BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Ilmu
merupakan kata yang lazim terdengar di tengah-tengah masyarakat, mudah terucap
dan selalu dapat dimengerti oleh orang-orang sesuai dengan perspektif mereka
yang mereka pahami. Hal yang paling sering terjadi, ilmu selalu dikaitkan
dengan apa yang dipelajari dan diajarkan di sekolah-sekolah atau tempat
pendidikan lainnya. Padahal sejatinya, cakupan ilmu bukan sekedar yang
tergambar dalam susunan jadwal pembelajaran di sekolah dan sebagainya.
Ilmu
bukan sekadar pengetahuan (knowledge),
tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat
secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu
tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha
berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan
adalah produk dari epistemologi.
Selanjutnya, sebagai contoh Ilmu Alam hanya bisa
menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi ke dalam hal yang bahani (material
saja), atau ilmu psikologi hanya bisa meramalkan perilaku manusia jika lingkup
pandangannya dibatasi ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang konkret.
Berkenaan dengan contoh ini, ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa
jarak matahari dan bumi, atau ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi
cocok menjadi perawat.
Berkenan
dengan ilmu, sangat dominan sekali pendapat yang mengatakan ilmu dan
pengetahuan itu sama. Bahkan keduanya disandingkan seolah-olah menyatu dan
tidak terpisahkan. Persepsi yang telah terdoktrin di masyarakat ini seperti
telah berakar terlebih lagi bagi masyarakat awam yang benar-benar kurang
pemahaman akan apa itu ilmu sebenarnya. Berangkat dari sini, kami selaku
pemakalah mencoba untuk menguraikan ilmu pada taraf sesungguhnya. Dan mencoba
untuk memberi pemahaman kepada pembaca sekalian tentang pembahasan mengenai ilmu.
1.2. Maksud
dan Tujuan.
Maksud
dan tujuan dalam pembuatan makalah ini diantaranya :
- Mengkaji lebih dalam hal-hal yang berkaitan dengan ilmu.
- Menambah wawasan akan batasan ilmu pada takaran sebenarnya.
- Menguraikan perbedaan ilmu dan pengetahuan yang selama ini dianggap sama.
- Menguraikan sekilas kedudukan masing-masing antara ilmu, filsafat dan agama.
1.3. Rumusan
Masalah.
Rumusan
masalah dalam pembahasan ini adalah :
- Apa itu ilmu ?
- Bagaimana ilmu dalam Islam ?
- Dimana letak perbedaan ilmu dan pengetahuan serta filsafat ?
- Bagaimana penjelasan tentang ontologi, epistemologi dan aksiologi yang disebut sebagai dasar-dasar ilmu ?
1.4. Batasan
Masalah.
Dalam pembahasan ini,
kami selaku pemakalah membatasi pembahasan masalah hanya pada ruang lingkup sebagaimana
yang tercantum dalam rumusan masalah di atas. Dengan maksud sebagai
pertimbangan agar pembahasan ini nantinya tidak keluar dari ruang lingkup
materi yang telah ditetapkan atau yang akan kami bahas dan kami uraikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Ilmu.
Ilmu
hanyalah merupakan salah satu jenis pengetahuan yang dimiliki manusia di antara
berbagai pengetahuan yang lain. Namun sejauh ini kiranya ilmulah yang merupakan
pengetahuan yang paling dapat diandalkan berkaitan dengan fakta empiris. Penjelasan
ilmiah, tentang fenomena gerhana bulan, misalnya, yang paling dapat memberikan
kepuasan pada rasa ingin tahu manusia dibandingkan dengan penjelasan yang lain.
Selain itu, tradisi akademis yang dikembangkan di sekolah maupun perguruan
tinggi membuat setiap orang yang pernah belajar menjadi terbiasa dengan ilmu,
meskipun sejauh ini sumber pengetahuan yang paling berkembang baru sampai
tahapan otoritas. Tradisi akademis membuat orang menjadi semakin rasional,
sadar ataupun tidak, orang yang pernah menuntut ilmu tertentu hanya akan puas
apabila setiap persoalan yang dihadapi dapat diberikan eksplanasi secara
ilmiah: dalam arti didukung data dan fakta yang dapat dilakukan verifikasi
secara empiris. Ilmu adalah himpunan fakta-fakta serta aturan-aturan yang
menyatakan hubungan antara satu dengan yang lain. Fakta itu tersusun secara
sistematik serta dinyatakan dalam bahasa yang tepat dan pasti sehingga mudah
dipahami, mudah dicari kembali, dan mudah mengerti untuk komunikasi.[1]
Pengertian selanjutnya, ilmu adalah
suatu bentuk aktiva manusia yang dengan melakukannya umat manusia memperleh
suatu pengetahuan dan senantiasa lebih lengkap dan lebih cermat tentang alam di
masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat
untuk menyesuaikan dirinya pada dan mengubah lingkungannya serta mengubah
sifat-sifatnya sendiri.[2]
Berbeda
dengan pengetahuan, ilmu
merupakan pengetahuan khusus tentang apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada
persyaratan ilmiah sesuatu
dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak
terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
- Objektif, Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, sehingga disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
- Metodis, adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
- Sistematis, dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
- Universal, kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
2.2. Dasar-dasar Ilmu.
- Ontologi.
Ontologi merupakan salah satu
diantara lapangan penyeledikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam
pikiran Yunani telah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Dalam
persoalan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ?
pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi
(kebenaran) dan kedua, kenyataan yang
berupa rohani (kejiwaan). Pembicaraan mengenai hakikat sangatlah luas sekali,
yaitu segala yang ada dan mungkin ada. Hakikat adalah realitas, realita adalah
ke-real-an, Real artinya kenyataan
yang sebenarnya. Jadi, hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan
kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang
berubah.[3]
Amsal Bakhtiar mengatakan, ontologi berasal dari kata ontos = sesuatu yang
berwujud. Ontologi adalah teori atau ilmu tentang wujud, tentang hakikat yang
ada. Ontologi tidak banyak berdasar pada alam nyata, tetapi berdasar pada
logika semata-mata.[4]
Ahmad Tafsir mencontohkan tentang
hakikat makna demokrasi dan fatamorgana. Pada hakikatnya pemerintahan
demokratis menghargai pendapat rakyat. Mungkin orang pernah menyaksikan
pemerintahan itu melakukan tindakan sewenang-wenang, tidak menghargai pendapat
rakyat. Itu hanyalah keadaan sementara, bukan hakiki, yang hakiki pemerintahan
itu demokratis. Tentang hakikat fatamorgana dicontohkan, kita melihat suatu
objek fatamorgana. Apakah real atau tidak ? Tidak, fatamorgana bukan hakikat,
hakikat fatamorgana itu ialah tidak ada.[5]
Sementara itu, A. Dardiri
mengatakan, ontologi adalah menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara
fundamental dan cara yang berbeda dimana entitas dari kategori-kategori yang
logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal universal, abstraksi) dapat
dikatakan ada.[6]
Di dalam pemahaman ontologi dapat
diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut :
a. Monoisme,
hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin
dua.
b. Dualisme,
benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat
materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit.
c. Pluralisme,
paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan.
d. Nihilisme,
sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif.
e. Agnostisisme,
paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda.[7]
- Epistemologi.
Epistemologi atau teori pengetahuan
adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[8]
Mula-mula manusia percaya bahwa
dengan kekuatan pengenalannya ia dapat mencapai realitas sebagaimana adanya.
Para filosofispra Socrates, yaitu filosof pertamadi dalam tradisi barat, tidak
memberikan perhatian pada cabang filsafat ini sebab mereka memusatkan perhatian
terutama pada alam dan kemungkinan perubahannya, sehingga mereka kerap dijuluki
filosof alam. Mereka mengandaikan begitu saja bahwa pengetahuan mengenai kodrat
itu mungkin, meskipun beberapa diantara mereka menyarankan bahwa pengetahuan
mengenai struktur kenyataan dapat lebih dimunculkan dari sumber-sumber tertentu
ketimbang sumber-sumber lainnya. Herakleitus, misalnya, menekankan penggunaan indera,
sementara Parmanides menekankan penggunaan akal, meskipun demikian, tak seorang
pun diantara mereka yang meragukan kemungkinan adanya pengetahuan mengenai
kenyataan (realitas).[9]
Pengetahuan yang diperoleh oleh
manusia melalui akal, indera dan lain-lain mempunyai metode sendiri di dalam
pengetahuan, diantaranya adalah :
a. Metode
Induktif.
b. Metode
Deduktif.
c. Metode
Positivisme.
d. Metode
Kontemplatif.
e. Metode
Dialektis.[10]
3. Aksiologi.
Ilmu merupakan sesuatu yang paling
penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia
bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang
tidak bisa di pungkiri bahwap peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu.
Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit,
kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan
kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti
transportasi pemuiman, pendidikan, komunikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya
ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah
ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia? dan memang sudah
terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai
bentuk teknologi. Misalnya, pembuatan bom yang pada awalnya untuk mempermudah
manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang
menimbukan mala petaka bagi manusia itu sendiri, seperti yang terjadi di Bali
baru-baru ini dan menciptakan senjata kuman yang dipakai sebagai alat untuk
membunuh sesama manusia. Disinilah ilmu harus diletakkan secara proporsinal dan
memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab, jika ilmu tidak
berpihak kepada nilai-nilai maka yang terjadi adalah bencana dan mala petaka.[11]
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud
dengan aksiologi, kami akan menguraikan beberapa defenisi tentang aksiologi,
diantaranya :
1. Aksiologi
yang berasal dari aksios (yunani)
yang berarti nilai dan logos yang
berarti teori. Jadi, aksiologi adalah “teori tentang nilai”.[12]
2. Sedangkan
arti aksiologi yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Surya Sumantri filsafat
ilmu sebuah pengantar populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai
yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
3. Menurut
Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conducte, yaitu tindakan moral, bagian ini
melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua,
ecteheticexpression, yaitu expresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-politicalipe, yaitu
kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsapat sosio politik.[13]
4. Dalam
encyclopedia of philosophy dijelaskan, aksiologi disamakan dengan value
andvaluaton. Ada tiga bentuk value
dan valuaton (nilai dianggap sebagai
kata benda abstrak, nilai sebagaikata benda kogkrit, nilai juga
digunakansebagai kata kerja dalam exspresi nilai, memberi nilai, dan di nilai).
2.3
Kedudukan Ilmu, Filsafat dan Agama.
Ilmu, filsafat dan agama mempunyai
hubungan yang terkait dan reflekrif dengan manusia. Dikatakan terkait karena
ketiganya tidak dapat bergerak dan berkembang apabila tidak ada tiga alat dan
tenaga utama yang berada dalam diri manusia. Tiga alat dan tenaga utama manusia
adalah akal pikir, rasa dan keyakinan. Sehingga dengan ketiga hal tersebut
manusia dapat mencapai kebahagiaan bagi dirinya.
Ilmu dan filsafat dapat bergerak dan
berkembang berkat akal pikiran manusia. Juga, agama dapat bergerak dan
berkembang berkat adanya keyakinan. Akan tetapi, ketiga alat dan tenaga utama
tersebut tidak dapat berhubungan dengan ilmu, filsafat, dan agama apabila tidak
didorong dan dijalankan kemauan manusia yang merupakan tenaga tersendiri yang
terdapat dalam diri manusia.
Dikatakan reflektif karena ilmu,
filsafat dan agama, baru dapat dirasakan (diketahui) faedahnya/ manfaatnya
dalam kehidupan manusia, apabila ketiganya merefleksi (lewat proses pantul
diri) dalam diri manusia.
Ilmu mendasarkan pada akal pikir
lewat pengalaman dan indra, dan filsafat mendasarkan pada otoritas akal murni
secara bebas dalam penyelidikan terhadap kenyataan dan pengalaman terutama
dikaitkan dengan kehidupan manusia. Sedangkan agama mendasarkan pada otoritas
wahyu. Harap dibedakan agama yang berasal dari pertumbuhan dan perkembangan
filsafat yang mendasarkan pada konsep-konsep tentang kehidupan dunia, terutama
konsep-konsep tentang moral.
Menurut Prof. Nasroen, S.H,
mengemukakan bahwa filsafat yang sejati haruslah berdasarkan pada agama.
Apabila filsafat tidak berdasarkan pada agama dan filsafat hanya semata-mata
berdasarkan atas akal pikir saja, filsafat tersebut tidak akan memuat kebenaran
objektif karena memberikan penerangan dan putusan adalah akal pikir. Sementara itu, kesanggupan akal pikiran
terbatas sehingga filsafat yang hanya berdasarkan akal pikir semata-mata akan
tidak sanggup memberi kepuasan manusia,
terutama dalam rangka pemahamannya terhadap yang Ghaib.[14]
2.4. Ilmu Dalam Konsep Islam.
Dalam merespon sains modern, ilmuan muslim
punya perspektif yang berbeda-beda:
Pertama,
kelompok yang menganggap bahwa sains modern yang bersifat dan netral dan semua
sains tersebut dan dapat diketemukan dalam Al- Qur’an. Kelompok ini disebut
kelompok Bucaillion, pengikut Maurice Bucaille, seorang ahli bedah Prancis yang
bukunya yang sangat terkenal, The bible,
the Qu’ran and science. Pendapat Bucaille ini oleh Sardar dianggap naif dan
sangat riskan, sebab menganggap Al-qur’an sebagai ensiklopedia sains.
Kedua,
kelompok
yang mengumpulkan persemakmuran sains di negeri-negeri Islam, karena kelompok
ini berpendapat, bahwa etika sains itu berbeda dalam masyarakat Islam, maka fungsinya
akan termodifikasi sehingga dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dan
cita-cita Islam (lihat Sardar, 1988:167-171). Barang kali tokoh Ismail Raji Al-
Farauqi, Naqlik Al- Attas, AbsdusSalam dan kawan-kawan dapat diklasifikasikan
dalam kelompok ini, dengan konsep Islamisasinya. Kelompok ini juga dianggap
naif oleh Sardar sebab Al-Qur’an diletakkan dalam posisisi Subordinate (keterangan tentang islamisasi dan kritik sardar akan
dibahas tersendiri dalam Bab IV).
Ketiga,
kelompok yang ingin membangun paradigma baru
(epistemologi) Islam, yaitu paradigma pengetahuan dan paradigma prilaku.[15]
Pemikir islam abad 20 khususnya
setelah seminar internasional sekolah pendidikan Islam di Mekkah pada tahun
1977, mengklasifikasikan Ilmu dalam dua kategori, Pertama, Ilmu abadi (perennial
knowledge) yang berdasarkan wahyu allah yang terteradala Al-qur’an dan
hadis serta yang semua yang dapat diambil dari keduanya, Kedua, ilmu yng di cari (inquired knowledge) termasuk sains ke
alaman dan terapan (teknologi) yang dapat berkembang secara kualitatif (Qurais
shihab, 1992:262-63).[16]
Al- Qordowi (1989:35) menuturkan
bahwa menurut Islam cakupan ilmu tidak hanya terbatas kepada ilmu menurut
pandangan barat modern yang experimental saja tetapi ia meliputi :
Pertama, aspek
metafisika yang dibawa oleh wahyu
yang mengunggapkan apa yang disebut dengan realitas agung yang menjawab pertanyaan
abadi: dari mana, kemana, dan bagaimana.
Kedua, aspek
humaniora dan studi-studi yang
terkait dengannya yang meliputi pembahasan mengenai kehidupan manusia,
hubungannya dengan dimensi ruang dan waktu di psikologi, sosiologi, ekonomi,
politik dan lain-lain.
Ketiga,
aspek material yang bertebaran di jagat
raya, atau ilmu yang berdasarkan opservasi dan exsperimen, yaitu dengan uji
coba di laboratorium. Dan ilmu inilah yang berkembang di barat.[17]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan.
Ilmu hanyalah merupakan salah satu
jenis pengetahuan yang dimiliki manusia di antara berbagai pengetahuan yang
lain. Namun sejauh ini kiranya ilmulah yang merupakan pengetahuan yang paling
dapat diandalkan berkaitan dengan fakta empiris. Penjelasan ilmiah, tentang
fenomena gerhana bulan, misalnya, yang paling dapat memberikan kepuasan pada
rasa ingin tahu manusia dibandingkan dengan penjelasan yang lain.
Ilmu adalah suatu bentuk aktiva
manusia yang dengan melakukannya umat manusia memperleh suatu pengetahuan dan
senantiasa lebih lengkap dan lebih cermat tentang alam di masa lampau, sekarang
dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan
dirinya pada dan mengubah lingkungannya serta mengubah sifat-sifatnya sendiri.
3.2. Pesan dan Saran.
Dalam kesempatan ini kami ingin
menyampaikan beberapa pesan dan saran untuk kami sendiri khususnya dan untuk
pembaca sekalian umumnya, diantaranya :
1. Pahami
suatu materi kajian dari sumber-sumber rujukan yang dapat dijadikan pegangan
tapi bukan berarti fanatik terhadap satu rujukan.
2. Jangan
menganggap ilmu dengan batasan pengertian yang selama ini telah banyak
berkembang di tengah masyarakat awam, akan tetapi selaku orang yang
berpendidikan tentunya akan lebih bersikap kritis terarah.
3. Bacalah
makalah ini dengan baik dan pahami setiap aspek pembahasan yang telah dikaji
dalam makalah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar