan unsure-unsur
institusional religious[9].
3.
Perubahan kebudayaan
Kecenderungan terjadinya perubahan-perubahan
sosial budaya merupakan gejala yang wajar yang timbul dari pergaulan hidup
manusia di dalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial akan terus berlangsung
sepanjang masih terjadi interaksi antarmanusia dan antarmasyarakat.
Perubahan sosial budaya terjadi
karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan
masyarakat, seperti perubahan dalam unsurunsur geografis, biologis, ekonomis,
dan kebudayaan. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan
dengan perkembangan zaman yang dinamis. Teori klasik dalam sosiologi dimaknai
sebagai teori yang mengawali munculnya berbagai studi kemasyarakatan
(sosiologi), kemudian teori ini juga menjadi dasar bagi munculnya teori-teori
yang lahir sesudahnya. Kajian mengenai sosiologi sebenarnya telah dimulai sejak
abad ke-14, diawali dengan pemikiran Ibnu Khaldun (lahir tahun 1332). Meskipun
Khaldun tidak menyebut pemikirannya adalah pemikiran yang sosiologis, namun
sebenarnya pemikirannya sangat sosiologis. Ia tidak memakai terminologi
sosiologi, namun ia banyak menggunakan konsep-konsep dalam sosiologi, seperti
konsep masyarakat dan solidaritas sosial. Pemikiran Khaldun juga
dikenal dalam disiplin ilmu politik, agama, sejarah dan filsafat.
Secara makro, studi mengenai perubahan sosial
budaya dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok pemikiran, yaitu kelompok
teori yang dikategorikan dalam teori evolusi, teori konflik, teori fungsional,
dan teori siklus. Adapun teori-teori secara
rinci yang menjelaskan mengenai perubahan sosial adalah sebagai berikut:
1.
Teori Evolusi ( Evolution Theory )
Teori ini pada
dasarnya berpijak pada perubahan yang memerlukan proses yang cukup panjang.
Dalam proses tersebut, terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui untuk
mencapai perubahan yang diinginkan. Ada bermacam-macam teori tentang evolusi. TeoIri
tersebut digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu unilinear theories of
evolution, universal theories of evolution, dan multilined theories of
evolution. [10].
a. Unilinear Theories of Evolution
Teori ini berpendapat bahwa
manusia dan masyarakat termasuk kebudayaannya akan mengalami perkembangan
sesuai dengan tahapan-tahapan tertentu dari bentuk yang sederhana ke bentuk
yang kompleks dan akhirnya sempurna. Pelopor teori ini antara lain Auguste
Comte dan Herbert Spencer.
b. Universal Theories of Evolution
Teori ini menyatakan bahwa
perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap tertentu yang tetap.
Kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi tertentu. Menurut
Herbert Spencer, prinsip teori ini adalah bahwa masyarakat merupakan hasil
perkembangan dari kelompok homogen menjadi kelompok yang heterogen.
c. Multilined Theories of Evolution
Teori ini lebih menekankan
pada penelitian terhadap tahap-tahap perkembangan tertentu dalam evolusi
masyarakat. Misalnya mengadakan penelitian tentang perubahan sistem mata
pencaharian dari sistem berburu ke sistem pertanian menetap dengan menggunakan
pemupukan dan pengairan.
Menurut
Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, ada beberapa kelemahan dari Teori Evolusi
yang perlu mendapat perhatian, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Data
yang menunjang penentuan tahapan-tahapan dalam masyarakat menjadi sebuah
rangkaian tahapan seringkali tidak cermat.
b. Urut-urutan
dalam tahap-tahap perkembangan tidak sepenuhnya tegas, karena ada beberapa
kelompok masyarakat yang mampu melampaui tahapan tertentu dan langsung menuju
pada tahap berikutnya, dengan kata lain melompati suatu tahapan. Sebaliknya,
ada kelompok masyarakat yang justru berjalan mundur, tidak maju seperti yang diinginkan
oleh teori ini.
c. Pandangan
yang menyatakan bahwa perubahan sosial akan berakhir pada puncaknya, ketika
masyarakat telah mencapai kesejahteraan dalam arti yang seluas-luasnya.
Pandangan seperti ini perlu ditinjau ulang, karena apabila perubahan memang
merupakan sesuatu yang konstan, ini berarti bahwa setiap urutan tahapan
perubahan akan mencapai titik akhir.
Padahal
perubahan merupakan sesuatu yang bersifat terus menerus sepanjang manusia
melakukan interaksi dan sosialisasi.
2.
Teori Konflik ( Conflict Theory )
Menurut pandangan teori ini, pertentangan atau konflik bermula dari
pertikaian kelas antara kelompok yang menguasai modal atau pemerintahan dengan
kelompok yang tertindas secara materiil, sehingga akan mengarah pada perubahan
sosial. Teori ini memiliki prinsip bahwa konflik sosial dan perubahan sosial
selalu melekat pada struktur masyarakat[11].
Teori ini menilai bahwa sesuatu yang konstan atau tetap adalah
konflik sosial, bukan perubahan sosial. Karena perubahan hanyalah merupakan
akibat dari adanya konflik tersebut. Karena konflik berlangsung terus-menerus,
maka perubahan juga akan mengikutinya. Dua tokoh yang pemikirannya menjadi
pedoman dalam Teori Konflik ini adalah Karl Marx dan Ralf Dahrendorf. Secara
lebih rinci, pandangan Teori Konflik lebih menitikberatkan pada hal berikut
ini.
a. Setiap
masyarakat terus-menerus berubah.
b.
Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang perubahan masyarakat.
c.
Setiap masyarakat biasanya berada dalam ketegangan dan konflik.
d. Kestabilan
sosial akan tergantung pada tekanan terhadap golongan yang satu oleh golongan
yang lainnya.
3.
Teori Fungsional ( Functionalist Theory )
Konsep yang berkembang dari
teori ini adalah cultural lag (kesenjangan budaya). Konsep ini mendukung Teori
Fungsionalis untuk menjelaskan bahwa perubahan sosial tidak lepas dari hubungan
antara unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat. Menurut teori ini, beberapa
unsur kebudayaan bisa saja berubah dengan sangat cepat sementara unsur yang
lainnya tidak dapat mengikuti kecepatan perubahan unsur tersebut. Maka, yang
terjadi adalah ketertinggalan unsur yang berubah secara perlahan tersebut.
Ketertinggalan ini menyebabkan kesenjangan sosial atau cultural lag .[12]
Para penganut Teori
Fungsionalis lebih menerima perubahan sosial sebagai sesuatu yang konstan dan
tidak memerlukan penjelasan. Perubahan dianggap sebagai suatu hal yang
mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses pengacauan ini berhenti pada saat
perubahan itu telah diintegrasikan dalam kebudayaan. Apabila perubahan itu
ternyata bermanfaat, maka perubahan itu bersifat fungsional dan akhirnya
diterima oleh masyarakat, tetapi apabila terbukti disfungsional atau tidak
bermanfaat, perubahan akan ditolak. Tokoh dari teori ini adalah William Ogburn.
Secara lebih ringkas, pandangan Teori Fungsional adalah sebagai
berikut.
a. Setiap
masyarakat relatif bersifat stabil.
b.
Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang kestabilan masyarakat.
c.
Setiap masyarakat biasanya relatif terintegrasi.
d. Kestabilan
sosial sangat tergantung pada kesepakatan bersama (konsensus) di kalangan
anggota kelompok masyarakat.
4.
Teori Siklus ( Cyclical Theory )
Teori ini mencoba melihat bahwa suatu perubahan sosial itu tidak
dapat dikendalikan sepenuhnya oleh siapapun dan oleh apapun. Karena dalam
setiap masyarakat terdapat perputaran atau siklus yang harus diikutinya.
Menurut teori ini kebangkitan dan kemunduran suatu kebudayaan atau kehidupan
sosial merupakan hal yang wajar dan tidak dapat dihindari.[13]
Sementara itu, beberapa bentuk Teori Siklis adalah sebagai berikut:
a.
Teori Oswald Spengler (1880-1936)
Menurut teori ini, pertumbuhan manusia mengalami empat tahapan,
yaitu anak-anak, remaja, dewasa, dan tua. Pentahapan tersebut oleh Spengler
digunakan untuk menjelaskan perkembangan masyarakat, bahwa setiap peradaban
besar mengalami proses kelahiran, pertumbuhan, dan keruntuhan. Proses siklus
ini memakan waktu sekitar seribu tahun.
b.
Teori Pitirim A. Sorokin (1889-1968)
Sorokin berpandangan bahwa semua peradaban besar berada dalam
siklus tiga sistem kebudayaan yang berputar tanpa akhir. Siklus tiga sistem
kebudayaan ini adalah kebudayaan ideasional, idealistis, dan sensasi.
1) Kebudayaan ideasional, yaitu kebudayaan yang didasari oleh
nilai-nilai dan kepercayaan terhadap kekuatan supranatural.
2) Kebudayaan idealistis, yaitu kebudayaan di mana kepercayaan
terhadap unsur adikodrati (supranatural) dan rasionalitas yang berdasarkan
fakta bergabung dalam menciptakan masyarakat ideal.
3) Kebudayaan sensasi, yaitu
kebudayaan di mana sensasi merupakan tolok ukur dari kenyataan dan tujuan
hidup.
c.
Teori Arnold Toynbee (1889-1975)
Toynbee menilai bahwa peradaban besar berada dalam siklus
kelahiran, pertumbuhan, keruntuhan, dan akhirnya kematian. Beberapa peradaban
besar menurut Toynbee telah mengalami kepunahan kecuali peradaban Barat, yang
dewasa ini beralih menuju ke tahap kepunahannya.
5.
Teori Linier (Teori Perkembangan)
Perubahan sosial budaya bersifat linier atau berkembang menuju
titik tertentu, dapat direncanakan atau diarahkan. Beberapa tokoh sosiologi mengemukakan tentang
teori linier yaitu:
a. Emile Durkheim: Masyarakat berkembang dari solidaritas mekanik
ke solidaritas organic
b. Max Weber : Masyarakat berubah secara linier dari masyarakat
yang diliputi oleh pemikiran mistik dan penuh tahayul menuju masyarakat yang
rasional
c. Herbert Spencer : mengembangkan teori Darwin, bahwa orang-orang
yang cakap yang akan memenangkan perjuangan hidup
Ketiga tokoh diatas menggambarkan bahwa setiap masyarakat
berkembang melaui tahapan yang pasti.
Teori Linier dibedakan menjadi:
a.
Teori evolusi
Perubahan
sosial budaya berlangsung sangat lambat dalam jangka waktu lama. Perubahan
sosial budaya dari masyarakat primitif, tardisional dan bersahaja menuju
masyarakat modern yang kompleks dan maju secara bertahap.[14] Comte
mengemukakan perkembangan masyarakat mengikuti perkembangan cara berfikir
masyarakat tersebut yaitu tahap teologi (khayalan), tahap metafisis (abstraksi)
dan tahap ilmiah (positif)
Sedangkan
Lenski berpendapat bahwa masyarakat berubah dari pra industri, industri dan
pasca industry.
Beberapa
teori Evolusi:
1)
Teori Evolusi Unilinear
Masyarakat
mengalami perkembangan sesuai dengan tahapan tertentu, berawal dari bentuk
sederhana, komplek hingga sempurna. Tokohnya antara lain, Comte, Spencer. Suatu
Variasi dari teori ini adalah Cylical theories dari Vilfredo Pareto
2)
Teori Evolusi Universal
Perkembangan
masyarakat tidaklah perlu melalui tahapan tertentu tetapi mengikuti suatu garis
evolusi tertentu. Misal dari kelompok homogen ke kelompok yang heterogen sifat dan
susunannya (Herbert Spencer)
3)
Teori Evolusi Multilinear
Teori
ini menekankan penelitian terhadap tahap perkembangan yang tertentu dalam
evolusi masyarakat, misal penelitian pengaruh sistem perubahan sistem mata
pencaharian dari berburu ke sistem pertanian atau terhadap sistem kekeluargaan
dalam masyarakat yang bersangkutan
b.
Teori Revolusi
Perubahan sosial menurut teori revolusi
adalah perubahan sosial budaya berlangsung secara drastic atau cepat yang
mengarah pada sendi utama kehidupan masyarakat (termasuk kembaga
kemasyarakatan).
Karl Marx berpendapat bahwa masyarakat
berkembang secara linier dan bersifat revolusioner, dari yang bercorak feodal
lalu berubah revolusioner menjadi masyarakat kapitalis kemudian berubah menjadi
masyarakat sosialis – komunis yang merupakan puncak perkembangan masyarakat
Suatu revolusi dapat berlangsung dengan
didahului suatu pemberontakan (revolt rebellion). Adapun syarat revolusi adalah
:
1) Ada keinginan umum mengadakan suatu perubahan
2) Adanya kelompok yang dianggap mampu memimpin
masyarakat
3) Pemimpin harus mampu manampung keinginan
masyarakat
4) Pemimpin menunjukkan suatu tujuan yang konkret
dan dapat dilihat masyarakat
5) Adanya momentum untuk revolusi
6.
Teori Ekuilibrium
Pendekatan ekuilibrium menyatakan bahwa terjadinya perubahan sosial
dalam suatu masyarakat adalah karena terganggunya keseimbangan di antara
unsur-unsur dalam sistem sosial di kalangan masyarakat yang bersangkutan, baik
karena adanya dorongan dari faktor lingkungan (ekstern) sehingga memerlukan
penyesuaian (adaptasi) dalam sistem sosial, seperti yang dijelaskan oleh
Talcott Parsons, maupun karena terjadinya ketidakseimbangan internal seperti
yang dijelaskan dengan Teori kesenjangan Budaya (cultural lag) oleh William F.
Ogburn (Tokoh yang juga menjelaskan mengenai teori materialis).
Teori ekuilibrium yang dijelaskan diatas cenderung mengatakan bahwa
perubahan sosial dikarenakan adanya salah satu bagian sistem yang tidak
berfungsi dengan baik. Dalam pendekatan ini perubahan sosial berjalan dengan
lambat dan perubahan sosial diatur dan dikendalikan oleh struktur yang ada
(behind design) atau rekayasa sosial.[15]
Secara
eksplisit pendekatan ini tidak menginginkan adanya perubahan sosial, dibukti
dengan adanya keharus aktor atau institusi sosial untuk memiliki prinsip
Adaptasi, Gold, Integrasi, (AGIL) dalam sistem sosial. Keseimbangan sistem
dibutuhkan dalam mencapai tujuan bersama.
7. Teori Materialis (Materialist Theory)
Teori
Materialis disampaikan oleh William F. Ogburn.
Inti dari teori ini adalah bahwa:
1. Penyebab
dari perubahan adalah adanya ketidakpuasan masyarakat karena kondisi sosial
yang berlaku pada masa yang mempengaruhi pribadi mereka.
2. Meskipun
unsur-unsur sosial satu sama lain terdapat hubungan yang berkesinambungan,
namun dalam perubahan ternyata masih ada sebagian yang mengalami perubahan
tetapi sebagian yang lain masih dalam
keadaan tetap (statis). Hal ini juga disebut dengan istilah cultural lag,
ketertinggalan menjadikan kesenjangan antar unsur-unsur yang berubah sangat
cepat dan yang berubah lambat. Kesenjangan ini akan menyebabkan kejutan sosial
pada masyarakat. Ketertinggalan budaya menggambarkan bagaimana beberapa unsur
kebudayaan tertinggal di belakang perubahan yang bersumber pada penciptaan,
penemuan dan difusi. Teknologi, menurut Ogburn, berubah terlebih dahulu,
sedangkan kebudayaan berubah paling akhir. Dengan kata lain kita berusaha
mengjar teknologi yang terus menerus berubah dengan mengadaptasi adat dan cara
hidup kita untuk memenuhi kebutuhan teknologi. Teknologi menyebabkan terjadinya
perubahan sosial cepat yang sekarang melanda dunia.
3. Perubahan
teknologi akan lebih cepat dibanding dengan perubahan pada perubahan budaya,
pemikiran, kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma yang menjadi alat untuk
mengatur kehidupan manusia. Oleh karena itu, perubahan seringkali menghasilkan
kejutan sosial yang yang apada gilirannya akan memunculkan pola-pola perilaku
baru, meskipun terjadi konflik dengan nilai-nilai tradisional.
8. Teori Modernisasi
Pendekatan modernisasi yang dipelopori oleh Wilbert More, Marion
Levy, dan Neil Smelser, pada dasarnya merupakan pengembangan dari
pikiran-pikiran Talcott Parsons, dengan menitikberatkan pandangannya pada
kemajuan teknologi yang mendorong modernisasi dan industrialisasi dalam
pembangunan ekonomi masyarakat. Hal ini mendorong terjadinya
perubahan-perubahan yang besar dan nyata dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat termasuk perubahan dalam organisasi atau kelembagaan masyarakat.[16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perubahan
sosial budaya adalah perubahan yang mencakup hampir semua aspek kehidupan
sosial dan budaya dari suatu masyarakat atau komunitas. Acapkali tidak
mudah untuk menentukan letak garis pemisah antara perubahan sosial dan
perubahan kebudayaan. Akan tetapi, perubahan sosial dan budaya mempunyai
satu aspek yang sama yaitu kedua-duanya memiliki keterikataan dengan suatu
penerimaan dari cara baru atau suatu perbaikan dari cara masyarakat dalam
memenuhi kebutuhannya.
Proses
Perubahan Sosial Budaya, diawali dengan penyesuaian masyarakat terhadap
perubahan yang terjadi, kemudian dilanjutkan dengan saluran-saluran perubahan
sosial budaya (avenue or channel of change), dimana lembaga
kemasyarakatan memiliki peran yang amat penting. Proses selanjutnya yaitu
Disorganisasi (disintegrasi) dan reorganisasi (reintegrasi).
Teori
mengenai perubahan sosial budaya antara lain yaitu: Teori evolusi, teori
konflik, teori fungsional, teori siklus, teori linier (teori perkembangan)
teori ekuilibrium, teori materialis (materialist theory) dan teori modernisasi.
Mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan perubahan sosial budaya, di dalamnya terdapat
bentuk, faktor pendorong, faktor penghambat dan faktor penyebab timbulnya
perubahan sosial budaya di dalam masyarakat.
Mengenai
relasi antara pendidikan dan perubahan sosial budaya adalah saling
berintegrasi. Posisi pendidikan dalam perubahan social sesuai dengan pernyataan
Eisenstadt, institusionalisasi merupakan proses penting untuk membantu
berlangsungnya transformasi potensi-potensi umum perubahan sehingga menjadi
kenyataan sejarah. Dan pendidikanlah yang menjadi salah satu institusi yang
terlibat dalam proses tersebut. Pendidikan adalah suatu institusi
pengkonservasian yang berupaya menjembatani dan memelihara warisan-warisan
budaya masyarakat. Disamping itu pendidikan berfungsi untuk mengurangi
kepincangan yang terjadi dalam masyarakat. Pendidikan harus dipandang sebagai
institusi penyiapan anak didik untuk mengenali hidup dan kehidupan itu sendiri,
jadi bukan untuk belajar tentang keilmuan dan keterampilan karenanya yang
terpenting bukanlah mengembangkan aspek intelektual tetapi lebih pada
pengembagan wawasan, minat dan pemahaman terhadap lingkungan social budayanya.
B.
Kritik dan Saran
Dalam makalah ini penulis menyampaikan
beberapa pesan dan berupa saran,
diantaranya:
1.
Setelah membaca makalah ini , pemakalh anjurkan pembaca agar
memahami nya lagi.
2. Mempelajari teori-teori perubahan sosial agama dan budaya bukanlah merupakan kerugian , Karena didalam
kehi dupan ini Budaya adalah salah satu fase (tahapan) kehidupan
manusia yang berkembang mengikuti akal, daya dan upaya dalam cipta, karsa dan
rasa manusia.
3. Kita selaku masyarakat yang berbudaya tidak hanya
di anjurkan untuk bangai mana mengenali dan mempelajari tentang teori-teori
kebudayaan sosial agama dan budaya saja , akan tetapi juga dianjurkan untuk mengahargai
dan menerapkan teori-teori tersebut dalam mencapai keinginan yang berdampak
positif .
4. Apabila terdapat kesalahan didalam makalah
ini, itu merupakan kelalaian dari kami
5. Sesuai dengan apa yang kami sajikan didalam
makalah ini, Di harapkan kepada pembaca agar dapat mengaplikasikan di dalam
kehidupan sehari-hari apabila terdapat kebenaran adanya.
DAFTAR FUSTAKA
Hendopuspito,
1983, Sosiologi Agama, Jakarta: Kanisius
Hadiwardoyo
Purwa, 1990, Moral dan Masalahnya, Kanisius, Yogyakarta
Hendra
Purwanto, 2003, Teori-teori kebudayan, Paradigma: Yogyakarta
Koencaraningrat,
2004, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan
Kama
Abdul Hakam, 2002, Pendidikan Nilai,Value Press: Bandung
Muji Sutisno,
dkk, 2005, Teori-Teori Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius
Noor Arifin,
1997, Ilmu Sosial Dasar, Bandung, CV Pustaka Sertia.
Soerjono
Soekanto, 1974, Sosiologi Suatu
Pengantar, Jakarta : Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.
Wardiah, Siti,
2000, Antropologi, Jakarta: Bumi Aksara
Setiadi, Elly
M, 2006, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta; Kencana
[1] Elly M Setiady, Ilmu Soisla
dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2006) h. 26
[2]. Ibid. h. 49
[3]. Ibid, h. 44
[4]. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta :
Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1974), hal. 217
[5]. ELLY M. Setiadi, Loc Cit.
[6]. D. Hendro Puspito O.C, Sosiologi Agama, (Yogyakarta:
Kanisius, 1983). H. 111.
[7]. Ibid,h. 112
[8]. Ibid, h. 113
[9]. Ibid, h. 114
[10]. Elly M Setiadi,Ilmu dan Budaya Sosial Dasar, Op,Cit.
h.51
[11] Ibid.
[13]. Ibid
[14]. Ibid.
[15]. Ibid.h. 54
[16]. Ibid, h.57
sekian yang dapat kami tuliskan semoga bisa menjadi refrensi bagi teman-teman sekalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar